Pandemi Flu Spanyol yang terjadi di tengah kecamuk Perang Dunia I membuat negara-negara Eropa yang terlibat perang cenderung merahasiakan. Padahal korban Flu Spanyol (diperkirakan 50-100 juta orang) jauh lebih banyak ketimbang perang yang berlangsung dari 1914-1918 (18 juta orang).
Disisi lain, pandemi Flu Spanyol turut terlupakan lantaran berbagai negara lebih menaruh perhatian pada Perang Dunia I.
Sejarawan pandemi Tubagus Arie Rukmantara mengatakan, pandemi Flu Spanyol yang juga merupakan urusan kesehatan publik teralihkan dan terlupakan berbagai gerakan revolusi.
Fokus berbagai negara kala itu juga teralihkan dengan ilusi pertumbuhan ekonomi hingga kemajuan teknologi dan industri pada 1930-an, tak terkecuali Hindia Belanda.
Menurut Arie, setelah berhasil mengatasi depresi besar atau zaman malaise pada 1930-an, produktivitas berbasis kuantitatif kembali digencarkan.
“Kenapa pandemi 1918 terlupakan ya? Yang praktis tidak ada tokoh dunia yang hebat yang meninggal dunia. Saat itu, tokoh dunia yang hebat dinyatakan meninggal karena flu Spanyol, itu Max Weber (sosiolog dan ekonom Jerman). Dan saat itu, sentimennya sangat besar ya untuk mengagung-agungkan seorang tokoh Jerman, tidak menjadi pahlawan dunia lah. Dan di saat yang sama, ternyata kita terbuai dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat sekali,” ujar Arie dalam konferensi pers di Graha BNPB, Senin (8/3).
Koordinator Tim Komunikasi Satgas Penanganan Covid-19 ini mengungkapkan, dari tahun 1.700-an hingga 2020, tidak tercatat dalam arsip sejarah ada orang atau kelompok yang konsisten melakukan konspirasi menyebarkan virus ke seluruh penjuru dunia.
Pandemi, jelas dia, akan terus berulang antara interval 50 tahun sekali atau 11 tahun sekali dan bersifat sporadis, sehingga bisa muncul di belahan dunia manapun.
“Jadi, satu organisasi pun enggak mungkin. Jadi, selalu sporadis pandemi itu. Jadi, itu bisa ada di Mesir, bisa jadi ada di Yunani, bisa ada di South East Asia atau di Asia Tenggara. Lalu, bisa muncul di mana pun di dunia,” tutur salah satu tim penyusun buku Yang Terlupakan; Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (2009) ini.
Menurutnya, jejak pandemi bukan hanya terekam dalam buku sejarah. Misalnya, dalam buku biografi Prof Slamet Imam Santoso. Juga terekam dalam berbagai cerita rakyat.
“Nah ini fakta yah, bahkan kita datang sendiri, ditunjukkan sendiri bahwa di Tana Toraja biasanya ditaruh di lubang-lubang di gua. Ini ada yang berserakan. Menurut Tetua Adat itu, ini salah satunya atau pemuka ritual gitu ya ini adalah yang tidak sempat dikuburkan. Jadi diserakkan begitu saja ya karena ini korban pandemi, korban wabah,” tutur Arie.