Perang kongsi China dalam kuasa tambang emas di Borneo
Tak berselang lama dari peristiwa penangkapan 60-an warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah oleh aparat gabungan TNI dan Polri pada Selasa (8/2) lantaran menolak tambang batuan andesit di desanya untuk membangun Waduk Bener, konflik tak kalah mengerikan terjadi di Desa Tada, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Pada Sabtu (12/2) seorang warga Desa Tada bernama Erfadi meregang nyawa disambar sebutir peluru, kala warga bentrok dengan polisi. Penembakan kejadian di tengah aksi demonstrasi warga menolak tambang emas PT Trio Kencana di kampung halaman mereka.
Eksploitasi tambang emas
Tiga abad silam, tambang emas di Borneo—kini Kalimantan—pernah pula menyilaukan mata dan membikin huru-hara. Mulanya, tambang emas di pedalaman Borneo dikelola orang Dayak atas izin penguasa Melayu.
Eksploitasi tambang emas beralih ke orang-orang asal China, yang turun dari Brunei, selepas Sultan Mempawah memperbolehkan mereka menambang di Sungai Duri pada 1740.
Artikel “Perang Emas di Borneo” karya Zaim Uchrowi dan Djunaini K.S, yang terbit di Tempo edisi 23 Januari 1988 menerangkan, orang-orang China yang datang ke Brunei kala itu adalah pelarian politik zaman Dinasti Ming di Tiongkok. Mereka datang ke Brunei dan bekerja sebagai penambang emas yang tangguh.
Awalnya, Sultan Mempawah cuma mendatangkan 20 pekerja asal China dari Provinsi Kwangtung untuk dipekerjakan di tambang-tambang emas Borneo Barat, kata jurnalis Bondan Winarno dalam bukunya, Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997).
Orang-orang dari Kwangtung, juga Fukien, sebut Zaim dan Djunaini, merupakan golongan penentang kaisar yang beringsut dengan jung-jung mereka ke Brunei.
Ada alasan utama, tulis peneliti dari Balai Arkeologi Banjarmasin, Ida Bagus Putu Prajna Yogi dalam “Lanskap Pertambangan Penambang Tiongkok di Monterado, Kalimantan Barat: Pendekatan Arkeologi Sejarah” di Forum Arkeologi, April 2016, mengapa penguasa di Borneo mengajak orang-orang China menjadi penambang.
“Orang Dayak memang mencari dan mendulang serbuk emas, tetapi biasanya menganggap hal itu sebagai pekerjaan sederhana,” tulis Ida.
“Orang Tiongkok sudah jauh melampaui mereka dalam seni penambangan, yang bukan saja memerlukan tenaga kerja buruh yang sangat besar, namun juga ketekunan dan ketelitian.”
Teknologi pertambangan dan organisasi pekerja China menghasilkan emas melimpah. Mereka memanfaatkan mesin-mesin sederhana dan sistem pengawasan pekerja.
Lambat laun, pertambangan emas meluas ke pelosok Mempawah, seperti Minawang, Sinman, dan Mandor. Sukses pekerja tambang asal China segera berembus ke mana-mana.
Sultan Sambas dan beberapa sultan lainnya di Borneo, sebut Bondan, kepincut membuat perjanjian dengan para pekerja China. Walhasil, Sultan Sambas mengizinkan mereka bekerja di tambang emas yang kaya di Monterado pada 1750.
“Kabar pun segera terdengar di kalangan orang-orang Hakka dan Hoklo di Provinsi Kwangtung tentang adanya cebakan emas,” tulis Bondan.
“Semacam gold rush pun terjadi ketika orang-orang dari Kwangtung ini berduyun-duyun datang.”
Anehnya, penjajah Belanda yang serakah tak silau dengan tambang emas. Verenigde Oostindische Compagnie (VOC)—kongsi dagang Belanda alias kompeni—hanya fokus merampas dan berdagang rempah-rempah.
“Hal itu amat berlainan dengan para penjajah Spanyol yang mendatangi daerah-daerah jajahannya untuk mencari emas,” tulis Bondan.
Pengecualian, VOC hanya mengeksploitasi tambang perak di Salida, Sumatera Barat. Menurut Bondan, penyebabnya mereka terpaksa melakukan itu lantaran kekurangan bahan logam perak untuk pembuatan mata uangnya.
Apalagi, Belanda tak punya reputasi mentereng dalam pertambangan. Buktinya, belasan tambang emas yang dikeruk Belanda pada awal abad ke-20, sebagian bangkrut.
“Hanya dua tambang saja—Rejanglebong dan Simau (Bengkulu)—yang terbukti menguntungkan,” tulis Bondan. “Selama 45 tahun, antara 1896-1941, kedua tambang emas itu menghasilkan 130 ton.”
Perseteruan antarkongsi
Perjanjian kerja antara sultan dan pekerja tambang asing itu sudah menggunakan konsep bagi hasil. “Dua belah pihak punya kedudukan setara dalam perjanjian,” tulis Bondan.
Ida menulis, terutama setelah dibuka tambang baru di Mandor pada 1770, muncul perkampungan China di daerah pertambangan emas. Permukiman itu lantas berdiri pula di Seminis, Larah, dan Montrado.
Menurut P. Blancard dalam Manuel du Commerce des Indes Orientales et de la Chine (1806), yang dikutip sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia (2005), hanya pekerja dari China orang asing yang menetap di Borneo dengan aman.
“Koloni-koloni mereka di sana sudah tua sekali. Dengan tanah air mereka, mereka melakukan perdagangan yang mengisi sejumlah jung mereka, yang sebagian dibangun di pulau itu,” tulis Blancard, dikutip Lombard.
Bondan mengatakan, orang-orang China itu membentuk berbagai kongsi—asosiasi komunal—di Borneo Barat. Ada sejumlah hak yang diberikan Sultan Sambas, tulis peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Pontianak, Any Rahmayani dalam “Montrado 1818-1858: Dinamika Kota Tambang Emas” di Patanjala, Juni 2015—antara lain kekuasaan pemerintah, pengadilan, dan keamanan.
“Bahkan, mereka diberi bekal peralatan ataupun keperluan konsumsi dengan persyaratan harus membayarnya dalam bentuk emas,” tulis Any.
Sejarawan China Lo Hsiang-Iin, menurut Lombard, menerangkan sistem pemerintahan mereka bersifat presidensial. Hal itu mulai dijalankan pada 1775, memadu kekuasaan niaga dan politik. Bondan menyebut, mereka mengikuti pola village republic dan mekanisme otonomi, yang dibawa dari Kwangtung.
Periode 1770-1777, kata Any, ada 14 kongsi di Montrado dan daerah sekitarnya. Kongsi-kongsi tersebut lazimnya akan bergabung ke dalam kongsi yang lebih besar. Selain menaungi kongsi-kongsi kecil, kongsi besar juga membawahi kampung-kampung di sekitarnya. Any menyebut, Kongsi Fosjoen adalah kongsi besar.
Kongsi Lan Fong, sebut Bondan, juga merupakan kongsi besar dan kuat yang beraliansi dengan Sultan Pontianak. Lan Fong mendapat kuasa menggarap tambang emas dan intan di Mandor, sebelah utara Pontianak.
Seiring waktu, perebutan lahan emas menjadi penyebab pertikaian antarkongsi. Kongsi-kongsi yang kalah kekuasaan lahan emasnya akan jatuh ke kongsi pemenang. Jumlah kongsi pun berkurang, menyisakan kongsi yang kuat.
Intervensi Belanda, sebut Any, ikut memanaskan kongsi pertambangan emas di Borneo Barat. Pada 1818, Belanda sampai ke Borneo Barat. Mereka lalu tertarik dengan keberadaan orang-orang China di kongsi-kongsi.
“Mereka merasa perlu menundukkan orang-orang China di bawah kekuasaan pemerintahannya,” tulis Any.
Perang kongsi pada 1822 hingga 1824, menurut Any, adalah konflik terbuka antara dua kongsi besar yang berafiliasi dengan Fosjoen, yakni Samtiaokioe dan Thaikong, yang mengalami penurunan deposit emas.
Setelah perang tersebut, pemerintah kolonial membagi lahan pertambangan emas kongsi Thaikong dan Samtiaokioe. Kongsi China juga berkonflik dengan orang Dayak. Any menulis, konflik itu terjadi pada 1842. Kala itu, para penambang China merampas tambang emas Dayak di Lara.
“Bentuk konflik berkembang antara pasukan gabungan kongsi Thaikong dan Dayak di Selakau, dengan pasukan gabungan Dayak yang dikerahkan pejabat Kerajaan Sambas,” tulis Any.
Perang antarkongsi ini sering kali melibatkan Kesultanan Sambas dan pemerintah kolonial. Entah itu dalam bentuk pasukan atau persenjataan. Perang besar lainnya terjadi pada 1850 hingga 1854, antara kongsi Thaikong dan Samtiaokiou.
Kongsi Samtiaoukiou, tulis Any, bersekutu dengan Kesultanan Sambas dan Belanda. Perang berakhir dengan dihapuskannya organisasi kongsi emas yang ada di wilayah itu pada akhir 1854.
“Akibatnya, terjadi migrasi pekerja tambang dalam skala yang relatif besar ke daerah pesisir pantai dan lembah-lembah sungai besar,” tutur Any.
“Penghapusan kongsi secara nyata ditandai dengan sebuah upacara yang dilangsungkan di balai utama di Montrado.”
Lalu, penguasa Sambas memberi kompensasi penyerahan hak pajak pertambangan milik orang China kepada pemerintah kolonial, sebagai imbalan menumpas pemberontakan para penambang.
Lombard menulis, orang Belanda benar-benar menundukkan kongsi-kongsi emas China di Borneo pada 1884. Sementara Zaim dan Djunaini mengatakan, kongsi-kongsi emas dibubarkan lantaran tak lagi mendatangkan laba. Para penambang China itu kemudian banting setir menjadi pedagang hasil bumi, seperti kopra, lada, dan pala. Sebagian lainnya usaha rumah bordil dan judi di kawasan kumuh.
“Satu abad kemudian, penjajah Belanda meniru cara yang sama, dengan mendatangkan pekerja-pekerja tambang dari China untuk menggarap pertambangan timah di Pulau Bangka Belitung dan Singkep,” tulis Bondan.