Peran Sekda Jabar dan mantan bos Lippo Cikarang di kasus Meikarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka baru dalam perkara suap terkait dengan kasus dugaan suap izin proyek pembangunan Central Business District (CBD) Meikarta, Cikarang, Jawa Barat.
Kedua tersangka itu ialah Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Iwa Karniwa dan bekas Presiden Direktur PT Lippo Cikarang Tbk., Bartholomeus Toto. Keduanya ditetapkan tersangka untuk dua perkara berbeda.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menyebutkan, Iwa dietapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait pembahasan substansi rancangan peraturan daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Sedangkan Toto, ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap terkait dengan pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Saut menjelaskan, perkara Toto berawal saat PT Lippo Cikarang Tbk. berencana membangun kawasan pemukiman di wilayah Bekasi dengan luas 438 hektare dengan tiga tahap pembangunan.
Tahap pertama, PT Lippo Cikarang Tbk. harus memproses berbagai perizinan. Salah satunya soal Izin Peruntukan Pembangunan Tanah (IPPT). Kemudian PT Lippo Cikarang Tbk. mengajukan IPPT seluas 143 hektare. Diduga Toto melakukan praktik rasuah dalam proses izin tersebut.
"Dalam mengurus IPPT, tersangka BTO (Bartholomeus Toto) mendapat pesan dari Bupati Neneng agar izin dilakukan secara bertahap. Tersangka BTO menyanggupi dan menjanjikan uang untuk pengurusan izin tersebut," kata Saut di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (29/7).
Kemudian, Neneng Hasanah Yasin selaku Bupati Bekasi saat itu menyetujui keputusan ihwal IPPT tersebut, yang diperuntukkan membangun area komersil seluas 846.356 meter persegi kepada PT Lippo Cikarang Tbk.
Untuk merealisasikan janji pemberian suap, kata Saut, tersangka Toto memberikan izin untuk pegawai divisi land acquisition and permit mengambil uang dari PT Lippo Cikarang Tbk. Uang itu, diserahkan pegawai tersebut ke orang kepercayaan Neneng di heliped PT Cikarang.
"Tersangka BTO (Bartholomeus Toto) diduga menyetujui setidaknya lima kali pemberian uang tersebut kepada Bupati Neneng, baik dalam pecahan dolar Singapura dan pecahan Rupiah dengan total Rp.10,5 miliar," ujar Saut.
Atas perbuatannya, Toto disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 13 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya Saut menjelaskan peran Iwa Karniwa selaku Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat dalam keterlibatan perkara rasuah untuk mengurusi Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
Dikatakan Saut, perkara itu bermula saat Neneng Rahmi Nurlaili selaku Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas Kabupaten Bekasi pada 2017 telah menerima uang yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak untuk memuluskan proses persetujuan RDTR Kabupaten Bekasi 2017.
Neneng merupakan terpidana dalam kasus perizinan proyek pembangunan Meikarta. Dia sudah divonis empat tahun enam bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Bandung.
Setelah masuk dalam Raperda RDTR, kata Saut, Neneng diajak oleh Sekda Dinas PUPR untuk menemui pimpinan DPRD di kantornya. Saat itu, Sekda Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari pimpinan DPRD terkait pengurusan Raperda RDTR itu.
Setelah Raperda RDTR itu disetujui oleh DPRD Kabupaten Bekasi, lalu perda itu dibahas oleh Pemprov Jawa Barat. Namun, raperda tersebut tidak segera dibahas oleh Pokja Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD) meski dokumen pendukung sudah diberikan.
"Didapatkan informasi bahwa agar RDTR diproses, Neneng Rahmi harus bertemu dengan tersangka IWK (Iwa Karniwa), Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat," ucap Saut.
Setelah itu, barulah Neneng mengetahui kalau dirinya harus menyerahkan uang sebesar Rp1 miliar kepada Iwa sebagai syarat memuluskan proses pembahasan raperda RDTR di tingkat provinsi.
KPK menyangkakan Iwa dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam perkara rasuah Meikarta, setidaknya terdapat sembilan terpidana yang sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Adapun sembilan nama yang telah divonis dalam perkara itu dijatuhi hukuman yang bervariasi oleh majelis hakim. Mereka adalah eks Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin, divonis 6 tahun penjara karena menerima suap sebesar Rp10,630 miliar dan 90.000 dolar Singapura.
Majelis hakim juga menjatuhkan hukuman kepada empat anak buahnya yakni Kepala Dinas PUPR, Jamaludin; Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Dewi Tisnawati; Kepala Dinas Pemadam Kebakaran, Sahat Maju Banjarnahor; dan Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR, Neneng Rahmi Nurlaili. Mereka divonis 4,5 tahun penjara.
Sedangkan empat terpidana dari pihak swasta yang menjadi oemberi suap juga telah divonis oleh majelis hakim. Mereka ialah Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro divonis 3,5 tahun; dua konsultan Lippo Group, Taryadi dan Fitra Djaja Purnama divonis 1,5 tahun; serta pegawai Lippo Group, Henry Jasmen divonis 3 tahun.