Pemerintah melegalkan masyarakat untuk memproduksi minuman keras (miras), tetapi dengan berbagai syarat tertentu. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menerangkan, aturan soal miras dapat meningkatkan wisatawan mancanegara (wisman) untuk datang ke Indonesia. Menurutnya, perpres itu sesuai dengan kearifan lokal.
"Itu, kan, banyak buatan lokal, melibatkan tenaga kerja yang banyak juga. Di Bali, Sababay Winery itu, kan, besar, kelas dunia. Kalau ditutup, investor tidak mau datang," ujarnya, Minggu (28/2).
Agus mengatakan, wisatawan memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang kebanyakan sama. "Turis mau ke luar negeri itu karena mau istirahat, mau senang-senang."
Karena itu, kebijakan pemerintah membuka pintu investor baru baik lokal maupun asing untuk minuman beralkohol (minol) di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Utara (Sultra), dan Papua dinilai tepat.
"Bali dan NTT bukan daerah yang mayoritas muslim. Kan, kita Pancasila. Kalau dilarang begitu tidak bisa. Coba lihat Lombok. Itu, kan, tidak boleh miras, tidak ada turis datang. Mau ada Mandalika kek, MotoGP kalau tidak boleh miras, tidak ada yang datang," imbuh Agus.
Agus menjelaskan, kearifan lokal harus tetap dipertahankan, apalagi jika dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar. Karena itu, ia berharap tak mengaitkan kebijakan tersebut dengan agama.
"Tapi kalau ini urusan negara, di mana ini bukan negara muslim. Kalau kita mau mengundang pariwisata, kan, pemerintah mau meningkatkan pariwisata. Kalau tidak ada miras, tidak ada turis yang datang," pungkas Agus.
Perpes yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2 Februari 2021 ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
Aturan soal miras tercantum dalam lampiran III perpres tentang daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu. Salah satu alasan pemerintah membuka peluang Investasi tersebut secara terbatas adalah agar kegiatan yang sudah ada dan berbasis kearifan lokal menjadi legal sehingga menguatkan pengawasan dan kontrol atas produksi dan distribusinya.