Perkara kosmetik ilegal
Beberapa waktu lalu, Kepolisian Daerah Jawa Timur mengungkap kasus produk kosmetik ilegal beromzet Rp300 juta per bulan. Polda Jatim pun mengumumkan artis-artis papan atas yang terlibat endorse produk kosmetik ilegal ini.
Artis-artis ini meng-endorse merek produk kosmetik ilegal di akun Instagram mereka. Artis-artis tersebut, antara lain Via Vallen, Nella Kharisma, serta artis berinisial NR, MP, DJB, dan DK.
Menurut Kabid Humas Polda Jatim Kombes Frans Barung Mangera, Nella Kharisma akan diperiksa Rabu (12/12). “Selanjutnya Via Vallen, dan lain-lain,” kata Frans saat dihubungi, Senin (10/12).
Frans mengatakan, menurut tersangka berinisial KIL, artis yang melakukan endorse produk kosmetik ilegal tersebut mendapatkan uang Rp10 juta hingga Rp15 juta per minggu.
Dilansir dari Antara, tersangka KIL memproduksi kosmetik merek Derma Skin Care (DSC) Beauty, yang diproduksi di rumahnya di Kediri, Jawa Timur. Dia memanfaatkan bahan untuk campuran dari beberapa merek terkenal, seperti Marcks Beauty Powder, Mustika Ratu, Sabun Papaya, Vivo Lotion, Vasseline, dan Sriti.
Usaha ini sudah dijalankan selama dua tahun. Produk-produk itu, lalu dikemas ulang ke dalam tempat kosong, dengan merek DSC Beauty.
Selama sebulan, KIL menjual sebanyak 750 paket, dengan wilayah penyebaran di Surabaya, Jakarta, Bandung, Makassar, dan Medan.
Tergiur harga murah
Permasalah kosmetik ini memang menuai polemik di masyarakat. Menurut Koordinator Divisi Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi, sejauh ini ada dua jenis kosmetik yang meresahkan, yakni kosmetik ilegal dan kosmetik palsu.
Kosmetik ilegal, yakni produk kosmetik yang beredar tanpa nomor izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sedangkan kosmetik palsu, yakni menduplikasi produk kosmetik yang sudah ada dengan campuran bahan lain. Menurut Sularsi, kosmetik palsu banyak beredar.
“Ada oknum atau perusahaan yang membuat produk dengan bahan tertentu. Kemudian mereka mengemasnya dengan kemasan dari brand kosmetik yang sudah punya nama, misalnya Revlon atau Unilever,” kata Sularsi, saat dihubungi, Senin (10/12).
Kepala Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Gorontalo Yudi Noviandi menunjukan kosmetik sitaan pada konferensi pers di kantor BPOM di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Senin (12/12). (Antara Foto).
Sularsi menjelaskan, selama ini banyak konsumen yang tidak teliti dalam membeli produk kosmetik. Mereka tergiur dengan harga miring produk kosmetik, tanpa mengetahui lebih jauh mengenai bahan yang terkandung di dalamnya. Akibatnya, timbul dampak negatif setelah menggunakannya.
“Konsumen seharusnya berhati hati dalam membeli suatu produk, jangan terjebak dengan harga yang murah,” kata dia.
Sularsi mengatakan, legalitas kosmetik bisa dipastikan dengan mengecek nomor izin edar yang ada di kemasan. Konsumen pun berhak menuntut pengembalian uang maupun ganti rugi, bila mereka tak tahu produk yang dijual itu palsu, dan menyebabkan efek negatif.
Pengawasan lemah
Menurut Kepala Badan Pengawasan Obat dan Minum (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito, pihaknya telah melakukan dua tahap pengawasan terhadap kosmetik di premarket dan postmarket. Penny mengatakan, tantangan yang terjadi saat ini ada di premarket.
Penny menjelaskan, kebijakan pemeriksaan barang di luar kawasan kepabeanan yang mulai diterapkan sejak 1 Februari 2018 malah membuka celah bagi masuknya barang konsumsi ilegal, termasuk kosmetik. Menurutnya, kosmetik yang masuk dari luar negeri ke Indonesia terkadang luput dari pengawasan itu.
“Ada permasalahan di premarket, yakni saat pengawasan di postborder, terkait percepatan perizinan bea cukai,” katanya, saat dihubungi, Senin (10/12).
Masalah lainnya di premarket, menurut Penny, semakin maraknya penjualan melalui situs jual-beli daring. Transaksi daring ini, katanya, ikut mendorong berbagai produk kosmetik beredar, tanpa adanya pengawasan.
Produk yang tak memiliki izin (ilegal) maupun produk yang menduplikasi produk yang sudah ada, dijual di dunia maya.
Sementara, lanjut Penny, BPOM tetap melakukan pengawasan untuk postmarket, dengan mengerahkan balai-balai di setiap provinsi. Penny mengakui, banyak kasus peredaran kosmetik ilegal yang terjadi di daerah-daerah. Hal ini, menurut dia, disebabkan lemahnya pengawasan, karena keterbatasan sumber daya sekaligus regulasi daerah.
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Bandar Lampung membakar produk kosmetik, obat, dan makanan ilegal hasil operasi selama tahun 2018 di kantor BBPOM Bandar Lampung, Lampung, Senin (26/11). (Antara Foto).
“Kami ada pengawasan yang intens terhadap produk-produk yang beredar di seluruh daerah di Indonesia. Tapi tantangannya ya wilayah negara ini terlalu luas,” ujar Penny.
Di sisi lain, Penny mengatakan, kesulitan dalam mengentaskan peredaran kosmetik ilegal ini juga didorong oleh minimnya kesadaran konsumen. Tidak banyak masyarakat yang menjadi konsumen pintar dengan lebih teliti membeli produk kosmetik.
“Yang terpenting masyarakat tidak boleh termakan iklan dan percaya iming-iming harga murah,” kata dia.
Sebelumnya, BPOM telah menemukan penjualan kosmetik ilegal dan mengandung bahan berbahaya senilai Rp134,13 miliar sepanjang 2018. Angka itu terdiri atas Rp112 miliar dari kosmetik ilegal dengan mengandung bahan dilarang atau bahan berbahaya, dan Rp22,13 miliar dari obat tradisional ilegal yang mengandung bahan kimia obat.
Temuan kosmetik ilegal itu didominasi produk kosmetik yang mengandung merkuri, hidrokinon, dan asam retinoat. Selain itu, ada enam jenis kosmetik yang sudah ternotifikasi mengandung pewarna dan logam berat. Bahan-bahan tersebut bisa menyebabkan kanker, kelainan pada janin, dan iritasi kulit.
BPOM mengklaim kasus-kasus tersebut telah ditindaklanjuti secara administratif lewat pembatalan izin edar, penarikan peredaran, serta pemusnahan.
Mengenai penjualan kosmetik palsu yang dilakukan melalui dunia maya, BPOM sebagai lembaga yang bertugas mengawasi obat dan makanan bisa berkoordinasi dengan kepolisian, dalam mengusut tuntas pelaku penjual kosmetik ilegal yang meresahkan masyarakat.
“Usut tuntas pelaku nya dan berikan sanksi yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya,” kata Sularsi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 197 jo Pasal 105 ayat 1, tersangka pelaku penjual kosmetik ilegal bisa diancam dengan pidana 15 tahun kurungan, dan denda maksimal Rp1,5 miliar.