Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menyebut, penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terindikasi melanggar konstitusi. Pangkalnya, perppu hanya bisa ditetapkan dalam kondisi kegentingan memaksa.
"Perang Rusia-Ukraina jelas bukan kegentingan memaksa. Alasan ini mengada-ada, terkesan mau melangkahi wewenang DPR, menjadi otoriter," kata Anthony Budiawan dalam keterangannya, Jumat (30/12).
Menurut Anthony, sebuah perppu yang ditetapkan dalam kondisi tidak ada kegentingan memaksa jelas melanggar konstitusi, sehingga otomatis harus batal.
"Jangan sampai perppu dijadikan perangkat hukum untuk menetapkan undang-undang secara sepihak, menuju otoriter, dengan memangkas wewenang DPR. Maka itu DPR wajib menolak," tuturnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) diketahui mengeluarkan putusan agar pemerintah memperbaiki Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Namun, alih-alih mengerjakan pekerjaan rumah (PR) untuk memperbaikinya, pemerintah justru mengeluarkan perppu.
Menurut Anthony, putusan MK tidak bisa dianulir oleh undang-undang (UU) atau perppu. Putusan MK, bilamana undang-undang melanggar konstitusi, wajib dikoreksi sesuai perintah MK.
"Kalau tidak, undang-undang inkonstitusional tersebut otomatis tidak berlaku. Perppu tidak bisa membatalkan undang-undang inkonstitusional," katanya.
Senada, Ketua Umum YLBHI Muhamad Isnur mengatakan, dalam putusannya, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Selain itu, MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"YLBHI menilai penerbitan perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI, dan merupakan gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo," kata Isnur di Jakarta, Jumat.
YLBHI memandang, penerbitan Perppu Cipta Kerja semakin menunjukkan bahwa Jokowi tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK.
"Presiden justru menunjukkan bahwa kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberikan kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis," katanya.
Penerbitan perppu, lanjut dia, jelas tidak memenuhi syarat diterbitkannya perppu yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan undang-undang seperti biasa.
Dia mengatakan, presiden seharusnya mengeluarkan perppu pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang massif dari seluruh elemen masyarakat.
"Tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan perppu," tandas Isnur.