close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ilustrasi melihat hilal. Foto Antara/dokumentasi
icon caption
ilustrasi melihat hilal. Foto Antara/dokumentasi
Nasional
Jumat, 15 Juli 2022 13:14

Penjelasan pakar soal beda hisab dan rukyat untuk melihat hilal

Rukyat memerlukan verifikasi melalui sidang isbat. Sementara, metode hisab perlu memenuhi kriteria perhitungan yang ditetapkan.
swipe

Perbedaan metode untuk menentukan awal bulan dalam kalender Islam tak jarang menyebabkan hari raya Islam jatuh pada waktu yang berbeda. Terakhir, perbedaan terjadi pada Lebaran Iduladha di Indonesia.

Ketua Dewan Pembina DKM BRIN Thomas Djamaluddin mengatakan, perbedaan dapat terjadi karena metode hisab atau rukyat memiliki dasar perhitungannya masing-masing. Namun, keduanya merupakan metode yang setara secara astronomi.

"Terkait dengan penentuan awal bulan, memang kita harus menyadari di masyarakat ada dua mazhab yaitu rukyat dan hisab, kita tidak bisa mengatakan bahwa sistem rukyat itu menimbulkan kekacauan. Jadi rukyat mempunyai dalil, hisab juga mempunyai dalil," kata Thomas dalam diskusi Dialektika Baitul Hikmah BRIN yang digelar daring, Jumat (15/7).

Thomas menyebut, metode rukyat memerlukan verifikasi yang kemudian ditetapkan melalui sidang isbat. Sementara, metode hisab perlu memenuhi kriteria perhitungan sesuai dengan yang ditetapkan.

Lebih lanjut, Thomas menjelaskan ada faktor gangguan yang perlu dipahami terkait dengan pengamatan hilal. Salah satunya yakni cahaya syafak (cahaya senja) yang menyebabkan pengamatan hilal sulit untuk dilakukan.

"Ketika Bulan terlalu dekat dengan Matahari atau elongasinya kecil, maka Bulan ini sangat tipis sekali. Ketinggian Bulan juga dekat sekali dengan ufuk, sehingga hilal yang sangat tipis ini akan kalah oleh cahaya syafak," jelas Thomas yang juga merupakan peneliti utama BRIN.

Untuk itu, ada persyaratan tertentu yang dilakukan dalam pengamatan hilal. Syarat ini masuk dalam kriteria yang digunakan MABIMS, yakni ketinggian minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.

Sementara untuk metode hisab, juga memiliki persyaratan minimal untuk terlihatnya hilal atau kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat). Kriteria ini memperhitungkan faktor cahaya hilal dan cahaya syafak.

Parameter yang digunakan dalam memperhitungkan kecerlangan hilal adalah lebar sabit hilal, umur hilal, atau jarak sudut Bulan-Matahari (elongasi).

"Yang harus diperhatikan juga adalah faktor gangguan, gangguan cahaya syafak ini memerlukan tinggi hilal, beda tinggi Bulan-Matahari, beda jarak sudut Bulan-Matahari di garis ufuk, dan beda waktu terbenam dengan matahari," paparnya.

Thomas yang juga merupakan anggota Tim Unifikasi Kalender Hijriyah Kemenag tersebut turut memberikan penjelasan terkait perbedaan jatuhnya Iduladha di kalender nasional Indonesia.

Pemerintah menetapkan Iduladha jatuh pada 10 Juli melalui sidang Isbat pada 29 Juni, sementara di kalender nasional tertulis Iduladha jatuh pada 9 Juli. Menurut Thomas, penentuan saat itu masih mengacu pada kriteria MABIMS sebelumnya dengan ketentuan ketinggian hilal 2 derajat.

"Ketika diumumkan 2021 untuk hari libur nasional pada 2022, Indonesia masih menggunakan kriteria MABIMS yang lama, itu sebabnya di kalender tertulis Iduladhanya 9 Juli," ucapnya.

Thomas berharap, hisab dan rukyat dapat diupayakan untuk menemukan titik tengah. Sehingga penentuan awal bulan dalam kalender Islam dapat mengakomodir kedua metode tersebut.

"Cara mempersatukannya adalah pada kriteria yang bisa diterima secara hisab, tetapi juga memenuhi kriteria visibilitas hilal. Itu yang sedang diupayakan, jadi tidak boleh satu pihak. Kalau satu pihak kita tidak akan mungkin mendapatkan titik temu," pungkasnya.
 

img
Gempita Surya
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan