Tim penyidik Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa satu orang saksi terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace (BFC) oleh PT Krakatau Steel (KS) pada tahun 2011.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana mengatakan, saksi yang diperiksa yaitu FP, yakni mantan Direktur Operasi 1 pada PT Krakatau Engineering, salah satu pemenang tender pembangunan pabrik. Sebelumnya, ia diperiksa penyidik pada Jumat, 22 April 2022.
"Yang bersangkutan diperiksa terkait dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011," kata Ketut dalam keterangan, Rabu (11/5).
Kembali diperiksanya FP bukan tanpa alasan. Ketut menyampaikan, pada periode 12 Oktober 2010 sampai 2 Oktober 2017 FP menjabat sebagai Direktur Bisnis dan Operasi 1 PT Krakatau Engineering dan pada periode 2 Oktober 2017 sampai 29 Desember 2017 merupakan Direktur Teknik dan Pengembangan merangkap Plt. Direktur Utama PT Krakatau Engineering. Pada pelaksanaan pembangunan proyek blast furnace pada PT Krakatau Steel melakukan negosiasi penandatanganan kontrak dengan beberapa subkontraktor dengan nilai antara Rp500 juta hingga Rp2 miliar.
Tidak hanya itu, FP diduga melakukan perikatan kontrak bridging loan (pinjaman lunak). Pinjaman itu untuk pembangunan BFC Project dengan Direktur Utama PT Krakatau Steel (periode Oktober 2017).
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan pabrik blast furnace oleh PT Krakatau Steel pada tahun 2011,” ucap Ketut.
Kasus ini bermula dari Krakatau Steel yang melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik pada 31 Maret 2021. Tender lantas dimenangkan Konsorsium MCC Ceri dan PT Krakatau Engineering.
Pendanaan pembangunan pabrik BFC awalnya dibiayai export credit agency (ECA) dari China. Namun, ECA dalam pelaksanaannya tak menyetujui pembiayaan proyek itu karena kinerja keuangan Krakatau Steel, yang dinilai dengan metode pendapatan perusahaan sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi alias earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA), tak menuhi syarat.
"Selanjutnya, pihak PT Krakatau Steel mengajukan pinjaman ke sindikasi Bank BRI (Bank Rakyat Indonesia), Mandiri, BNI (Bank Negara Indonesia), OCBC, ICBC, CIMB Bank, dan LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia)," ucap Ketut.
Nilai kontrak pembagunan ini sekitar Rp6,9 triliun. Sementara, uang yang dibayarkan senilai Rp5,3 triliun dengan perincian dari bank luar negeri senilai Rp3,5 triliun dan bank dalam negeri Rp1,8 triliun.
Pada 19 Desember 2019, proses pembangunan dihentikan. Alasannya, berdasarkan hasil uji coba operasi, biaya produksi lebih besar dibandingkan harga baja di pasar. Pekerjaan juga belum diserahterimakan dengan kondisi tak dapat beroperasi lagi atau mangkrak.
Padahal, Krakatau Steel membangun pabrik BFC dengan tujuan meningkatkan produksi baja nasional. Proyek itu dimulai dari 2011-2015 dan dilakukan beberapa kali addendum hingga 2019.
"Dilakukan pemberhentian di tahun 2019 karena biaya produksi lebih tinggi dari harga hun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011.