Surat Edaran Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (SE BPTJ) Nomor SE.5 BPT Tahun 2020 terkait pembatasan layanan transportasi di Jakarta dan sekitarnya dianggap enggak perlu. Sebab, sudah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (PP PSBB Covid-19).
Dalam PP 21/2020, terang Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Syafrin Liputo, pembatasan operasional transportasi publik itu bisa dilakukan daerah yang sudah memberlakukannya. Namun, kebijakan itu harus diputuskan dulu oleh menteri kesehatan (menkes).
"Jadi, kita (memberhentikan operasional transportasi umum) menunggu (keputusan menkes) dulu," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (1/4).
Untuk menerapkan PSBB, kepala daerah atau ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 harus mengusulkannya ke menkes. Ini diatur dalam Pasal 6 PP 21/2020. "Kalau misalnya SE itu diikuti, kan, ada PP yang sudah mengatur," katanya.
Syafrin mengaku, dirinya tidak tahu, apakah Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, sudah mengusulkan pemberlakukan PSBB di Ibu Kota atau belum. "Itu (pertanyaan) biar ditanya ke beliau," ucapnya sembari tertawa lirih.
Meski begitu, dia menegaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta sudah membatasi operasional transportasi publik yang dimilikinya maupun kemitraan sebelum SE BPTJ dan PP PSBB terbit. Dari Transjakarta, moda raya terpadu (MRT), dan lintas rel terpadu (LRT).
"Sebenarnya apa yang diatur di PP itu, juga sebagian besar sudah dilakukan oleh DKI. Hanya saja sekarang, kan, sudah ada PP-nya. (Jadi) lebih tegas mengaturnya," tuturnya.
Di sisi lain, Syafrin berharap, nantinya penghentian layanan transportasi umum tak sekadar diberlakukan di Jakarta. Alasannya, pergerakan orang juga mencakup "kota satelit".
"Tidak ada lagi Provinsi Jakarta, Kota Bekasi. Tapi, sudah menyatu areanya. Makanya, suratnya Pak Gubernur kemarin (permintaan karantina wilayah) minta penetapan (di) kawasan Jabodetabek," paparnya.
Sebatas Rekomendasi
Terpisah, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan, SE BPTJ Nomor 5/2020 sebatas rekomendasi kepada kepala daerah se-Jabodetabek melakukan PSBB, apabila hendak membatasi transportasi umum.
"Surat edaran tersebut bertujuan memberikan rekomendasi kepada daerah, apabila sudah dikategorikan sebagai daerah yang diperkenankan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar, dapat melakukan pembatasan penggunaan moda transportasi untuk mengurangi pergerakan orang dalam upaya memutus rantai penyebaran Covid-19," tutur Juru Bicara Kemenhub, Adita Irawati, melalui keterangan tertulis.
Sesuai PP 21/2020, ungkapnya, kepala daerah terlebih dulu mengantongi persetujuan menkes sebelum menerapkan PSBB. "Jika belum secara resmi mendapatkan persetujuan Kemenkes (Kementerian Kesehatan) mengenai status PSBB, daerah belum dapat melakukan pembatasan transportasi," ujarnya.
"Sebaliknya, bagi wilayah di Jabodetabek yang sudah berstatus PSBB, Surat Edaran BPTJ Nomor SE 5 Tahun 2020 dapat menjadi pedoman untuk melakukan pembatasan moda transportasi," tutupnya.
SE BPTJ Nomor 5/2020 memuat sembilan poin tentang pembatasan operasional transportasi publik. Baik secara parsial maupun menyeluruh.
Beberapa di antaranya, seperti penyetopan sementara/sebagian layanan keretapi penumpang jarak jauh/antarkota, kereta rel listrik (KRL), bus raya terpadu (BRT), bus pariwisata, bus bandara, angkutan perkotaan, bus antarkota antarprovinsi (AKAP), serta bus antarkota dalam provinsi (AKDP) dari dan ke Jabodetabek. Lalu menutup sementara/sebagian stasiun kereta di Jabodetabek, membatasi operasional MRT dan LRT Jakarta, dan menutup sementara operasional terminal bus tipe A dan B serta perusahaan otobus, loket, agen, dan pul bus.
Poin 7 mengingatkan, pelaksanaannya tetap memperhatikan kebijakan dan/atau keputusan menkes dan/atau ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Poin selanjutnya, berlaku sepanjang tak bertentangan dan/atau belum diganti dengan kebijakan dan/atau peraturan perundang-undangan yang baru dan/atau lebih tinggi.
SE diteken Kepala BPTJ, Polana B. Pramesti pada 1 April 2020. Mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan hingga status keadaan darurat bencana Covid-19 dicabut.