Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menyatakan, ada indikasi hasrat memperbesar kekuasaan di balik wacana penundaan pemilu yang sedang terjadi.
Mengutip sebuah teori dalam ekonomi, Didik menyatakan, perilaku manusia pada dasarnya didorong oleh motif-motif ekonomi seperti maximizing profit dan perluasan kekuasaan (empire building).
"Hal yang sama berlaku dalam politik. Dalam lensa inilah, perilaku elite politik dalam mengusung wacana penundaan pemilu dapat ditafsirkan, yaitu untuk memaksimalkan profit dan memperluas kekuasaan," kata Didik dalam kuliah umum yang diadakan oleh Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) secara daring bertemakan "Membaca Arah Politik Dibalik Polemik Penundaan Pemilu" pada Sabtu (26/3).
Didik juga menyebut peran special interest groups dalam politik, yaitu kelompok kepentingan yang bergerak di bawah tanah dan keberadaannya tidak terlihat secara resmi. Special interest group ini memiliki perilaku rent-seeking, yaitu 'menyewa' kekuasaan politik untuk memperoleh keuntungan bisnis.
"Dalam wacana penundaan pemilu, rent-seeker ini (perlu dilihat) ada di situ," ujar Didik.
Sementara, Head of Data Kompas Gramedia Omar Abdillah memaparkan temuannya terkait analisis percakapan di media sosial terkait isu penundaan pemilu pada 2-8 Maret 2022. Berdasarkan analisisnya, 79.5% cuitan berisi respons negatif terhadap wacana ini, 88% berisi sentimen emosi amarah dan takut merespon wacana ini, serta 92% cuitan secara spesifik berisi penolakan terhadap wacana penundaan pemilu.
"Dengan demikian, hasil ini berbeda 180 derajat dengan analisis big data yang dikemukakan Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan yang mengklaim menemukan 110 juta pengguna twitter mendukung penundaan pemilu." Kata Omar.
Sedangkan Managing Director Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam mengingatkan, agar seluruh elemen masyarakat sipil terus waspada dengan gerakan kampanye penundaan pemilu ini. Hal ini karena meski wacana ini memang cenderung melemah karena derasnya kritik publik, tapi potensi berubahnya arah masih terbuka mengingat operasi politik masih terus dilakukan.
"Inilah yang disebut sebagai 'time-buying' strategi. Strategi ini dilakukan bersamaan dengan strategi lain yaitu 'face-saving' strategy, yaitu semacam langkah antisipatif penyelamatan muka jika operasi ini gagal. Inilah yang dilakukan melalui dikeluarkannya pernyataan-pernyataan yang ambigu dan tidak tegas menyikapi isu ini," ujar Umam.
Umam mengingatkan jika masyarakat sipil dan seluruh elemen tidak waspada, maka bukan mustahil pengubahan konstitusi untuk mengakomodasi perpanjangan kekuasaan dapat terealisasi sebagaimana yang telah terjadi di sejumlah negara yang memiliki basis demokrasi lemah seperti Argentina, Brasil, Kolombia, Pakistan, atau Rusia.