Pemberian subsidi angkutan jalan perintis disebut merupakan perwujudan kehadiran pemerintah terhadap konektivitas wilayah terisolasi, dengan memberikan pelayanan angkutan umum yang terjangkau terutama di wilayah tertinggal, terpencil, terluar, dan perbatasan (3TP).
Rata-rata persentase pertumbuhan jaringan trayek angkutan jalan perintis sejak tahun 2015 hingga tahun 2022 tercatat 6,54%, dan rata-rata realisasi sebesar 93,9%.
“Dari data Direktorat Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) Kementerian Perhubungan per tahun 2022 ada 156 trayek dari total trayek yang dilayani oleh angkutan jalan perintis di tahun 2022, atau sekitar 54% yang merupakan daerah asal-tujuan dan lintasan daerah 3TP,” kata Akademisi Prodi Teknik Sipil Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno dalam keterangan resminya, Minggu (6/11).
Adapun pengadaan sarana bus perintis dilakukan oleh Ditjen Hubdat kemenhub dan dioperasikan oleh Perum DAMRI melalui mekanisme lelang yang dilakukan terakhir kali pada tahun 2016. Hal ini membuat semua armada bus angkutan jalan perintis kondisinya sudah kurang layak untuk beroperasi.
“Ditambah lagi, jaringan jalan yang dilayani bukannya jalan yang mulus. Tidak sedikit harus menyeberangi sungai dan jalan rusak. Sejumlah jalan rusak itu wewenang dari pemerintah daerah untuk memperbaikinya, yakni jalan provinsi dan jalan kabupaten,” lanjut Djoko.
Ia menambahkan, untuk saat ini jumlah trayek paling sedikit ada di Provinsi Jawa Tengah yaitu satu trayek. Sedangkan jumlah terbanyak ada di Provinsi Papua sebanyak 38 trayek dengan panjang jalan yang dilayani mencapai 33.969 kilometer (km), namun harus melewati panjang jalan rusak mencapai 4.478 km atau setara dengan 13,18%.
“Tidak ada jalan rusak berada di Provinsi Maluku Utara. Jalan rusak terpanjang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu mencapai 1.049 km,” ujarnya.
Djoko menyebut sejumlah kendala yang dihadapi angkutan jalan perintis saat ini. Yakni, kondisi jalan yang sulit dilalui dan putusnya jembatan yang menghubungi wilayah yang dilayani apabila terjadi cuaca buruk dan bencana alam. Lalu, sulitnya mendapat bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di beberapa trayek yang dilayani, terutama di luar Pulau Jawa dan Bali. Terakhir, kendaraan sudah mencapai umur teknis, sehingga memengaruhi optimalisasi pelayanan.
Berdasarkan kendala-kendala tersebut, Djoko memberikan solusi, yaitu menyelesaikan masalah pada saat terjadi bencana alam yang menyebabkan putusnya jalan yang menjadi trayek angkutan jalan perintis dengan melakukan addendum kontrak yang disesuaikan dengan mengubah atau mengurangi sisa kontrak pelayanan.
“Sedangkan solusi atas masalah sulitnya BBM subsidi adalah melakukan koordinasi dengan Kementerian ESDM, dan PT Pertamina agar dapat memaksimalkan pendistribusian BBM bersubsidi di seluruh wilayah Indonesia. Lalu perlu segera dilakukan peremajaan kendaraan perintis agar tetap dapat melayani kebutuhan masyarakat,” tandas Djoko.