Penyatuan peneliti dalam satu wadah tak baik bagi demokrasi
Direncanakan selesai akhir Juli 2021, rupanya revisi Peraturan Presiden Nomor 33/2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu molor. Hingga pertengahan Agustus berlalu, revisi belum jelas juntrungannya. Padahal beleid ini menjadi pedoman BRIN melangkah.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko belum bisa memastikan kapan revisi perpres yang diteken Presiden Joko Widodo, 28 April lalu, itu selesai. "Segera dilansir," kata Handoko dalam webinar "Penataan Kelembagaan Litbang" oleh Badan Litbang Kementerian Dalam Negeri, 12 Agustus lalu.
Handoko mengaku hari-hari ini dia menjadi "tersangka" yang dicari-cari banyak orang. Ia menjadi tempat bertanya akan nasib para peneliti dan perekayasa ke depan. Terutama setelah ada surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo.
Pada surat bertanggal 22 Juli 2021 itu, Tjahjo meminta pejabat pembina kepegawaian di 48 kementerian/lembaga untuk memastikan pengalihan peneliti di badan penelitian dan pengembangan (litbang) ke BRIN tuntas paling akhir 31 Desember 2022. Tersedia tiga opsi integrasi: integrasi total, integrasi parsial atau konversi ke nomenklatur, tugas, dan fungsi berbeda. BRIN akan menerima program, sumber daya manusia (SDM) periset, dan aset lain.
Untuk menjamin karier dan mengantisipasi dampak yang muncul, BRIN dan kementerian/lembaga (K/L) akan memetakan dan menentukan pejabat fungsional peneliti yang dialihkan atau tidak dialihkan. Bagi yang tidak dialihkan ke BRIN, pejabat fungsional bisa beralih ke jabatan fungsional di K/L.
Bocoran perpres revisi
Handoko menjelaskan, pengintegrasian itu merupakan amanah Perpres 33/2021. Integrasi dimaksud, jelas Handoko, bersifat struktural, bukan berbasis koordinasi. Untuk memastikan itu, ia "membocorkan" isi revisi Perpres 33/2021. "(Perpres) Dipertajam dan disempurnakan," kata dia.
Pertama, tugas, fungsi, dan kewenangan pada unit kerja yang melakukan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (litbangjirap) di K/L dialihkan menjadi tugas, fungsi, dan kewenangan BRIN. Langkah itu diikuti pengalihan PNS, perlengkapan, pembiayaan, dan aset.
Kedua, jelas Handoko, bahwa BRIN selain menyelenggarakan tugas pemerintah di bidang litbangjirap serta invensi dan inovasi, ada penegasan tambahan sebagai penyelenggara ketenaganukliran, dan penyelenggara keantariksaan secara nasional dan terintegrasi.
Langkah ini sepertinya dimaksudkan untuk menjawab "gugatan" sejumlah pihak bahwa Perpres 33/2021 melanggar aturan di atasnya. Bukan saja pemberian kewenangan integrasi dalam Perpres BRIN yang oleh ahli hukum Bivitri Susanti dinilai melenceng dari isi Pasal 48 UU Nomor 19/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas-Iptek).
Lebih dari itu, melikuidasi empat lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) bidang iptek, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) juga dinilai melanggar UU. Terutama likuidasi Lapan dan Batan.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mulyanto menjelaskan, Lapan dan Batan dibentuk atas amanah UU Nomor 21/2013 tentang Keantariksaan dan UU Nomor 10/1997 tentang Ketenaganukliran. "Perpres tidak boleh bertentangan dengan UU," kata Mulyanto kepada Alinea.id, 7 Juni lalu.
Sejumlah ketidakjelasan
Di lingkungan K/L, langkah integrasi ini masih menyisakan sejumlah ketidakjelasan. Seorang pejabat struktural di Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian masih bertanya-tanya ihwal nasib staf yang jumlahnya banyak. Di sejumlah litbang, personelnya bukan hanya peneliti. Tapi juga ada staf administrasi, operator, dan lainnya.
Dalam buku Rencana Strategis Balitbang Pertanian 2020-2024 disebutkan pada 2019 jumlah SDM mencapai 5.981 orang. Antara lain terdiri 1.656 peneliti, 32 perekayasa, 398 penyuluh, dan 2.762 fungsional umum. "Apakah semua dialihkan, termasuk staf. Ini belum jelas," kata pejabat yang tak mau disebutkan namanya itu kepada Alinea.id, Rabu (18/8).
Selain itu, peneliti di Kementerian Pertanian berbeda dengan di K/L lain. Mereka tidak hanya meneliti, tapi sekaligus juga sebagai penyuluh dan aktor diseminasi hasil penelitian.
"Mereka sehari-hari mendampingi petani di lapangan," kata pejabat itu seraya menanyakan jika dialihkan Kementan akan kehilangan "kaki-tangan" di lapangan.
"Gugatan" juga muncul dari gedung wakil rakyat. Poltak Partogi Nainggolan dari Pusat Penelitian DPR menjelaskan, periset di lembaga tempat dirinya berkarier tidak mungkin dialihkan ke BRIN. "BRIN itu kan pemerintah, memang DPR subordinasi pemerintah," tanya dia.
Pusat Penelitian DPR, kata Partogi dalam webinar Alinea Forum bertajuk "Langkah Hukum Meluruskan Regulasi BRIN", 9 Agustus lalu, dibentuk lantaran ada dua UU khusus, yaitu UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU 12/2011 tentang Pembentukan Undang-Undang.
Dalam penyusunan perundang-undangan, kata Partogi, berlaku asas hierarki atau lex superior derogat legi inferiori. Artinya peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
"Pusat Penelitian DPR tak mungkin diintegrasikan," jelas dia.
Selain bakal mengganggu check and balances, kata dia, keberadaan Pusat Penelitian DPR turut menjaga masa depan demokrasi dan parlemen. Posisi DPR dan pemerintah tak terlalu sama. "Kami riset untuk mem-backup naskah akademik yang tidak selalu sama dengan pemerintah," kata dia.
Selain itu, sistem pendukung parlemen terhubung dengan institusi dunia, yakni Inter Parliamentary Union (IPU). Tiap tahun ada evaluasi kemajuan perlemen. "Bagaimana mungkin ini akan diatur pemerintah. Penilaian ini berpengaruh pada penilaian indeks demokrasi," jelas dia.
Bukan hanya di lembaga legislatif, menurut Bivitri Susanti, peneliti juga ada di lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Para peneliti itu mem-backup hakim dalam membuat keputusan. Agar kualitas putusan hakim bermutu.
Karena itu, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia Jentera itu mempertanyakan langkah pemerintah lewat BRIN yang hendak menyatukan semua peneliti dalam satu wadah. "Apakah semua akan terintegrasi dalam suatu lembaga. Ini tak baik bagi demokrasi kita," kata Bivitri.