Hukum represif terbukti telah terjadi di tengah konflik agraria pembukaan tambang dan pembangunan Bendungan Bener pekan lalu. Tindakan represif justru dilakukan aparat penegak hukum yang menekan penduduk setempat dalam upaya penolakan. Aparat juga diketahui menangkap 60-an warga dengan tuduhan membawa senjata tajam.
Praktisi Hukum UGM yang juga peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Herlambang P. Wiratraman menyatakan, kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga Wadas, bukan sekadar kasus pelanggaran hukum, melainkan sudah mengarah ke level yang lebih serius, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000.
“Kekerasan, intimidasi, dan penangkapan sewenang-wenang jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujar Herlambang dalam diskusi publik Bekerjanya Hukum Represif: Belajar dari Kasus Wadas yang digelar secara daring di saluran Youtube Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Sabtu (12/2).
Untuk itu, Herlambang mengusulkan, agar sejumlah upaya untuk mendorong upaya pertanggungjawaban atas bekerjanya hukum represif di tengah masyarakat Wadas. Pertama Komnas HAM harus bergerak lebih cepat dan sigap dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki. Bukan malah melakukan mediasi dengan warga yang sebenarnya tidak tepat dalam situasi kekerasan dan intimidasi yang saat ini sedang terjadi.
Sebaliknya, Komnas HAM seharusnya segera membentuk tim khusus minimal tim pemantauan untuk menguji peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut. Tak terkecuali atas trauma dan kekerasan yang terus terjadi baik terhadap warga, pendamping hukum, bahkan jurnalis.
Kemudian, akademisi peduli Wadas juga mendesak agar pertambangan andesit di Wadas dibatalkan. Peristiwa yang terjadi pada 8-9 Februari sudah melukai warga dan menjadi kejahatan pembangunan infrastruktur. Presiden Joko Widodo tak boleh diam karena peristiwa ini memalukan dan merendahkan dan merendahkan martabat kemanusiaan. Artinya presiden juga harus meninjau ulang skema proyek strategis nasional (PSN) yang memenuhi mekanisme perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Sementara itu, Peneliti BRIN Lilis Mulyani mengatakan, ada banyak penyebab terjadinya konflik agraria dalam pembangunan proyek. Namun, yang paling kentara disebabkan oleh proses pembangunan proyek yang tidak melibatkan diskusi dengan masyarakat lokal. Padahal di dalam hukum dikenal konsep sociolegal di mana pelaksanaan hukum tidak melulu didasarkan atas peraturan yang tertulis tetapi juga mempertimbangkan apa yang dirasakan masyarakat.
Konflik sering terjadi karena kepentingan politik dan institusional serta tujuan yang lebih mengedepankan benefit ekonomi. Padahal tanah atau lahan dalam banyak pandangan masyarakat lokal mengandung nilai kapital, sosial, dan kultural. Apa yang dianggap penting oleh masyarakat lokal berbeda dengan apa yang dianggap penting oleh pemerintah misalnya soal relasi kultural.
“Izin lokasi karena masih di awal harusnya bisa dicegah. Semoga pemerintah daerah memiliki inisiatif mendengarkan masyarakat Wadas untuk mencegah dampak yang lebih besar,” ungkap Lilis.
Catatan berbagai lembaga menunjukkan, era Presiden Jokowi menjadi era yang paling getol melakukan pembangunan infrastruktur. Tercatat ada 225 proyek di seluruh Indonesia dengan 59 di antaranya adalah bendungan. Sebanyak 2.000-an sengketa agraria terjadi sejak dimulainya proyek-proyek tersebut pada 2015.