Resah perekayasa dan peneliti lembaga riset di balik wacana peleburan BRIN
Sejak menyeruak kabar rencana peleburan Lembaga Pemerintah Nonkementerian (LPNK), seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), para pegawai di Balai Teknologi Hidrodimanika (BTH) BPPT gelisah.
“Mereka menanyakan masa depannya. Terutama yang berstatus pekerja kontrak,” ujar Kepala BTH BPPT, Muryadin saat dihubungi Alinea.id, Rabu (23/6).
Pria berusia 57 tahun itu mengatakan, para pegawai kontrak terancam kena pemutusan hubungan kerja (PHK), bila terjadi perubahan nomenklatur yang melebur BPPT ke dalam BRIN.
“Saya hanya memikirkan nasib mereka,” kata Muryadin.
Dalam Pasal 69 ayat 1 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN, yang diteken Presiden Joko Widodo pada 28 April 2021 disebutkan, dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak berlakunya perpres itu, tugas dan kewenangan pada LIPI, BPPT, BATAN, dan Lapan diintegrasikan menjadi tugas, fungsi, dan kewenangan BRIN.
Lalu, Pasal 69 ayat 2 di perpes itu disebut bahwa integrasi yang dimaksud pada ayat 1 LIPI, BPPT, BATAN, dan Lapan menjadi OPL (organisasi pelaksana penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan atau litbangjirap) di lingkungan BRIN.
Mengabaikan perekayasa?
BTH merupakan sebuah unit kerja di BPPT, yang bergerak di bidang jasa pengujian teknologi perkapalan, dengan mekanisme penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Muryadin menyebut, selama ini pihaknya membiayai segala aktivitas laboratorium rekayasa di BTH, termasuk membayar gaji pegawai kontrak, dengan anggaran yang bersumber dari PNBP.
“Kami ini satker (satuan kerja) yang dituntut mengoperasikan sebuah laboratorium dengan pembiayaan rutin, baik air, listrik, serta pemeliharaan sarana dan prasarana,” tuturnya.
“Tugas pokok kita adalah pelayanan jasa dengan mekanisme PNBP. Bila mekanisme ini hilang, tentu kami tidak bisa mendanai yang lain.”
Jika jadi dilebur, ia khawatir, mekanisme PNBP bakal dihapus dan diubah ke prinsip nontransaksional.
“Sementara kami ini adalah layanan jasa. Ada ketetapan tarif yang dipatok dari Kementerian Keuangan. Ada jasanya, sekian nanti masuk ke kas negara,” tuturnya.
“Dari situ kemudian kita bisa membuat anggaran tahun depannya, untuk bayar honorer dan operasional. Kalau nontransaksional, repot.”
Pria yang bekerja sebagai perekayasa di BPPT sejak 1989 ini menyebut, prinsip anggaran nontransaksional juga akan menyulitkan arah kerja perekayasa. Apalagi jika prioritas riset BRIN berbeda jauh dengan BTH BPPT.
“Jadi kami akan sebagai apa di BRIN? Belum tahu. Apakah layanan jasa itu bisa jalan lagi atau enggak, atau itu sudah dihapus?” katanya.
“Kalau kami tidak ada kegiatan perekayasaan itu kan kami mandek karena kegiatan penelitiannya belum tentu ada.”
Muryadin memandang, peleburan bakal mengubah model kerja perekayasa, yang selama ini banyak berhubungan dengan mitra industri. Imbasnya, kata Muryadin, pada tata kelola bisnis BTH BPPT karena semua kewenangan bakal diambil alih BRIN.
Senada dengan Muryadin, perekayasa ahli utama Pusat Teknologi Material BPPT, I Nyoman Jujur membenarkan banyak perekayasa yang resah dengan rencana peleburan LPNK ke dalam BRIN. Ia menilai, peleburan tersebut potensial merusak ekosistem hilirisasi teknologi, yang saat ini sudah mulai terjalin baik dengan sektor industri.
“Kalau dari nol lagi karena dilebur, sayang sekali,” ujar Nyoman saat dihubungi, Selasa (22/6).
Nyoman mencontohkan unit kerjanya, yang mengembangkan implan tulang dari bahan stainless steel untuk pengobatan pasien patah tulang, yang merupakan permintaan dari para dokter ortopedi. Implan tulang itu memiliki izin edar dan menjadi produk komersial.
Pusat Teknologi Material BPPT, sebut Nyoman, juga sudah memiliki peta jalan sendiri hingga 2024. Mereka pun sudah memiliki produk yang bakal dihilirisasi ke industri.
“Nah, kalau ini diganggu, bisa molor dan enggak tercapai. Jadi, sayang,” kata Nyoman.
Menurut Nyoman, sangat mubazir bila peleburan BPPT ke dalam BRIN harus mengorbankan bisnis proses yang sudah dibangun Pusat Teknologi Material BPPT sejak lama. Ia mengatakan, seandainya bisnis prosesnya diubah, maka bakal ada ketidakpastian pendanaan lagi.
Keresahan soal peleburan BPPT ke dalam BRIN, kata Nyoman, juga dirasakan perekayasa dari unit kerja lain, yang tengah mesra dengan kalangan industri.
“Teman-teman perekayasa di tempat lain itu mempertanyakan, bagaimana nanti konsep dia akan digabungkan? Sebab, mekanismenya kan belum jelas,” katanya.
“Umpamanya dia harus ikut BRIN, bagaimana dia melingkar dengan kekuatan di kementeriannya dan lain sebagainya.”
Ia menuturkan, bukan perkara gampang membentuk tim perekayasa yang siap membuat inovasi teknologi. Perlu waktu lama untuk meningkatkan kompetensi sebuah tim perekayasa. Mereka pun sudah terbiasa bekerja dalam team work.
“Kami sudah membina team work itu. Kalau dilebur, pola kerjanya diubah dan harus mencari bentuk yang baru lagi. Akhirnya menyulitkan kami,” kata Nyoman.
Ia menekankan, seorang perekayasa berbeda dengan peneliti, yang cenderung menciptakan kebaruan teknologi. Nyoman menyebut, perekayasa lebih menerapkan teknologi, agar kompatibel dengan dunia industri. “Sehingga teknologi menjadi tepat guna.”
Oleh sebab itu, Nyoman berharap, nantinya para perekayasa tak dipaksa berlagak seperti peneliti lantaran bakat mereka berbeda. Artinya, kata dia, penempatannya harus pada posisi yang tepat dan tidak diubah.
“Umpamanya kami yang sifatnya diterapan, tapi dipaksa menciptakan kebaruan teknologi. Nah, itu yang enggak ketemu. DNA kami berbeda,” katanya.
Nyoman berharap pula pemerintah tak serampangan mencampuradukkan profesi perekayasa dengan peneliti dalam satu wadah di BRIN. Pangkalnya, ia khawatir bakal timbul tumpang tindih pekerjaan.
“Apa pun yang diinginkan pemerintah, kami ikuti. Tapi, hal-hal utama yang menjadi DNA dan ciri khas perekayasa harus dipahami,” ucap Nyoman.
Laboratorium dan nasib peneliti humaniora
Menurut Muryadin, BTH BPPT sudah memiliki reputasi ciamik dalam uji coba kelaikan operasi perkapalan. Ia berani bertaruh, nyaris semua industri galangan kapal dalam negeri melakukan uji kelaikan teknologi kapal di BTH BPPT.
Oleh karenanya, ia menyayangkan bila balai teknologi yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur itu diabaikan fungsinya, hanya karena dilebur ke dalam BRIN. Sebab, akan membuat perekayasa tak bisa berinovasi lagi.
Ia berharap, kemampuan BTH BPPT yang sudah malang melintang di dunia industri perkapalan, tidak disuntik mati BRIN. Sehingga masih bisa melakukan layanan jasa uji coba teknologi perkapalan.
“Paling tidak, kami tetap satker, sehingga bisa menerima kontrak PNBP dari instansi luar. Misalnya, dari galangan kapal akan menguji kapalnya di sini, langsung bisa ke sini tanpa melalui BRIN. Tapi tetap semua laporan ada di BRIN,” ujar Muryadin.
“Jadi kerja kami tidak berubah dan laboratorium kami tak beralih fungsi.”
Ia pun khawatir laboratorium di BTH BPPT tak terurus, bila harus terpaku dengan anggaran pemerintah pusat. “Saya takut BTH akan menjadi museum karena tidak terurus.”
Di sisi lain, Nyoman juga berharap, peleburan BPPT ke dalam BRIN tak membuat laboratorium di BPPT beralih fungsi menjadi laboratorium lain. Alasannya, semua laboratorium di BPPT sudah dirancang menunjang pengembangan teknologi industri, bukan menciptakan kebaruan teknologi.
“Ada nilai investasi yang cukup besar di setiap aset yang ada di laboratorium BPPT,” kata pria lulusan Tohoku University, Jepang itu.
“Sifat lab kami betul-betul untuk menunjang spesifikasi produk, seperti uji beton, sasis mobil, atau kereta api.”
Sementara itu, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengaku resah dengan wacana peleburan LPNK ke dalam BRIN.
“Melebur 84 lembaga itu bukan pekerjaan ringan. Membangun nomenklatur baru, butuh waktu dan penyesuaian,” kata Siti saat dihubungi, Senin (21/6).
Ia menganggap, peleburan ini bakal menimbulkan ketidakpastian kepada para peneliti. Sebab, ia mengamati, masa transisi BRIN akan menyita waktu lama, yang membuat BRIN tak langsung efektif bekerja. Imbasnya, membuat nasib peneliti yang lembaganya dilebur terkatung-katung.
“Bahkan hal ini sudah dirasakan lembaga penelitian sejak tahun 2020 ketika dimunculkan Ristek/BRIN,” kata Siti.
“Tapi BRIN tak kunjung diimplementasikan hingga ada keputusan pemerintah dan DPR tentang merger Kemendikbud Ristek dan BRIN menjadi badan otonom.”
Lebih lanjut, ia melihat, peleburan lembaga riset ke dalam BRIN juga kurang memberi jaminan bagi peneliti sosial humaniora. Ia memandang, BRIN tak dirancang untuk kemajuan ilmu sosial humaniora.
"Ketidakpastian ini yang menggelayuti para peneliti soshum (sosial humaniora),"kata Siti.
Siti menuturkan, para peneliti sosial humaniora juga khawatir terjadi politisasi di ranah penelitian, yang bisa mengganggu independensi mereka. Akibatnya, hasil penelitian akan melenceng.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian (Balitbangtan Kementan) Fadjry Djufry menanggapi berbeda wacana peleburan LPNK dan lembaga litbangjirap di kementerian atau lembaga ke dalam BRIN.
Ia mengaku, belum begitu khawatir. Sebab, sejauh ini ia belum mendapat kepastian mengenai peleburan balitbangtan ke dalam BRIN. "Badan Litbang Kementan sampai sekarang masih tetap di Kementan," kata Fadjry ketika dihubungi, Rabu (23/6).
Alinea.id sudah berusaha meminta konfirmasi kepada Kepala BRIN Laksana Tri Handoko terkait peleburan LPNK dan lembaga penelitian lain ke dalam BRIN. Namun, hingga laporan ini dipublikasikan, belum ada tanggapan.
Dalam sebuah webinar, 15 Juni lalu, Handoko menjelaskan, tidak mungkin ada integrasi tanpa peleburan lembaga. Mengacu pada Perpres 33/2021, kata mantan Ketua LIPI itu, yang dilebur entitasnya, bukan tugas dan fungsi lembaga. Ini tak hanya menjangkau LPNK, tapi juga badan-badang litbang di K/L.
"Integrasi, (lembaga) dilebur tak dilarang. Ini ranah eksekutif, yakni Presiden. Saya menjalankan yang diperintah Presiden. Perpres tertulis jelas, BRIN harus mengintegrasikan, termasuk (litbang) di K/L (kementerian/lembaga). Ini bukan posisi saya. Ini tak melanggar UU karena di UU tak melarang," jelas Handoko, Selasa (16/6).
Handoko mengatakan, kata kuncinya adalah menciptakan integrasi agar bisa memberikan dampak dalam waktu singkat. Ia rencanakan dua tahap. Tahap pertama akan dituntaskan 1-2 bulan ini. Tahap kedua, bulan September-Oktober 2021. Integrasi total dimulai anggaran 2022.
"Prinsip dasar di tahap awal, periset dan unit riset tak terdampak. Yang terdampak di eselon I," kata Handoko.