Saksi pelapor kasus pencemaran nama baik sekaligus Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, dalam persidangan mengungkapkan, terdakwa Haris Azhar pernah meminta saham PT Freeport Indonesia (PTFI) kepadanya. Dalam forum sama, Haris Azhar, membenarkan pernyataan Luhut tersebut.
Kendati demikian, dirinya menerangkan, permintaan saham Freeport tersebut bukan untuk pribadinya, melainkan masyarakat hukum adat Papua yang terdampak operasional perusahaan tambang asal Amerika itu. Pangkalnya, Haris menjadi kuasa hukum masyarat adat setempat.
"Saya hubungi karena saksi [Luhut] adalah Menko Marves, yang kurang lebih bertanggung jawab saham PT Freeport Indonesia," kata Haris dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Kamis (8/6).
Haris melanjutkan, dirinya bersama masyarakat adat Papua berusaha memperjuangkan hak kliennya tersebut hingga ke pemerintah kabupaten (pemkab). Namun, usaha tersebut nihil alias tidak membuahkan hasil.
Pemkab tidak dapat memberikan saham Freeport kepada masyarakat adat Papua yang terdampak lantaran tidak diatur dalam peraturan daerah (perda). Karenanya, Haris mengajak kliennya bertemu Luhut.
"Pak Haris kenalkah?" kata Haris mengulang ucapan masyarakat adat saat itu.
"Kenal," jawabnya kepada masyarakat adat.
Direktur Eksekutif Lokataru ini lalu bertemu Luhut, yang diwakili legal advisor-nya, Lambok. Haris membeberkan cerita ini guna memastikan tidak ada motif apa pun terkait permintaan saham Freeport tersebut dengan kasus yang menjeratnya kini.
"Jadi, kalau saudara jaksa penuntut umum (JPU) mencoba mengaitkan hal tersebut, yang sayangnya tidak ada berita acara pemeriksaan (BAP) di kepolisian materi ini, untuk seolah-olah membongkar motif. Mohon maaf, Anda belum beruntung," tutur Haris disambut sorakan.
Dalam sidang itu, Luhut hadir sebagai saksi pelapor di persidangan pencemaaran nama baik terhadapnya oleh Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Agenda persidangan adalah pemeriksaan saksi.
Dalam dakwaanya, JPU memandang, dugaan tindak pidana itu dimulai saat Haris berniat mengangkat isu yang membahas tentang kajian cepat dari Koalisi Bersihkan Indonesia tentang bisnis pertambangan di Blok Wabu, Papua, dengan judul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya".
Setelah memperoleh hasil kajian tersebut, kata JPU, Haris selaku Direktur Eksekutif Lokataru melihat Luhut memiliki popularitas sehingga timbul niat terdakwa mengangkat topik tentang saksi pelapor menjadi isu utama dalam kanal YouTubenya.
"Dengan tujuan untuk menarik perhatian dan mengelabuhi masyarakat dengan cara mencemarkan nama baik saksi Luhut," kata JPU.
Lalu, Haris mengundang Fatia dan Owi sebagai narasumber untuk melakukan wawancara yang berdurasi lebih dari 26 menit di kantor Hakasasi.id, Jakarta. Percakapan tersebut kemudian diunggah di akun YouTube Haris, 20 Agustus 2021.
Dalam dakwaan, JPU menyebut terdapat dua percakapan yang disebut mengandung unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik.