Pengelolaan dana ibadah haji: Mirip skema ponzi?
Muhammad Rafi, 27 tahun, bungah sekaligus haru kala melepas ibunya, Qomariah berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji, Jumat (3/6). Penantian 10 tahun menunggu akhirnya tiba.
“Daftar dari 2012 dan dipanggil baru tahun ini,” kata Rafi saat berbincang dengan reporter Alinea.id di Tangerang Selatan, Banten, Jumat (24/6).
Jalan Qomariah—ibu Rafi—tak mudah. Mimpi yang dipupuk sejak lama itu nyaris pupus ketika diminta biaya tambahan belasan juta rupiah sebagai setoran akhir oleh pihak penyelenggara ibadah haji, beberapa minggu sebelum keberangkatan.
“Alhamdulillah, saudara ada yang bantu,” ujar Rafi.
Alokasi pembiayaan
Nasib mujur berpihak pada Qomariah lantaran tidak diminta biaya tambahan masyair—layanan transportasi dan akomodasi jemaah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina—yang dinaikan Pemerintah Arab Saudi.
Negara minyak itu menaikkan tarif masyair menjadi 5.656 Riyal (setara Rp22.378.982). Jumlah itu jauh dari perkiraan kenaikan yang disepakai DPR dan Kementerian Agama (Kemenag), yakni 1.900 Riyal (setara Rp7.517.692).
Dengan kenaikan itu, beberapa waktu lalu Kemenag meminta persetujuan DPR terkait tambahan biaya operasional haji untuk masyair para jemaah sebesar Rp1,4 triliun, serta petugas haji daerah (PHD) dan pembimbing kelompok bimbingan ibadah haji dan umrah (KBIHU) sebesar Rp9,1 miliar.
Permohonan itu pun disetujui DPR. Sehingga ongkos masyair yang naik itu tak dibebankan kepada jemaah haji tahun ini.
Selain memohon penambahan anggaran masyair, Kemenag juga meminta persetujuan tambahan anggaran biaya technical landing jemaah embarkasi Surabaya, yang harus mendarat dahulu di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Demi menutup biaya itu, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)—selaku lembaga yang diberi kewenangan mengelola dana haji sesuai Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji—mengambil porsi dari dana efisiensi dan beban manfaat keuangan haji. Dari situs Kemenag, rincian biaya tambahan untuk layanan masyair jemaah haji reguler dibagi dua.
Pertama, menggunakan dana efisiensi haji sebesar Rp700 miliar. Kedua, dari porsi anggaran nilai manfaat keuangan haji sebesar Rp791 miliar.
Sedangkan rincian tambahan anggaran technical landing embarkasi Surabaya diambil dari porsi efisiensi anggaran haji sebesar Rp25,73 miliar dan Rp19,27 miliar dari porsi efisiensi haji, valas, serta safeguarding. Jika dijumlah, anggaran tambahan operasional haji yang disepakati sebesar Rp1,5 triliun.
Seiring dengan kebijakan kenaikan biaya masyair, pada awal Juni 2022 Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 8 Tahun 2022 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1443 H/2022 M yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji, Nilai Manfaat, dan Dana Efisiensi. Keppres itu mengubah ketentuan dalam Keppres Nomor 5 Tahun 2022.
Yang diubah adalah ketentuan diktum kesepuluh, yang menyebutkan besaran BPIH tahun 2022 bersumber dari nilai manfaat dan dana efisiensi untuk jemaah haji reguler sejumlah Rp5.395.746.393.353,34. Sedangkan dalam Keppres 5/2022 besarnya Rp4.228.422.095.419,71.
Diktum keenam juga diubah, yang menyebutkan besaran BPIH tahun 2022 bersumber dari PHD dan pembimbing KBIHU untuk embarkasi Aceh sejumlah Rp93.692.770,05, Medan Rp94.424.986,05, Batam Rp97.717.922,05, dan Padang RP95.443.393,05.
Lalu, embarkasi Palembang Rp97.837.922,05, Jakarta (Pondok Gede) Rp97.917.922,05, Jakarta (Bekasi) Rp97.917.922,05, Solo Rp98.294.634,05, Surabaya Rp100.617.922,05, Banjarmasin Rp99.267.203,05, Balikpapan Rp99.394.503,05, Lombok Rp99.679.654,05, serta Makassar Rp100.718.419,05.
Ketentuan itu mengubah biaya haji dalam Keppres 5/2022, yang menyebut embarkasi Aceh sejumlah Rp77.522.692,05, Medan Rp78.254.908,05, Batam Rp81.547.844,05, Padang Rp79.273.315,05, Palembang Rp81.667.844,05, dan Jakarta (Pondok Gede) Rp81.747.844,05.
Lalu, embarkasi Jakarta (Bekasi) Rp81.747.844,05, Solo Rp82.124.556,05, Surabaya Rp84.447.844,05, Banjarmasin Rp83.097.125,05, Balikpapan Rp83.224.425,05, Lombok Rp83.509.576,05, dan Makassar Rp84.548.341,05.
Anggota Komisi VIII DPR dari fraksi PKS Bukhori Yusuf menilai, skema pembiayaan haji tahun ini, dengan adanya kenaikan tarif masyair, tak ideal. Pasalnya, untuk menutup “subsidi” bagi jemaah tahun ini, menggunakan dana efisiensi para jemaah tahun sebelumnya.
"Dalam konteks pendanaan, mestinya harus ada pembagian yang lebih fair,” ujar Bukhori saat dihubungi, Minggu (26/6).
“Memang jemaah tahun ini lebih diuntungkan, tetapi pertanyaannya apakah jemaah tahun mendatang akan mendapat keuntungan yang sama?”
Menurut dia, BPKH mengambil keputusan yang terpaksa. “Saya meminta kepada BPKH membuat sistem yang lebih adil dan akuntabel,” tuturnya.
Di sisi lain, menurut Sekjen Forum Silaturahmi Asosiasi Travel Haji dan Umrah (SATHU) Artha Hanif, pengelolaan dana haji tak ideal. Ia merasa, porsi dana setoran awal jemaah yang diberikan BPKH pada penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) terlampau sedikit. Artha menyebut, dana jemaah haji khusus dialokasikan untuk menutupi biaya haji reguler.
“Kemudian juga dipakai untuk dana pembinaan Kemenag. Jadi bukan kembali ke PIHK. Ini yang sangat kita sesali,” kata Artha saat dihubungi, Kamis (23/6).
Artha menuturkan, PIHK seperti agen travel haji mempunyai hak untuk mengelola setoran awal jemaah haji khusus. Ia menilai, kewenangan BPKH yang dapat mengelola seluruh setoran dana haji khusus terlalu berlebihan.
“Fakta sekarang, BPKH itu ternyata memanfaatkan juga dana haji khusus untuk persiapan keberangkatan haji reguler dan hal lain yang tidak ada urusannya secara langsung dengan jemaah haji khusus,” ujar Artha.
Bila setoran awal haji khusus dikelola PIHK, Artha percaya, pelayanan haji khusus dapat berjalan maksimal—mulai dari perencanaan hingga fasilitas peribadatan. Di samping itu, kata Artha, pengelolaan setoran awal oleh pihak agen travel haji dapat memberikan keleluasaan bagi PIHK untuk menanamkan dana ke instrumen investasi manapun.
Menurut Artha, perlu ada revisi pemberian kewenangan BPKH dalam mengelola dana haji. Jika pengelolaannya dimonopoli BPKH, ia merasa PIHK akan sulit menjalankan bisnisnya.
“Pengelolaan dana oleh PIHK bisa untuk usaha-usaha lain, yang itu akan meringankan jemaah ke depan,” ucapnya.
Sistem “tambal” dan pembenahan
Kepala BPKH Anggito Abimanyu mengatakan, penempatan dan investasi dana haji, kewenangan sepenuhnya ada di BPKH. Sedangkan perihal BPIH atau biaya haji, kewenangan ada di Kemenag, dengan persetujuan DPR.
“BPKH berperan sebagai penyedia dana dan ‘kasir’ transfer dana haji ke Kemenag,” ujar Anggito, Minggu (26/6).
Sementara itu, pengamat ekonomi syariah dari Universitas Airlangga (Unair), Imron Mawardi mengatakan, ketika Pemerintah Arab Saudi menaikan tarif masyair, pengelolaan dana hanya mirip skema ponzi makin terang.
Dengan adanya kenaikan masyair, menurutnya, biaya riil haji reguler menjadi sekitar Rp90 juta. Sementara biaya yang dibebankan kepada jemaah hanya sekitar Rp39,8 juta.
Secara harfiah, skema ponzi merupakan investasi palsu yang membayar keuntungan kepada investor dari uang mereka sendiri atau uang yang dibayarkan oleh investor berikutnya, bukan dari keuntungan yang didapat individu atau organisasi yang menjalankan operasi ini.
“Iya, jadi kurang bagus,” tutur Imron, Rabu (22/6).
Skema serupa ponzi terletak pada pemberian subsidi bagi jemaah yang berangkat. Sedangkan uang subsidi tersebut dinilai diambil dari dana hasil investasi setoran awal jemaah yang belum berangkat.
“Masa tunggu jemaah haji saat ini rata-rata 10-12 tahun. Kalau kita hitung return investasi haji sebesar 5,4% (per tahun), artinya uang (setoran awal jemaah) sebesar Rp25 juta yang diterima BPKH 10-12 tahun lalu hanya menghasilkan sekitar Rp13-15 juta,” ucap Imron.
“Berarti kalau Rp39,8 juta kita bandingkan dengan hasil investasi untuk masing-masing jemaah, totalnya hanya Rp52 juta. Sementara tahun ini, biaya Rp90 jutaan, artinya ada kekurangan Rp38-40 juta yang harus disubsidi dari uang nonjemaah yang berangkat. Ini pakai uang siapa?”
Dengan skema pendanaan semacam itu, Imron mengatakan, bakal berdampak besar bagi calon jemaah haji yang masih menunggu antrean berangkat. Data Kemenag mencatat, ada lebih dari lima juta calon jemaah masih menunggu dapat jatah kuota haji.
Imron mengatakan, skema “tambal” dana haji ini terlalu berisiko. Apalagi uang subsidi kekurangan biaya haji diperoleh dari hasil investasi.
Namun, Anggito mengatakan, kenaikan biaya pelayanan masyair ditetapkan oleh Pemerintah Arab Saudi sepekan sebelum pemberangkatan kloter 1 jemaah haji Indonesia. Ia pun menegaskan, biaya haji yang dibayar dari jemaah haji tahun 2022, sudah ditetapkan pada 2020.
“Dan karena waktu yang mepet sebelum keberangkatan, nyaris tidak ada waktu untuk melakukan perubahan kebijakan BPIH,” ucap Anggito.
Menurut Anggito, pada 2022 tak ada dana pokok jemaah haji yang dipakai. “Jadi, tidak ada skema ponzi,” kata dia.
“BPKH berharap, tahun 2023 sudah ada perubahan kebijakan BPIH yang signifikan dari Kemenag dan DPR.”
Sedangkan Imron meminta pemerintah mengubah skema pengelolaan dana haji itu. Salah satunya dengan membebankan biaya haji riil kepada calon jemaah. Bila kurang, katanya, calon jemaah wajib menanggung sendiri.
“Selain itu, uang pendaftaran untuk nonproduktif haji itu mungkin perlu dinaikan, tidak lagi Rp25 juta, mungkin Rp35 juta,” ujarnya.
“Supaya tidak membebani biaya besar pada jemaah berikutnya dan uang hasil investasinya juga lebih besar.”
Menurut Imron, sangat wajar kalau calon jemaah menanggung penuh biaya haji. Apalagi dalam agama, ibadah haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu secara finansial dan kesehatan.
“Prinsipnya seperti itu akan lebih fair, tidak menyalahi prinsip agama dan tidak merepotkan pemerintah,” tuturnya.
--
Artikel ini sudah diperbarui, dengan klarifikasi dari Kepala BPKH Anggito Abimanyu.