Bermaskerlah! Perang melawan Covid-19 masih panjang
Gelak tawa terdengar dari sekumpulan anak muda duduk di salah satu sudut di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Minggu (2/8) malam. Merungguh dalam lingkaran, mereka tampak tengah menikmati kopi dalam gelas-gelas plastik yang biasa dijual pedagang kaki lima di kawasan tersebut.
Malam itu, Sofyan, untuk kali pertama nongkrong bersama kawan-kawannya di Monas. Tanpa bermasker, Sofyan mengaku berani "kelayapan" karena situasi pandemi Covid-19 sudah memasuki babak new normal.
"Saya cuma bawa helm. Lagian kondisi sudah mulai normal kan," kata pemuda berusia 19 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id.
Perilaku tak jauh berbeda juga ditunjukkan Ridwan, sohib Sofyan. Ia mengaku tak sempat memakai masker karena terburu-buru. "Lagian malam-malam begini pasti tidak ada razia," kata pemuda yang tinggal di Depok, Jawa Barat itu.
Meski tak membawa masker, Sofyan dan Ridwan tidak khawatir tertular virus Covid-19. Mereka meyakini rekan-rekannya bersih dari penyakit. "Kita kan kontakan dulu (sebelum) ke sini. Pastikan semua tidak memiliki virus corona," tukas Sofyan.
Sofyan dan Ridwan hanya dua dari sekian banyak pemuda di DKI Jakarta dan wilayah-wilayah sekitarnya yang mulai abai terhadap protokol kesehatan pada masa pandemi Covid-19.
Menurut catatan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta, sebanyak 59.123 pelanggar ketentuan bermasker terjaring razia dalam Operasi Kepatuhan Peraturan Daerah pada periode 5 Juni 2020 hingga 2 Agustus 2020.
"Kebanyakan remaja kadang-kadang cuek karena merasa dirinya lebih kuat, merasa dirinya sehat, dan kemudian bergerombol. Di antaranya enggak pakai masker," kata Kepala Satpol PP DKI Jakarta, Arifin kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Senin (3/2) malam.
Menurut Arifin, warga yang tak mengenakan masker umumnya bisa dengan mudah ditemukan di jalan-jalan protokol dan jalan pemukiman di DKI. Ada berbagai macam alasan dikemukakan para pelanggar saat dicegat petugas, semisal lupa atau karena sekadar jalan-jalan di sekitar rumah.
Sebanyak 52.584 pelanggar memilih sanksi kerja sosial sebagai hukuman karena tak bermasker. Sisa 6.539 lainnya memilih membayar denda. Total sudah terkumpul duit sekitar Rp973 juta dari pelanggar.
"Ada juga yang menyampaikan seolah-olah sudah normal. Mayoritas juga memilih sanksi sosial. Mereka tidak mampu membayar denda karena ekonomi tidak mampu," tutur Arifin.
Satpol PP DKI juga menertibkan restoran dan lokasi wisata yang melanggar Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 51 tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi. Jumlah denda yang terkumpul dari restoran sebanyak Rp354.800.000, sedangkan dari lokasi wisata sebanyak Rp197.000.000.
"Jadi total denda yang sudah dibayarkan, baik perorangan (tidak mengenakan masker) maupun tempat usaha Rp1.525.310.000. Jika digabungkan dengan seluruh PSBB tahap dua dan tiga sudah sebanyak Rp2.425.000.000," jelas dia.
Besarnya jumlah denda itu menunjukkan maraknya pelanggaran protokol kesehatan selama pandemi. Padahal, total sudah ada lebih dari 22 ribu warga DKI yang dinyatakan positif Covid-19. Setiap hari, ratusan warga DKI tertular virus mematikan itu.
Berkaca pada masih tingginya angka penularan, Arifin mengaku heran masih banyak warga yang mengabaikan protokol kesehatan. Ia mengklaim edukasi dan sosialisasi penggunaan masker sudah masif disampaikan pemerintah, baik secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa.
"Sebelum DKI menerapkan denda, sudah dibagi masker kepada masyarakat Jakarta, dengan harapan tidak ada alasan masyarakat tidak pakai masker. Makanya, ada sistem penegakan, sanksi bagi mereka yang tidak mengenakan masker saat keluar rumah," katanya.
Melihat besarnya jumlah pelanggaran yang terjadi selama PSBB transisi, Arifin mengatakan, pemerintah mengevaluasi penerapan Pergub 51/2020 terkait sanksi. Jika diperlukan, tidak tertutup kemungkinan sanksi sosial dan denda diperberat.
"Kita lakukan semacam evaluasi dan kajian menyeluruh mengapa terjadi penurunan kepatuhan masyarakat. Apa karena sanksi yang kurang tegas atau memang ada faktor lain yang mempengaruhi masyarakat? Apa karena lelah dan jenuh pakai masker atau persepsi yang salah terkait new normal sehingga tidak perlu pakai masker?" ujar dia.
Kewajiban bermasker dikalahkan infodemi?
Masker dan pelindung wajah (faceshield) merupakan dua jenis piranti paling mudah dan efektif untuk mencegah penularan Covid-19. Apalagi, studi terbaru yang dirilis World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa penularan virus Covid-19 bisa terjadi lewat udara (airborne).
Berkaca pada temuan itu, meskipun negara-negara telah mulai menerapkan new normal, WHO mengingatkan kembali pentingnya mengenakan masker tiap saat terutama saat berada di luar rumah, rajin cuci tangan, dan menerapkan jaga jarak.
Studi bertajuk "Community Use Of Face Masks And COVID-19: Evidence From A Natural Experiment Of State Mandates In The US" yang dipublikasikan di jurnal Health Affairs juga membuktikan efektivitas penggunaan masker.
Dalam studi yang digarap Wei Lyu dan George L Wehby itu, ditemukan bahwa angka penularan Covid-19 menurun secara signifikan di 15 belas negara bagian di Amerika Serikat setelah penggunaan masker diwajibkan. Tiga minggu setelah masker diwajibkan, angka penularan melambat hingga 2%.
Pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai maraknya pelanggaran terhadap protokol kesehatan disebabkan dua hal. Pertama, komunikasi pemerintah yang belum efektif. Kedua, rendahnya kesadaran masyarakat di tengah maraknya informasi-informasi palsu.
"Sebagian masyarakat juga lebih percaya pada hal-hal yang tidak masuk akal. Misalnya, mereka lebih percaya pada teori konspirasi, macam-macam. Ini (Covid-19 dianggap) bukan masalah yang serius. Bagimana pemerintah bisa mengatasi hal tersebut karena yang nyebarin informasi palsu juga dibiarkan saja," kata Pandu kepada Alinea.id, Senin (4/8).
Menurut Pandu, dalam menghadapi pandemi, pemerintah juga seharusnya menghadang infodemi, yakni informasi palsu mengenai pandemi. Menurutnya, bahaya informasi palsu terkait pandemi sudah diingatkan WHO.
"Infodemi itu wabah informasi palsu. Itu sudah diingatkan oleh WHO karena tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Di banyak negara juga seperti itu. Jadi, pemerintah harus lebih tegas. Kalau tidak, lebih hancur nanti," katanya.
Pandu mencontohkan infodemi yang berbahaya seperti kampanye teori konspirasi yang dilakukan drummer Superman Is Dead (SID) I Gede Ari Astina alias Jerinx. Dalam kampanyenya--termasuk di antaranya di media sosial--Jerinx berulang kali meragukan bahaya Covid-19.
Pandu juga menyinggung kontroversi penemuan antibodi Covid-19 dalam perbicangan penyanyi Anji dan Hadi Pranoto, seorang pria yang disebut-sebut sebagai seorang profesor atau ahli mikrobiologi.
"Termasuk Anji kemarin juga, sebenarnya itu menyabotase pemerintah. Dia mengatakan udah ada obatnya (Covid-19). Itu enggak ditindak. Padahal informasinya enggak benar," jelas Pandu.
Penyebab lain dari tingginya pelanggaran, menurut Pandu, ialah kebijakan melonggarkan PSBB dilakukan tanpa persiapan yang matang. Walhasil, banyak orang yang menyamakan new normal sebagai keadaan yang benar-benar normal.
"Seharusnya, sebelum pelonggaran dibangun komunitasnya, dibuat satgas di masing-masing kantor. Mereka yang atur karyawannya. Makanya, paling tepat adalah pembatasan sosial berbasis komunitas. Komunitas tempat kerja atau tempat tinggal yang efektif bisa mengatur orang," kata dia.
Untuk mengefektifkan penerapan Pergub 51/2020, Pandu menyarankan agar petugas mengumumkan pelanggar PSBB transisi secara terbuka. "Mungkin harus ada pilihan-pilihan yang membuat mereka kapok atau apa, ya. Apakah fotonya dipasang, diumumkan, siapa-siapa saja melanggar. Lebih bagus begitu, dibuat malu," kata Pandu.
Perberat sanksi untuk pelanggar
Pakar kebijakan publik Trubus Rahardiansyah sepakat maraknya pelanggaran pada masa PSBB transisi disebabkan karena kombinasi rendahnya kesadaran warga akan bahaya Covid-19 dan lemahnya sosialisasi dari pemerintah.
Trubus juga menyebut pemerintah juga terburu-buru menggulirkan new normal dengan membuka sembilan sektor perekonomian di tengah pandemi, yakni pertambangan, perminyakan, industri, konstruksi, perkebunan, pertanian dan peternakan, perikanan, logistik, dan transportasi barang. Padahal, persiapannya masih minim.
"Ini memang kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan sangat rendah. Masyarakat malah abai. Di satu sisi, kebijakan pemerintah malah suka lengah karena terlalu memberi relaksasi atau pelonggaran-pelonggaran," ujar dia.
Terkait sanksi, Trubus menyarankan agar sanksi sosial lebih diperberat. Para pelanggar, misalnya, bisa dihukum membersihkan kampung-kampung kumuh di wilayah DKI. Ia tidak sepakat sanksi denda karena hanya menambah beban bagi masyarakat.
"Karena enggak mungkin, misalnya, sanksi sosial diarak ke jalan raya. Jadi diawali dengan pernyataan, 'Kalau ulang, kamu kena denda. Kalau perlu kurungan kalau ulang lagi.' Jadi, itu bertingkat supaya masyarakat punya kesadaran," katanya.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah mendukung sanksi bagi pelanggar PSBB transisi diperberat, khususnya bagi warga yang tak menggunakan masker. Jika perlu, operasi di kawasan-kawasan padat penduduk digelar untuk memastikan kepatuhan.
"Karena apa? Di tempat padat penduduk ini masyarakat masih sangat cuek dengan aturan yang ada. Jadi, masih berkerumunan di keramaian, di pinggir jalan tanpa menggunakan masker atau mengikuti protokol yang ada," kata Ida.
Berbeda dengan Trubus, Ida lebih menyarankan sanksi denda sebagai bentuk hukuman. Warga yang tidak bisa membayar denda saat dicegat petugas, kata dia, bisa diberikan tenggat waktu tertentu hingga mereka mampu membayar.
"Ini melatih kedisiplinan warga DKI. Kalau sanksinya hanya menyapu, menyanyi, atau push-up, saya pikir mereka tidak akan serius menaati aturan yang ada. Yang ada mereka malah senang masuk TV atau apalah," ujar politikus PDI-Perjuangan itu.
Juli lalu, Universitas Gadjah Mada (UGM) merilis riset mengenai akhir pandemi Covid-19 di Indonesia. UGM memperkirakan pandemi baru bakal berakhir pada Februari 2021. Total sekitar 221 ribu orang diprediksi bakal terjangkit.