Sumber daya air di Indonesia rupanya tidak terdistribusi secara merata. Persoalan ini, menurut anggota Dewan Sumber Daya Air Nasional, Purba Robert Sianipar, mengakibatkan masyarakat harus mencari sumber-sumber air, dan sering kali berujung pada pengambilan air tanah dengan cara yang belum diregulasi dengan baik.
“Pengambilan akuifer (air tanah) menyebabkan penurunan muka tanah, seperti yang terjadi di Jakarta,” kata Purba Robert Sianipar dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/8).
Permukaan tanah di Jakarta terus menurun hingga 15 cm per tahun. Di beberapa tempat, bahkan penurunan itu mencapai lebih dari 1 meter per tahun. Jakarta menjadi kota yang paling buruk dalam konteks ini bersama dengan Osaka, Taipei, Bangkok, dan Manila.
“Pemerintah memang telah berupaya meningkatkan akses air minum bagi masyarakat dengan berbagai program, namun masih ada tantangan terkait ekonomi dan regulasi,” kata Purba Robert.
Tantangan tersebut, menurut Purba Robert, perlu segera diatasi mengingat krisis air telah termasuk ke dalam isu yang paling diantisipasi. Lebih-lebih, Indonesia adalah negara dengan kapasitas tampung air per kapita di yang rendah.
“Jika tidak ada tindakan yang memadai, Indonesia akan menghadapi krisis air di masa depan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan air yang berkelanjutan, termasuk mengurangi pengambilan air tanah secara berlebihan dan merawat lingkungan yang mendukung ketersediaan air,” katanya.
Tantangan yang dihadapi dalam penyediaan air yang paling kentara, menurutnya, ada pada keterbatasan dana pemerintah. Memecahkan persoalan ini perlu partisipasi dari pihak swasta atau BUMN untuk meningkatkan pelayanan.
Langkah-langkah berani dan inovatif pun juga harus segera diambil. Salah satu cara untuk mengatasi krisis air, menurutnya, adalah dengan memperkuat kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
“Pemerintah perlu berinvestasi dalam infrastruktur yang memadai, seperti perpipaan yang dapat mengurangi ketergantungan pada air tanah. Selain itu, program konservasi dan rehabilitasi daerah aliran sungai harus ditingkatkan untuk menjaga kualitas air dan keberlanjutan sumber daya air,” kata Purba Robert.
Dalam menghadapi tantangan itu, pemanfaatan teknologi juga dapat memberikan solusi yang signifikan. Penggunaan teknologi informasi dan sistem pendukung keputusan dapat membantu dalam pengelolaan sumber daya air yang lebih efisien.
“Data dan informasi yang akurat tentang pola curah hujan, tingkat penurunan muka tanah, dan kualitas air sungai dapat menjadi dasar bagi kebijakan yang tepat guna,” lanjutnya.
Seterusnya, pendidikan dan kesadaran masyarakat juga menjadi faktor kunci dalam menghadapi krisis air. Melalui kampanye edukasi yang kreatif dan terarah, kata dia, masyarakat dapat diajak untuk mengurangi pemborosan air dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kualitas air.
Program partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air juga harus ditingkatkan, sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Tidak kalah pentingnya adalah memperkuat kerja sama internasional dalam mengatasi masalah krisis air. Indonesia menurutnya dapat belajar dari negara-negara lain yang berhasil mengelola sumber daya air dengan baik.
“Kerja sama dengan organisasi internasional seperti World Bank dapat memberikan akses terhadap pengetahuan, teknologi, dan dana yang dapat membantu dalam peningkatan pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan,” kata Purba Robert.
Di tengah krisis air yang melanda, tantangan dan peluang strategis ini harus dihadapi dengan tekad dan kerja keras. Dengan langkah-langkah yang tepat dan kolaborasi yang sinergis, Indonesia dapat menghadapi krisis air dengan lebih baik dan memastikan ketersediaan air bersih bagi seluruh rakyat.
Semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat, menurut Purba Robert perlu bersatu untuk menjaga sumber daya air yang merupakan aset berharga bagi kehidupan dan masa depan bangsa.