close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kebijakan Presiden Jokowi. Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi kebijakan Presiden Jokowi. Alinea.id/Bagus Priyo.
Nasional
Kamis, 02 September 2021 14:41

Perpres 68/2021: Benahi aturan atau kendalikan menteri?

Perpres 68/2021 mengatur prosedur persetujuan Presiden terhadap kebijakan yang akan ditetapkan menteri/kepala lembaga.
swipe

Pada 2 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menandatangani Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga. Perpres itu mulai berlaku sejak diundangkan pada 6 Agustus 2021.

Salah satu tujuan terbitnya perpres itu adalah untuk menghasilkan peraturan menteri atau kepala lembaga yang berkualias, harmonis, dan tak sektoral. Beleid tersebut mewajibkan setiap menteri atau kepala lembaga untuk meminta persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden, sebelum merancang peraturan.

Rancangan peraturan menteri atau kepala lembaga yang patut mendapat persetujuan Presiden, antara lain yang bisa berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, bersifat strategis atau berpengaruh pada program prioritas Presiden, serta lintas sektor atau lintas kementerian/lembaga.

Perpres 68/2021 seakan memberikan sinyal kepada jajaran Kabinet Indonesia Maju agar tak seenaknya membuat peraturan, tanpa sepengetahuan Presiden Jokowi.

Memperumit birokrasi

Sepengalaman mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, Denny Indrayana, cara yang dilakukan Jokowi mengatasi persoalan regulasi, berbeda dengan SBY.

Di masa pemerintahan SBY, kata Denny, harmonisasi sebuah peraturan cukup dilakukan masing-masing kementerian atau lembaga. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) hanya menyebarluaskan dalam berita negara atau tambahan berita negara.

“Tidak ada persetujuan dari Presiden dalam penyusunan permen (peraturan menteri),” ucap Denny kepada Alinea.id, Senin (30/8).

Menurut Denny, penyelesaian persoalan disharmonisasi peraturan kementerian atau lembaga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pengharmonisasian Rancangan Peraturan Menteri, Rancangan Peraturan Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Rancangan Peraturan dari Lembaga Nonstruktural oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan; serta Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Disharmonisasi Peraturan Perundang-undangan melalui Mediasi.

 Presiden Joko Widodo saat pembukaan Kongres XXV KOWANI di Istana Negara, Jakarta, Selasa (3/12/2020)/Foto Antara.

"Sehingga ada dua metode harmonisasi permen yang saat ini berlaku. Pertama preview, sebelum permen diundangkan. Kedua review, setelah permen diundangkan,” tutur pakar hukum tata negara ini.

“Tapi kali ini, skala harmonisasi permen kembali ditingkatkan pada level preview, dengan terbit Perpres 68/2021 yang membutuhkan persetujuan Presiden.”

Pendiri kantor advokat dan konsultan hukum Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) ini mengatakan, meski Perpres 68/2021 memberi kriteria rancangan peraturan yang patut meminta persetujuan Presiden, namun dalam pasal 3 ayat 2 peraturan itu tak menyertakan indikator yang jelas soal ketentuan kriteria tersebut.

“Jadi, ada baiknya juga kalau melihat kedudukan menteri sebagai pembantu Presiden,” ujarnya.

Ia menilai, keselarasan aturan menteri yang mengharuskan persetujuan Presiden dengan kebijakan atau visi Presiden itu tak mutlak. Katanya, hanya untuk beberapa kategori, sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 ayat 2 Perpres 68/2021.

“Berdampak luas bagi kehidupan masyarakat, tidak memiliki indikator yang jelas,” ujar dia.

Perpres 68/2021 itu pun, menurut Denny, bisa menjadi bumerang karena bukan tak mungkin menambah beban Presiden Jokowi, jika tak didukung tim yang piawai menelaah urgensi rancangan peraturan menteri atau kepala lembaga.

“Selain itu, kita juga punya preseden di mana Presiden tidak membaca perpres yang dia tandatangani,” ujar Denny.

Misalnya, pada April 2015, Presiden Jokowi mencabut Perpres Nomor 39 Tahun 2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara pada Lembaga Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan.

Perpres itu diteken Jokowi pada 20 Maret 2015 dan diundangkan pada 23 Maret 2015. Setelah terjadi polemik, Jokowi mengaku tak tahu persis, cuma menandatangani dokumen yang sudah diparaf bawahannya.

Denny memandang, perpres itu bakal memperumit birokrasi. Penyebabnya, saat ini terdapat 470 aturan berupa peraturan pemerintah (PP) dan perpres yang harus diselesaikan sebagai aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja. Sementara pemerintah baru mampu merampungkan 49 PP dan 4 perpres.

“Dari PP dan perpres tersebut akan muncul permen-permen baru, sebagai aturan subturunannya,” katanya.

“Perpanjangan birokrasi dengan penambahan persetujuan Presiden akan menghambat akselerasi penyusunan permen, yang justru menciptakan ketidakpastian hukum dan mengganggu kebutuhan hukum masyarakat.”

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera menyebut, penerbitan Perpres 68/2021 mubazir. “Ini aturan yang aneh bin ajaib,” kata Mardani, Minggu (29/8).

Mardani mengatakan, perpres itu tak diperlukan karena Presiden Jokowi sebenarnya sudah mampu mengawasi para pembantunya.

“Sebab, Presiden didukung Sekretaris Kabinet, Sekretaris Negara, Kantor Staf Presiden, dan banyak staf khusus," kata dia.

“Aturan ini jelas berpotensi memperpanjang rantai birokrasi.”

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin berfoto bersama seluruh anggota Kabinet Indonesia Maju di teras depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/10/2019) pagi./Foto Rahmat/Humas/setkab.go.id.

Kekhawatiran jelang pemilu?

Lahirnya Perpres 68/2021, menurut Mardani, karena banyak menteri atau kepala lembaga yang mulai asyik sendiri membuat kebijakan. Hal itu membuat Presiden khawatir bakal banyak peraturan yang tumpang tindih dan tak mencerminkan arahannya. Lebih jauh, Mardani menduga Jokowi mulai tak percaya dengan para pembantunya.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Ni’matul Huda menilai, Perpres 68/2021 dibuat untuk mengendalikan pembentukan permen yang sangat masif. Pasalnya, sejauh ini sudah ada sekitar 14.000 lebih peraturan yang potensial saling tumpang tindih.

Ni’matul berpandangan, semestinya permen atau peraturan lembaga berlaku internal, tak keluar. Akan tetapi, celakanya, banyak kementerian atau lembaga yang membuat kebijakan mengatur keluar.

"Dan kadangkala menjadi perintah untuk ditaati oleh pemerintah daerah dan tidak boleh disimpangi oleh daerah," kata Ni'matul, Senin (30/8).

Selanjutnya, Ni’matul mengatakan, secara konstitusional seorang menteri hanya pembantu Presiden. Sedangkan yang punya kewenangan membuat regulasi sesungguhnya Presiden.

Oleh sebab itu, Presiden ingin menertibkan, mengendalikan, dan mengevaluasi rancangan permen atau permen yang diterbitkan menteri. Kendati demikian, Ni’matul sepakat bila persoalan harmonisasi aturan seharusnya dikendalikan Menteri Hukum dan HAM.

"Tapi mungkin sesama menteri enggak enak kalau mengoreksi permen yang lain. Makanya harus ada aturan yang mengendalikan. Memang kesannya jadi berbelit- belit," kata Ni'matul.

Sementara itu, peneliti senior di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro melihat, terbitnya Perpres 68/2021 kental faktor politis. Bila melihat format pembantu Presiden yang rata-rata politisi, kata dia, lumrah asyik sendiri dengan kepentingan mereka. Sehingga mulai seenaknya membuat permen.

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo.

"Ada alasan dan faktor politik yang menyentuh birokrasi," kata Zuhro saat dihubungi, Senin (30/8).

Menurut Zuhro, Perpres 68/2021 merupakan cermin kekhawatiran dan kegelisahan Jokowi terhadap perilaku anak buahnya yang mulai mencari celah kepentingan jelang Pemilu 2024.

“Karena sistem multipartai, sehingga koalisinya tak didasarkan atas koalisi yang terukur. Hanya berdasarkan kepentingan sesaat,” tuturnya.

“Ada kekhawatiran kalau Presiden (Jokowi) tak lagi menjabat, tak ada jaminan (partai) untuk tetap berkuasa.”

Tensi politik yang mulai menghangat jelang 2024, ujar Zuhro, menjadi salah satu alasan Jokowi mengeluarkan Perpres 68/2021. Tujuannya, menjaga agar permen tak disalahgunakan untuk kepentingan politik.

“Selain itu, kepercayaan Jokowi terhadap menteri-menterinya juga mulai menurun,” ucapnya.

Zuhro menyebut, dahulu SBY sempat pula resah melihat tingkah laku menteri-menterinya yang mulai getol memanaskan mesin partai masing-masing jelang Pemilu 2014. Namun, SBY tak sampai menerbitkan perpres untuk mengendalikan menteri-menterinya.

“Hanya memberi teguran agar fokus mengeksekusi program pemerintah,” tutur Zuhro.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan