Percik kesumat Firli di Gedung Merah Putih
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyimpan dendam. Satu per satu orang-orang yang pernah berseberangan dengannya mulai tersingkir. Di Gedung Merah Putih, julukan markas KPK di kawasan Kuningan Persada, Jakarta, Firli bahkan tak malu-malu lagi menunjukkan arogansi.
Salah satu staf Biro Hubungan Masyarakat KPK pernah jadi korban kesumat Firli. Saat hendak menjepret Firli untuk keperluan foto buku tahunan, pegawai Gedung Merah Putih itu malah kena semprot.
"Ngapain foto saya? Kalian kan yang menolak saya?" kata sumber Alinea.id di KPK menirukan ucapan Firli.
Sumber Alinea.id tak mau menyebut identitas staf tersebut. Ia juga menolak merinci kapan peristiwa itu terjadi. Ia hanya menyebut perlakuan itu diterima sang staf terkait dengan gerakan penolakan besar-besaran pegawai KPK terhadap Firli pada September 2019.
Ketika itu, salah satu "pentolan" gerakan menolak Firli ialah Kabiro Humas KPK Febri Diansyah, bos sang staf. Dalam konferensi pers di Gedung KPK, Febri--yang merangkap jabatan sebagai jubir KPK--bahkan turut hadir mengumumkan pelanggaran etik berat yang diduga dilakukan Firli.
Sebelum menjadi penguasa KPK, Firli pernah bertugas di lembaga antirasuah itu sebagai Deputi Bidang Penindakan pada 2018. Saat memangku jabatan itu, Firli dua kali bertemu dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zainul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB). TGB pernah diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi divestasi saham PT Newmont.
Meskipun mendapat penolakan, Firli tetap melenggang mulus ke Gedung Merah Putih. Kini, Febri yang apes. Jabatannya sebagai jubir dicopot Firli, Desember lalu. "Dendam F (Firli) karena penolakan oleh pegawai masih berlanjut," ujar sumber itu.
Aroma dendam juga tercium dalam pemulangan jaksa KPK Yadyn Palebangan dan Sugeng ke Kejaksaan Agung serta Kompol Rossa Purbo Bekti ke Polri. Yadyn dan Sugeng tercatat turut memeriksa pelanggaran etik yang diduga dilakukan Firli saat bertemu TGB.
Adapun Rossa merupakan penyidik yang diperbantukan dalam tim yang menggarap kasus dugaan suap mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, awal Januari lalu. Rossa satu-satunya penyidik Polri dalam tim itu.
Sumber Alinea.id menyebut pemulangannya diduga berlatar belakang kepentingan politis. Rossa, kata dia, disingkirkan karena hendak menangkap Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto.
"Rossa bukan siapa-siapa. F pun enggak kenal. Dia baru kenal ketika tahu Rossa yang (mau) nangkap. Mau nangkap Hasto," kata dia.
Dalam kasus suap Wahyu, staf Hasto terlibat sebagai penyalur uang dari politikus PDI-P Harun Masiku ke Wahyu. Suap untuk memuluskan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR itu disebut diketahui oleh Hasto.
Pemulangan Rossa menjadi ladang gosip di kalangan pegawai KPK. Pasalnya, Polri dua kali menolak pemulangan Rossa lewat surat yang ditandatangani Wakapolri Gatot Eddy Purnomo. Proses pemulangan Rossa, lanjut sumber Alinea.id, juga jadi polemik lantaran diputuskan tanpa melibatkan empat komisioner lainnya.
"Pimpinan lainnya hanya pelengkap F. Itulah sebabnya pegawai kaget. Bukankah pimpinan kolektif kolegial? Di (kalangan) pegawai ini jadi pembicaraan hangat. Mengapa F (Firli) seolah-olah melawan Mabes?" kata dia.
Ketidakharmonisan Firli dengan pegawai KPK juga mulai terasa dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Dalam proses penangkapan Wahyu misalnya, Firli disebut bersitegang dengan Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak.
Firli disebut mencecar Panca karena tidak memberitahukan progres penyelidikan KPK dalam kasus tersebut. "Itu yang gua tahu, ya," kata sumber Alinea.id.
Adu mulut antara Firli dan Panca juga sempat terjadi dalam peristiwa pemulangan Kompol Rossa ke Polri. "Panca, yang bersangkutan jenderal bintang 1, tidak setuju karena paham Mabes (Markas Besar Polri) sudah membatalkan pencabutan," kata dia.
Menurut sang sumber, kondisi di internal KPK masih tidak kondusif semenjak Firli dan empat pimpinan baru KPK terpilih. Pegawai KPK pun masih terus melakukan perlawanan. "Terutama di rapat-rapat," kata dia.
Wadah Pegawai KPK disalahkan
Anggota Komisi III DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Masinton Pasaribu mengatakan pemulangan Yadyn dan Rossa ke institusi asal tak seharusnya menjadi polemik. Menurut dia, pemulangan Rossa ke Mabes Polri merupakan wewenang penuh pimpinan KPK.
"Tugasnya (Rossa) itu adalah bagian dari penugasan dari institusi asal, baik dari kepolisian atau kejaksaan pada KPK. Nah, ketika KPK melakukan evaluasi terhadap pegawai yang ditugaskannya, ya, institusi asalnya harus bisa menerima pengembaliannya," kata Masinton kepada Alinea.id, Kamis (13/1).
Masinton malah menuduh Wadah Pegawai (WP) KPK yang jadi pemicu kisruh pemulangan Rossa dan dua jaksa KPK. Menurut dia, WP KPK saat ini terlampau berkuasa dan kerap berseberangan dengan pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
"Keputusan apa pun dilakukan oleh pimpinan KPK yang dianggap WP tidak sesuai kepentingannya, ya, mereka pasti menolak atau menggungat. Bahkan, pernah keputusan pimpinan komisioner sebelumnya di-PTUN-kan," kata dia.
Ia pun meminta agar keberadaan WP KPK dievaluasi oleh para petinggi KPK. "Kalau itu tidak dievaluasi, keberadaan wadah pegawai itu jadi alat intervensi. Pimpinan KPK tidak memiliki otoritas untuk diskresi atau kebijakan," tuturnya.
WP KPK memang kerap berseberangan dengan Firli. Jauh sebelum Firli ditetapkan sebagai Ketua KPK, WP KPK sempat menggalang petisi yang ditandatangani sekitar 1.000 pegawai KPK. Isinya menolak calon pimpinan KPK yang dianggap bermasalah, termasuk di antaranya Firli.
Dalam kasus pemulangan Rossa, WP juga bermanuver. WP KPK mengadukan Firli kepada Dewan Pengawas KPK karena menduga ada pelanggaran etik yang dilakukan mantan Kapolda Sumatera Selatan itu saat memulangkan Rossa.
"Bahwa terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan bahkan berpotensi melanggar etik. Khususnya, jaminan agar KPK dapat menjalankan fungsi secara independen," kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo di Gedung Merah Putih, Kuningan Persada, Jakarta, Jumat (7/2).
Ada sejumlah hal yang dianggap janggal oleh WP KPK dalam pemulangan Rossa. Pertama, Rossa tidak pernah diberi peringatan sebelumnya oleh Biro SDM KPK. Kedua, Rossa dipulangkan sebelum waktunya meskipun tidak pernah melanggar etik atau disiplin.
Ketiga, Polri telah dua kali mengirimkan surat pembatalan penarikan Rossa, yakni lewat surat bertanggal 21 dan 29 Januari 2020. "Rossa tidak pernah mendapat pemberitahuan diberhentikan dari KPK dan apa alasan jelasnya," kata Yudi.
Alinea.id mencoba menghubungi komisioner KPK Alexander Marwata untuk mengonfirmasi isu perpecahan di internal KPK. Namun, Alexander--yang pernah menyatakan bakal membenahi WP KPK tak lama setelah terpilih sebagai pimpinan KPK--tak merespons permintaan wawancara.
Dalam keterangan resminya, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) mengatakan, pemulangan Rossa ke Polri tak boleh dianggap hanya sekadar persoalan manajemen. Ia menduga ada konflik kepentingan yang bermain.
"Ada pertanyaan dasar yang harus dijawab. Siapa yang paling punya kepentingan untuk mengembalikan Kompol Rossa? Siapa di KPK yang kepentingannya paling terganggu?" tanya BW.
Kinerja KPK diprediksi terus memburuk
Peneliti Transparency International Indonesia Agus Sarwono membela konsistensi WP KPK menggugat kebijakan-kebijakan pimpinan KPK yang terkesan arogan. Menurut Agus, Firli dan kawan-kawan tidak boleh dibiarkan sewenang-wenang.
"Ini akan mengganggu kenyamanan kerja dari kawan-kawan pegawai KPK. Saya pikir langkah yang dilakukan teman-teman WP sudah tepat," kata Agus kepada wartawan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Menurut Agus, kehadiran Firli merusak budaya yang telah terbangun internal KPK. Ia mencontohkan kunjungan Firli ke Kabupaten Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat pada penghujung Januari. Saat tiba di bandara, Firli disambut Gubernur Sulbar H Ali Baal Masdar dan Kapolda Sulbar Brigjen Pol Baharudin Djafar.
Sambutan semacam itu, menurut Agus, tidak mungkin terjadi saat Agus Rahardjo dan kawan-kawan masih memimpin KPK. "Saya pribadi menganalogikan KPK (periode sebelumnya) kayak kuntilanak yang datang tak dijemput, pulang tak diantar. Ini situasi sudah berubah," tuturnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana sepakat pemulangan sejumlah penyidik dan jaksa KPK beraroma dendam. "Sugeng itu kan sebelumnya adalah tim yang bertugas untuk memeriksa pelanggaran kode etik Firli. Jadi, kausalitasnya terbentuk. Sebab-akibatnya terlihat," kata dia.
Kurnia mengatakan, keputusan-keputusan buruk Firli cs itu akan berimplikasi buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi ke depan. "KPK akan semakin menurun performanya. Kepercayaan publiknya akan rendah," kata dia.
Ucapan Kurnia setidaknya diamini survei yang dirilis Alvara Research Center, pekan lalu. Hasil survei itu menunjukkan penurunan tingkat kepercayaan publik yang cukup signifikan terhadap KPK, yakni dari 80% pada periode survei sebelumnya menjadi 71,1%.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pelemahan KPK sedang berjalan di bawah Firli dan kawan-kawan. Ia mencontohkan "lolosnya" mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
"KPK menjadi lemah. Buktinya Nurhadi yang berkali-kali mengajukan praperadilan saja bisa buron. Sepertinya (penanganan perkara di KPK) jadi main-main," kata Fickar.
Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar pada Desember 2019. Dua kali dipanggil, dua kali pula Nurhadi mangkir. Dibidik sejak beberapa tahun lalu, kini KPK justru tak tahu di mana Nurhadi berada.