close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) didampingi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kelima kiri) serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kanan) menyapa media usai mememberikan keterangan pers di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9)./ Antara Foto
icon caption
Ketua KPK Agus Rahardjo (tengah) didampingi Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kelima kiri) serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kanan) menyapa media usai mememberikan keterangan pers di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9)./ Antara Foto
Nasional
Minggu, 15 September 2019 23:19

Penyerahan mandat komisioner KPK dinilai jebakan bagi Presiden

Jebakan karena jika menerima mandat tersebut, presiden dapat melanggar konstitusi.
swipe

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai penyerahan mandat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Presiden Joko Widodo dapat menjadi jebakan. Sikap tiga pimpinan KPK tersebut dinilai melanggar hukum tata negara dan konstitusi. 

"Itu bisa membuat Presiden terjebak," kata Yusril dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu (15/9).

Jebakan yang dia maksud dapat terjadi karena jika menerima mandat tersebut, presiden dapat melanggar konstitusi. Menurut Yusril penyerahan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada presiden tidak ada dalam undang-undang.

Dia menjelaskan, KPK merupakan lembaga yang bersifat operasional dalam menegakkan hukum di bidang tindak pidana korupsi. Kedudukannya sama dengan kepolisian dan kejaksaan. 

"Presiden tidak mungkin bertindak secara langsung dan operasional dalam menegakkan hukum," ujar Yusril.

Mengutip Pasal 32 UU KPK, Yusril mengatakan masa tugas komisioner hanya berakhir karena mengundurkan diri dan berhenti karena masa jabatannya berakhir. Karena itu, kata dia, komisioner KPK wajib meneruskan tugas dan tanggung jawabnya sampai masa jabatannya berakhir pada Desember 2019 mendatang.

Senada, pakar hukum tata negara Fahri Bachmid menyebut tiga pimpinan KPK yang menyerahkan mandat kepada Presiden Jokowi telah melanggar hukum tata negara dan konstitusi.

“Menyerahkan mandat KPK kepada presiden melanggar sistem hukum tata negara dan konstitusi. Tidak ada nomenklatur penyerahan mandat KPK kepada presiden berdasarkan hukum tata negara,” ujar Fahri.

Menurutnya, agar segala proses pro justicia di KPK dapat berjalan dengan normal, penyerahan mandat tersebut harus diartikan sebagai pengunduran diri. 

Dalam Pasal 33A ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, disebutkan bahwa dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan pimpinan KPK, yang menyebabkan pimpinan KPK berjumlah kurang dari tiga orang, presiden dapat mengangkat anggota sementara pimpinan KPK sejumlah jabatan yang kosong.

”Dengan demikian maka presiden dapat mengisi kekosongan pimpinan KPK yang kurang dari tiga orang tersebut dan secara kelembagaan KPK tetap berjalan menyelesaikan tugas dan wewenangnya sampai dengan dilantiknya pimpinan KPK yang baru pada bulan Desember nantinya,” kata Fahri.

Sehari setelah DPR memilih lima orang untuk menjadi komisioner KPK periode 2019-2023, Saut Situmorang mundur pada Jumat (13/9). Dia tidak lagi terhitung sebagai pimpinan KPK sejak Senin (16/9).

Penasihat KPK Mohammad Tsani Annafari juga memutuskan mengambil langkah yang sama. Tsani mundur dari jabatannya karena terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. 

Di hari yang sama, dua orang pimpinan KPK lainnya menyerahkan tanggung jawab pengelolaan pemberantasan korupsi di Indonesia kepada Presiden Joko Widodo. Mereka adalah Ketua KPK Agus Rahardjo dan Laode M Syarif. (Ant)

img
Gema Trisna Yudha
Reporter
img
Gema Trisna Yudha
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan