Perkara di balik segarnya air minum galon bermerek
Siang itu, Nudin memulai pekerjaannya mengangkut sampah di perumahan Citra Garden City, Kalideres, Jakarta Barat. Ia menyusuri setiap bak sampah di depan rumah warga untuk dibawa ke penampungan, selanjutnya diangkut petugas kebersihan ke tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat.
Nudin senang bila menemukan barang-barang, seperti kompor bekas, tabung freon, atau barang elektronik teronggok di bak sampah. Sebab, ia bisa menjualnya kembali ke tukang loak.
“Kalau dikumpulin mah lumayan (uangnya),” kata Nudin saat berbincang dengan Alinea.id di perumahan Citra Garden City, Kalideres, Jakarta Barat, Senin (21/11).
Belakangan, Nudin mengatakan, ia sering mendapati galon sisa pakai salah satu produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang dibuang. “Galon air minum Le Minerale sering saya dapat. Kalau Sabtu (atau) Minggu bisa dapat lima galon,” ucapnya.
“Padahal blok (perumahan tempat) saya (mengangkut sampah) enggak banyak rumah. Tapi sampah galon pasti ada.”
Komitmen terhadap lingkungan
Petugas pengangkut sampah lainnya, ujar Nudin, juga kerap mendapati galon sisa pakai. Rata-rata galon merek Le Minerale yang ia dapat masih mulus dan layak pakai. Galon yang ditemukan Nudin biasanya ia bawa pulang untuk dijadikan ember menampung air tanah atau air hujan.
“Galon (merek) Aqua ada juga. Tapi biasanya udah rusak parah dan enggak bisa dipakai lagi,” ujar Nudin.
Ia malas menjual galon sisa pakai itu ke tukang loak karena kerap ditawar murah. Biasanya dihargai Rp1.500-Rp2.000 per galon. Akan tetapi, jika kepepet kebutuhan atau sudah memenuhi ruang rumahnya, pria asal Garut, Jawa barat itu pun menjual juga galon tersebut.
Ia mengaku tak mengetahui ke mana galon bekas itu setelah berpindah tangan ke tukang loak. Ia hanya diberi tahu, galon itu bakal dilebur untuk dijadikan barang berbahan plastik.
“Seperti kursi atau meja plastik,” kata Nudin.
Galon sisa pakai yang dibuang menjadi masalah pelik lingkungan. Data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (Inaplas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah per tahun.
Sebanyak 5% di antaranya atau setara 3,2 juta ton adalah sampah plastik. Dari 3,2 juta ton sampak plastik itu, produk AMDK bermerek menyumbang 226.000 ton atau setara 7,06%.
Hal itu disampaikan Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik dalam sebuah diskusi virtual pada Juli 2022. Sedangkan data Sustainable Waste Indonesia menyebut, tingkat daur ulang sampah plastik baru 7%, dengan jenis plastik polietilena tereftalat (PET) mencapai 70% tingkat daur ulang.
Setidaknya, saat ini ada satu perusahaan yang menggunakan galon sekali pakai berbahan PET, yakni PT Tirta Fresindo Jaya, dengan merek Le Minerale. Sisanya, AMDK merek Aqua, VIT, dan Pristine menggunakan galon berbahan polycarbonate (PC). Di samping dua bahan tadi, dikenal pula high density polyethylene (HDPE) dan low-density polyethylene (LDPE).
External Communications & Corporate Digital Senior Manager Danone Indonesia—perusahaan induk produk Aqua—Indah Tri Novita mengatakan, pihaknya tengah berusaha menekan penggunaan galon baru untuk produk Aqua, dengan perlahan mengalihkan ke galon daur ulang.
“Penggunaan galon guna ulang merupakan bagian dari komitmen kami melalui gerakan Bijak Berplastik, dalam mendukung target dan ambisi pemerintah untuk mewujudkan Indonesia bersih dan mengurangi hingga 70% sampah plastik di lautan pada 2025,” kata dia, Selasa (22/11).
Menurut Indah, pihaknya berusaha mengumpulkan seluruh galon sisa pakai di masyarakat untuk didaur ulang menjadi kemasan, mengurangi pembuatan galon baru.
“Kami berkomitmen untuk membuat 100% kemasan plastiknya dapat digunakan kembali, dapat didaur ulang, atau dikomposkan, serta menggunakan hingga 50% material daur ulang pada 2025,” tuturnya.
Indah menekankan, saat ini hampir 70% bisnis Danone Aqua juga sudah sepenuhnya sirkular untuk menopang galon guna ulang. Tak hanya galon, Aqua pun mengupayakan agar produk kemasan botol menggunakan material plastik daur ulang.
"Saat ini sekitar 95% kemasan Danone Aqua sudah dapat didaur ulang dan akan terus dikembangkan melalui berbagai inovasi untuk mewujudkan produk berkualitas yang ramah lingkungan," ucap Indah.
Lebih lanjut, ia mengklaim, Aqua sebenarnya sudah mulai mengurangi komponen material plastik dalam produknya. Semisal menghilangkan segel plastik di kemasan botol.
Indah berujar, pihaknya juga menjalani bisnis daur ulang dengan masyarakat untuk menyerap galon dan botol Aqua bekas pakai dari konsumen. Kerja sama dengan perusahaan lain pun dilakukan.
“Danone Aqua membangun kerja sama dengan startup Octopus, mengembangkan aplikasi pengumpulan kemasan. Dan kerja sama dengan Grab, menyediakan jasa pengangkutan kemasan plastik bekas dari konsumen,” katanya.
“Hingga saat ini, Danone Aqua telah berhasil mengumpulkan lebih dari 15.000 ton sampah plastik per tahun.”
Selain fokus mengurangi material plastik, Indah menyebut, Aqua mulai mengalihkan sebagian produknya dengan kemasan botol kaca guna ulang pada industri pariwisata. Sedangkan pihak Le Minerale menjelaskan, guna meminimalisir penggunaan galon baru, pihaknya mengandalkan jaringan bank sampah di masyarakat.
"Nantinya akan diambil oleh petugas sampah karena galon Le Minerale bekas akan dikumpulkan untuk didaur ulang," ujar pihak Le Minerale lewat pesan singkat di akun media sosial resmi mereka, Kamis (24/11).
Belum jadi isu signifikan
Dosen di Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM) Daniel memprediksi, konsumsi AMDK bakal meningkat. Bahkan, kata dia, separuh dari masyarakat Indonesia akan ketergantungan dengan air kemasan pada 2026.
"Dari riset kami, tren penggunaan AMDK meningkat 1,24 kali (124%) setiap tahun. Riset kami juga memprediksi bahwa 50% penduduk Indonesia akan menggunakan AMDK, baik isi ulang ataupun bermerek pada 2026," kata Daniel melalui pesan singkat, Senin (21/11).
Berdasarkan data BPS tahun 2018, menurut Daniel, provinsi dengan penduduk pemakai AMDK terbanyak adalah DKI Jakarta, yakni 75% dan Kepulauan Riau, yakni 72%. Sedangkan yang paling sedikit adalah Nusa Tenggara Timur, yakni 8% dan Bengkulu, yakni 16%.
“Keluarga dengan berpendidikan tinggi di wilayah perkotaan adalah pemakai dominan AMDK di Indonesia,” tuturnya.
Alasannya, AMDK dianggap lebih aman, mudah diperoleh, dan murah dibandingkan sumber air minum lain. Kondisi lingkungan juga turut menjadi alasan, karena ketersediaan air tanah yang aman semakin menipis.
Namun, ia menjelaskan, tren konsumsi AMDK harus disertai dengan penegakan aturan, baik isi ulang yang diperoleh dari depot air minum atau air kemasan bermerek. Perkaranya, AMDK berpotensi memiliki masalah kontaminasi dan higienitas. Ia menyarankan pemerintah menegakkan aturan hingga tataran daerah.
Daniel menuturkan, pemerintah masih lemah mengawasi masalah AMDK. Soalnya, infrastruktur untuk menguji kualitas air yang sehat di berbagai daerah belum memadai.
"Bayangkan saja ada ratusan tempat air isi ulang di kota-kota besar. Lalu keterbatasan laboratorium untuk uji kualitas air," kata Daniel.
Sementara itu, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Edy Sutopo mengatakan, galon AMDK belum menjadi isu yang signifikan melilit industri air minum. Sebab, hampir tak ada galon sisa pakai yang terbuang karena nilai ekonominya terbilang tinggi.
“Hampir tidak ada yang terbuang, recovery hampir 90%. Jadi yang masalah di air adalah fleksibel plastik (kantong atau saset)," kata Edy, Rabu (23/11).
Meski begitu, perdebatan penggunaan galon sekali pakai atau guna ulang menjadi sangat keruh lantaran ada persaingan bisnis dua perusahaan air minum raksasa, yakni Aqua dan Le Minerale, yang saling bersitegang membawa isu lingkungan.
"Tapi pemerintah tidak mau masuk ke dalam pertarungan ini," ujar Edy.
Edy berkata, persaingan bisnis AMDK juga sudah merembet ke isu persoalan kadar bisfenol A (BPA) dalam kemasan galon berbahan PC. BPA adalah senyawa sintetis organik berupa padatan tak berwarna yang larut dalam pelarut organik, tetapi tak larut dalam air.
Akan tetapi, kata Edy, pemerintah melihat zat BPA yang ada di galon berbahan PC belum begitu signifikan menjadi zat berbahaya karena temperatur suhu di Indonesia terbilang aman.
“Migrasi zat BPA pada polycarbonate (PC) akan terjadi kalau temperatur lebih dari 50 derajat (celsius), selama 10 hari berturut-turut,” ujar Edy. “Para ahli pun masih tidak satu bahasa, ada yang pro dan kontra.”
Jika para ahli sepakat bahwa galon berbahan PC sudah diambang kadar berbahaya, menurut Edy, pemerintah baru akan bertindak mengurangi galon jenis itu.
"Tapi karena tidak ada kasus yang siginifikan, terus kita tetapkan, kasihan. Jadi menambah biaya bagi pelaku usaha. Kasihan mereka," ucap Edy.
Kendati demikian, Edy mengatakan, pemerintah mendorong perusahaan AMDK untuk tetap menjaga komitmennya terhadap lingkungan. Walau sedang terjadi persaingan bisnis yang cukup sengit.
"Kita komitmen pada industri bersih. Termasuk mencegah cemaran lingkungan dan sebagainya," kata Edy.