Perokok anak di tengah polemik cukai tinggi vs diskon harga
Sembari berlari kecil, Aan mendatangi kawan sebayanya di sudut gang yang tak jauh dari rumahnya di kawasan Percetakan Negara, Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (3/5). Saat tiba, Aan langsung mengeluarkan bungkusan rokok dari saku celananya.
Tak lama, kepulan asap putih keluar dari mulutnya. "Saya semenjak keluar sekolah mulai merokok," kata Aan saat berbicang dengan Alinea.id.
Aan mengaku berhenti sekolah sejak di kelas 1 SMP. Ia memilih berhenti karena tak lulus ujian kenaikan kelas dua saat masih bersekolah di salah satu SMP negeri di Jakarta Pusat, dua tahun silam.
Meski diminta orangtuanya untuk pindah sekolah, Aan menolak. Dia beralasan, otaknya sudah tak mampu lagi dipakai belajar. "Buang-buang duit, toh nanti juga saya bisa kerja, dapat duit," imbuh dia.
Semenjak putus sekolah, Aan bergabung dengan kawan-kawannya mencari duit dengan memainkan ondel-ondel di jalanan. Hasil ngamen itu mereka kumpulkan untuk beli pulsa dan rokok. "Orangtua masih melarang meski mereka tahu saya sudah merokok" ujar Aan.
Setelah pandemi Covid-19 merebak, Aan dan rekan-rekannya tak lagi turun ke jalan. Mereka menghabiskan waktu dengan berkumpul di gang sempit itu sembari bermain gawai. "Gara-gara Corona nih. Semuanya jadi kacau," tutur Heri, rekan Aan.
Seperti Aan, Heri juga merupakan "personel" tetap di tempat tongkrongan itu. Tak mau kalah, pemuda 16 tahun itu juga sudah berstatus perokok aktif.
Aan dan Heri merupakan potret kian lazimnya perokok remaja di Indonesia. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi perokok anak-anak mencapai 9,1%. Angka itu naik dari angka pada 2013 yang hanya 7,2%.
Laporan Pusat Kajian Gizi Regional (PKGR) Universitas Indonesia (UI) pada 2019 juga memotret hal serupa. Menurut PKGR UI, sebanyak 32,1% siswa Indonesia di rentang usia 10-18 tahun pernah mengonsumsi rokok.
Sebanyak 43,4% di antaranya mulai merokok pada usia 12-13 tahun atau pada saat mengikuti pendidikan SMP. Di antara siswa yang merokok pada usia 13-15 tahun, sebanyak 58,2% membeli rokok sendiri dari warung atau toko. Bahkan, 64,5% anak perokok mengaku tidak pernah dilarang saat membeli rokok.
Tingginya perokok usia belia juga tak lepas dari kebijakan pemerintah. Salah satunya ialah terkait membolehkan perusahaan rokok memberi diskon. Kebijakan itu berseberangan dengan langkah pemerintah menetapkan kenaikan cukai rokok pada 2020 sebesar 23% dan harga jual eceran rokok sebesar 35%.
Kebijakan ini tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau. Itu turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 Tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
Meskipun aturan itu sempat direvisi menjadi PMK Nomor 156/2018, namun ketentuan yang memperbolehkan diskon harga rokok itu tidak diubah. Beleid ini menyebut harga transaksi pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen boleh 85% dari harga jual eceran (HJE) atau banderol yang tercantum dalam pita cukai.
Artinya, konsumen mendapatkan keringanan harga sampai 15% dari tarif yang tertera dalam banderol. Tak hanya itu, produsen juga dapat menjual dengan harga di bawah 85% dari banderol asalkan penjualan dilakukan di 40 kota yang disurvei Kantor Bea Cukai.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, keputusan untuk menaikkan cukai rokok memperhatikan tiga hal. Pertama, mengurangi konsumsi rokok. Kedua, mengatur industri rokok. Terakhir, menjaga penerimaan negara.
Untungkan industri
Berbincang dengan Alinea.id, anggota Komisi IX DPR RI Rahmad Handoyo menilai kebijakan Kemenkeu serba dilematis. Meski bertujuan untuk menjaga penerimaan negara, menurut dia diskon harga rokok hanya menguntungkan perusahan.
"Di satu sisi, itu untuk cukai. Di sisi lain, itu kampanye bagi perokok. Kebijakannya secara tidak langsung kampanye untuk perokok (membuat orang lebih mudah beli). Meskipun itu dikurangi, ya, buat industri senang pastinya," kata Rahmad di Jakarta, Senin (4/5).
Meski belum membaca detail Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017, Rahmad menyayangkan kebijakan mendiskon rokok. Ia memperkirakan kebijakan itu bakal membuat anak-anak kian gampang mengakses rokok.
"Ya, dengan harga segitu aja para remaja kita (masih membelinya). Yang mestinya (anak yang) belum merokok, nanti mesti bersentuhan dengan rokok. Apalagi, dengan harga yang diturunkan. Itu sebenarnya yang saya sayangkan," kata dia.
Rahmad menilai kebijakan mendiskon rokok hanya upaya merelaksasi keuangan negara yang terpukul akibat pandemi Covid-19. Tak tertutup kemungkinan, Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017 bakal direvisi.
"Ya, kalau peraturan menteri masih bisa diajak diskusilah. Kalau peraturan menteri kan bisa cepat untuk diubah," ujar politikus PDI-Perjuangan itu.
Anggota Komisi IX lainnya, Kurniasih Mufidayati mengkritik kebijakan mendiskon harga rokok. Menurut dia, kebijakan itu bertentangan dengan upaya pemerintah untuk menekan jumlah perokok anak.
"Itu kan tidak sehat, sebaiknya dihindari karena membahayakan kesehatan semua masyarakat Indonesia," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera itu kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (4/5).
Menurut dia, kebijakan kenaikan cukai dan diskon rokok bertujuan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang iurannya tidak jadi naik. Namun, Kurniasih berpendapat, tak seharusnya pemerintah mengambil langkah tersebut.
"Ketika dinaikan (cukai), harapannya yang mengkonsumsi (rokok) lebih sedikit. Lebih banyak yang sehat nantinya. Saya pribadi tidak mempertentangkannya, tapi bagaimana cara mengatasi defisit iuran BPJS dari berbagai sumber dana yang ada," kata dia.
Komisi IX, kata Kurniasih, tidak memiliki wewenang mendorong pemerintah untuk mengubah Peraturan Direktur Jenderal Bea Cukai Nomor 37/2017. Dia beralasan, urusan cukai bukan wilayah kerja Komisi IX. "Leading sectornya tidak di kita," kata dia.
Kebijakan kenaikan cukai rokok diperkirakan bakal mendatangkan pemasukan hingga Rp173 triliun ke kas negara pada 2020. Meski begitu, kenaikan cukai ini sebenarnya kontras dengan kerugian ditanggung negara akibat penyakit yang disebabkan rokok.
Berdasarkan perhitungan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kesehatan Kementerian Kesehatan pada 2019, kerugian akibat penyakit yang berkaitan dengan rokok mencapai Rp4.180,27 triliun. Kerugian itu dihitung dari nilai produktivitas yang hilang karena penyakit.
Kebijakan kontradiktif
Ketua Yayasan Lentera Anak (YLA) Lisda Sundari sepakat kebijakan menaikan cukai tanpa mencabut diskon harga rokok janggal. Kebijakan itu, kata dia, juga bertentangan dengan upaya menekan jumlah perokok anak yang angkanya terus naik dalam 10 tahun terakhir.
"Itu akan membuat semakin terjangkau. Padahal tujuan dan maksud cukai rokok adalah untuk menjauhkan keterjangkauan rokok dari anak-anak dengan membuat harga rokok tinggi," kata Lisda kepada Alinea.id di Jakarta, Senin (4/5).
Lisda menilai, tingginya perokok anak juga tak lepas dari lemahnya penegakan hukum. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, penjual dilarang menjual kepada anak. Praktiknya, tidak pernah ada sanksi bagi mereka yang menjual rokok kepada anak-anak.
"Sementara itu, industri rokok leluasa merayu anak-anak kita melalui iklan dan sponsor. Jadi, kalau kita ingin perokok anak menurun, akses anak-anak terhadap rokok harus dijauhkan yaitu harga yang tinggi, tidak menjual kepada anak, dan larang iklan dan sponsor rokok," ujar dia.
Menurut Lisda, upaya menekan jumlah perokok anak harus menjadi agenda bersama, baik pemerintah dan masyarakat secara komprehensif. Karena itu, semua program kerja kementerian harusnya sinkron dengan upaya penurunan jumlah perokok anak.
"Jadi, bukan hanya melakukan edukasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat saja, namun juga diperlukan peraturan yang kuat dan penegakan hukum," ujar Lisda.
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes Eni Agustina mengatakan kebijakan mendiskon harga rokok bertentangan dengan upaya-upaya menurunkan jumlah perokok anak.
Namun demikian, Eni mengatakan Kemenkes tidak berwenang untuk mengubah regulasi. "Yang pasti, ini bertentangan dengan kebijakan Kemenkes," ujar Eni kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (7/5).
Menurut Eni, Kemenkes sudah melakukan upaya untuk menekan perokok anak, semisal dengan menggalakkan usaha kesehatan masyarakat (UKS) untuk anak sekolah dan remaja, posyandu remaja, dan membuka layanan telepon untuk konseling berhenti merokok.
"Kita juga memang perang dengan perusahaan rokok. Mereka remaja masa depan kita. Karena kalau sejak remaja sudah merokok kan menjadi kebiasaan di usia tua. Apalagi, sekarang ada berbagai variasi rokok," kata dia.
Selain perlunya pengawasan dan edukasi dari orangtua, Eni sepakat sanksi perlu ada sanksi untuk pedagang rokok yang membandel. Ia pun menyarankan agar PP 109/2012 direvisi supaya memuat sanksi. "Iya. Perlu ada revisi PP-nya," ujar Eni.