close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ekskavator membuka akses jalan yang tertutup karena longsor di Kabupaten Lebak, Banten, awal 2020. Foto Antara/Bagus Khoirunas
icon caption
Ekskavator membuka akses jalan yang tertutup karena longsor di Kabupaten Lebak, Banten, awal 2020. Foto Antara/Bagus Khoirunas
Nasional
Rabu, 21 Oktober 2020 13:42

Pengetahuan minim, pengurangan risiko bencana tak maksimal

Ada jurang lebar antara pembuat kebijakan dan publik dengan peneliti dan akademisi.
swipe

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, minimnya pengetahuan risiko menjadi belum maksimalnya pengurangan risiko bencana di Indonesia. Pangkalnya, memengaruhi penyelesaian dari akar masalah.

"LIPI memiliki pengalaman panjang dalam melakukan penelitian di bidang kebencanaan, baik dari aspek hard science dan social science," ujar Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti.

Karenanya, LIPI mendorong penggabungan antardisiplin ilmu upaya untuk melihat pengurangan risiko bencana dioptimalkan.

"Pendekatan ilmu pengetahuan dapat berkontribusi pada penguatan upaya pengurangan risiko bencana. Selanjutnya juga mendukung target pencapaian pembangunan berkelanjutan," jelas Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, Ocky Karna Radjasa. 

Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto, menambahkan, ada empat tindakan prioritas dalam mengurangi risiko bencana. Dua di antaranya telah dijalankan LIPI, yaitu dalam memberikan pemahaman kepada publik dan meningkatkan kinerja manajemen risiko bencana.

"Pembuat kebijakan dan publik perlu menumbuhkan kesadaran, dorongan, dan motivasi untuk mengakses dan menggunakan hasil riset," usulnya. "Namun, hingga saat ini masih ada jurang yang lebar yang perlu dijembatani antara pembuat kebijakan dan publik dengan peneliti-akademisi di Indonesia."

Jembatan tersebut, menurutnya, adalah komunikasi sains lantaran akan membuat para peneliti sadar atas pentingnya riset dalam menyelesaikan persoalan riil yang dihadapi pembuat kebijakan dan masyarakat.

Dengan demikian, bagi Eko, jembatan tersebut sekaligus membuat pembuat kebijakan dan publik menyadari pentingnya peran riset dalam menyelesaikan berbagai persoalan.

"Selama ini kebutuhan dan prioritas pembuat kebijakan tidak terkomunikasikan dengan baik, sementara peneliti-akademisi jarang melihat pembuat kebijakan dan publik sebagai audiens kunci bagi riset mereka," urainya.

Berdasarkan kajian aspek sosial, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Yogaswara, mencontohkan  dengan kejadian multibencana di Sulawesi Tengah (Sulteng).

"Terkait dengan gempa bumi yang diikuti dengan tsunami dan likuifaksi menunjukkan, bahwa pada dasarnya masyakarat di Sulawesi Tengah memiliki pengetahuan tentang lokasi tempat tinggal mereka," ucapnya, melansir situs web LIPI.

Sayangnya, pengetahuan tersebut belum diakomodasi di dalam perencanaan wilayah serta upaya pengurangan risiko bencana. "Bahkan pada saat dilakukan pemulihan pasacabencana, aspek pengetahuan dari masyarakat juga belum dapat diintegrasikan secara kohesif," imbuhnya.

Menyangkut pandemi coronavirus baru (Covid-19), Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Puspita Lisdiyanti, menerangkan, tim peneliti di bawah koordinasinya telah dan sedang bekerja menanggulangi dampaknya.

"Kami terus berupaya melakukan berbagai aktivitas riset untuk mendapatkan solusi permasalahan agar bangsa kita dapat menanggulangi dampak dari pandemi ini," tuturnya.

Dirinya berpendapat, pandemi Covid-19 harus menjadi pelajaran berharga dan tidak boleh dilupakan bangsa. "Jika terjadi pandemi yang berasal dari mikroorganisme, harus diantisipasi dari awal sehingga penyebaran dapat dikendalikan."

"Indonesia juga harus meningkatkan riset dan teknologi di bidang kesehatan secara mandiri,” tandas Puspita.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan