Riuh perubahan nama jalan di Jakarta: “Kami repot ganti alamat…”
Siang itu, tiga orang pengemudi ojek online tengah bercengkerama saat beristirahat di ujung Jalan Guru Ma’mun, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka menerka-nerka, siapa sosok Guru Ma’mun yang dijadikan nama jalan pengganti Jalan Rawa Buaya tersebut. Wajar saja, mereka bukan orang kampung situ.
“Paling orang sini, kalau enggak ulama Jakarta Barat,” ucap salah seorang di antara mereka.
Perubahan nama di jalan yang terletak pada persimpangan Jalan Raya Daan Mogot dan persimpangan Jalan Lingkar Luar Barat itu, membuat mereka heran. Padahal, nama Rawa Buaya sudah melekat dalam ingatan mereka.
Yani, seorang pedagang yang saban hari mangkal di jembatan Jalan Guru Ma’mun menyela obrolan mereka. Ia mengatakan, Guru Ma’mun merupakan ulama yang bermukim di Rawa Buaya sejak sebelum kemerdekaan. Perempuan yang tinggal di daerah Rawa Buaya sejak 1990-an mengaku tak asing dengan Guru Ma’mun lantaran namanya kerap disebut dalam acara keagamaan masyarakat.
“Saya sering dengar nama itu disebut, kalau maulid atau acara selamatan warga,” ucap Yani kepada Alinea.id, Selasa (28/6).
Dibuat repot
Lewat Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 565 Tahun 2022 tentang Penetapan Nama Jalan, Gedung, dan Zona dengan Nama Tokoh Betawi dan Jakarta, Pemprov DKI Jakarta mengubah 22 nama jalan di sejumlah titik di Jakarta, dengan nama tokoh Betawi dan sosok yang dianggap berjasa terhadap Kota Jakarta, sebagai rangkaian peringatan HUT DKI Jakarta ke-495 yang jatuh pada 22 Juni 2022.
Selain Guru Ma’mun, ada nama Mpok Nori (komedian), Bokir bin Dji’un (seniman topeng betawi), Raden Ismail (aktor), A. Hamid Arief (aktor), Mahbub Djunaidi (sastrawan), Imam Sapi’ie (jawara Senen yang jadi pejuang), Abdullah Ali (bankir), M. Mashabi (penyanyi gambus), dan Saleh Ishak (pejuang).
Lalu, Tino Sidin (pelukis), Mualim Teko (pembawa Islam), Syekh Junaid al Batawi (imam besar Masjidil Haram, Makkah), Rohim Sa’ih (penyewa lahan perkampungan budaya Betawi), Ahmad Suhaimi (ulama), Guru Amin (pemimpin santri melawan Belanda), dan Tutty Alawiyah (mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan).
Kemudian, Haji Darip (pejuang), Entong Gendut (pemimpin perlawanan terhadap Belanda), Rama Ratu Jaya (guru tarekat, pemimpin perlawanan terhadap Belanda), Kiai Mursalin (ulama), dan Habib Ali bin Ahmad (ulama).
Yani menyambut baik perubahan nama Jalan Rawa Buaya menjadi Jalan Guru Ma’mun untuk memberi penghargaan terhadap tokoh agama tersebut. Namun, ia mengatakan, sebaiknya pergantian nama jalan itu dirundingkan terlebih dahulu. Sebab, tak semua warga mendukung.
“Ada beberapa (orang) yang mempertanyakan, nanti gimana ngubah alamat KTP, KK, sama STNK? Kan perlu waktu buat ngubah,” kata Yani.
Andre, seorang pemilik bengkel sepeda yang ada di Jalan Guru Ma’mun merasa keberatan dengan perubahan nama jalan itu. “Saya harus ubah pelang toko, alamat toko di marketplace. Belum lagi ada motor dua yang mesti diubah (alamat) STNK,” ujar Andre, Selasa (28/6).
Andre menuturkan, sebelumnya tak ada sosialisasi yang dilakukan pemerintah setempat. Ia baru mengetahui ada perubahan ketika petugas dari Pemprov DKI Jakarta mengganti pelang nama jalan beberapa pekan lalu.
“Sebaiknya didiskusikan dulu, biar enggak ujung-ujungnya kita yang repot,” kata dia.
Rakhmat, 50 tahun, warga Kelurahan Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat pun tak setuju dengan perubahan nama jalan di tempat tinggalnya, yang semula Jalan Madrasah II menjadi Jalan Syekh Abdul Karim bin Asfan. Penolakan, kata Rakhmat, juga muncul dari sebagian besar warga yang tinggal di sana.
“Karena nanti takut merembet, mengubah banyak data catatan sipil, kayak KTP, KK, dan STNK. Apalagi sertifikat rumah,” ujar Rakhmat, Selasa (28/6).
Sebulan lalu, tutur Rakhmat, warga di Jalan Madrasah II sempat diminta mengisi angket terkait pandangannya mengenai perubahan nama jalan. Hasil angket itu menunjukkan, rata-rata warga tak sepakat dengan perubahan nama jalan. Meski begitu, petugas Pemprov DKI Jakarta tetap bersikeras ingin mengganti Jalan Madrasah II jadi Jalan Syekh Abdul Karim bin Asfan.
“Ya itu tadi, nanti ngubah surat-surat segala macam. Memang sih katanya gratis. Tapi kan namanya ngurus gituan, butuh hari senggang. Sementara orang kerja kan agak susah,” ujar Rakhmat.
Papan nama Jalan Syekh Abdul Karim bin Asfan sempat dicabut. Kemudian, lanjut Rakhmat, diadakan diskusi antara warga, petugas Pemprov DKI Jakarta, dan ahli waris Syeh Abdul Karim bin Asfan di Kantor Kelurahan Sukabumi Selatan, Jakarta Barat.
“Akhirnya ya dibatalkan dan dari kekuatan ahli waris menyerahkan sepenuhnya ke warga," ujar Rakhmat.
Urun rembuk itu menghasilkan pula kesepatakan, Syekh Abdul Karim bin Asfan tetap diabadikan sebagai nama jalan. “Tapi untuk jalan yang lebih besar,” kata Rakhmat.
Syekh Abdul Karim bin Asfan merupakan tokoh ulama dan penduduk asli Rawa Belong, Jakarta Barat. Makamnya pun terletak di Jalan Madrasah II. Akan tetapi, melihat Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta 565/2022, tak ada nama Syekh Abdul Karim bin Asfan di daftar nama-nama jalan yang diubah.
Jalan Bang Pitung, yang menggantikan Jalan Raya Kebayoran Lama—terletak di perbatasan Jakarta Selatan dan Jakarta Barat, melintas kawasan Pasar Kebayoran hingga Rawa Belong—juga menuai pro-kontra.
“Berarti nama alamat toko dan (alamat di buku rekening) bank juga diganti. Tapi ya biarin ah, saya enggak mau ganti,” ucap seorang pedagang kayu di Jalan Bang Pitung, Susilo, Selasa (28/6).
Sama seperti Syekh Abdul Karim bin Asfan, nama Pitung tak ada dalam Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta 565/2022.
Menanggapi keluhan warga, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, Budi Awalludin, mengatakan pihaknya sudah menyusun rencana untuk melayani masyarakat yang terimbas perubahan nama jalan. Budi menjelaskan, bakal melakukan jemput bola bagi warga yang terdampak.
“Telah diimbau untuk melayani masyarakat dengan perubahan data di kolom alamat pada KTP, KIA (Kartu Identitas Anak), dan KK hingga tuntas,” ucap Budi saat dihubungi, Selasa (28/6).
"Harapannya, momentum ini dapat dimanfaatkan masyarakat, tidak hanya perubahan alamat, namun masyarakat bisa meng-update biodata terbarunya.”
Menurutnya, mulai Rabu (29/6) selama sepekan, Dinas Dukcapil DKI Jakarta bakal mengoptimalkan pelayanan di kelurahan yang terdampak pergantian nama jalan. Di samping itu, akan diluncurkan kendaraan untuk melakukan layanan administrasi kependudukan.
"Saya akan monitoring secara langsung di lapangan. Sehingga masyarakat tidak perlu lagi merasa urus KTP itu sulit karena kami sudah berkomitmen bahwa (layanan) Dukcapil DKI gratis dan melayani hingga tuntas," kata Budi.
Pada Rabu (29/6), ada enam wilayah yang akan diurus perubahan alamatnya, antara lain di daerah Duren Tiga, Jakarta Selatan; Jalan A. Hamid Arief, Jakarta Pusat; Jalan Raya Setu Cipayung, Jakarta Timur; Jalan Guru Ma’mun, Jakarta Barat; di salah satu apartemen, Jakarta Utara; dan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.
Budi menegaskan, tak hanya tatap muka. Layanan daring lewat aplikasi Alpukat Betawi juga bisa dimanfaatkan warga yang tak bisa datang secara langsung.
Menimbang konteks nama jalan
Wakil Ketua Badan Musyawarah (Bamus) Betawi, Muhammad Rifki atau akrab disapa Ekky Pitung mengatakan, perubahan nama jalan tak semestinya dipandang sinis. Menurutnya, pergantian itu punya muatan edukasi demi mengangkat nama tokoh Betawi, yang selama ini tenggelam dalam arus sejarah nasional.
"Lagi pula ada ribuan nama jalan di Jakarta banyak yang kita tidak tahu arti dan maknanya,” tutur Ekky, Selasa (28/6).
“Ketika diputuskan, pemerintah tentu sudah berpikir risiko yang akan dihadapi, seperti sekarang upaya pemerintah membuat pos-pos di kelurahan bebas biaya untuk mengubah alamat di KTP.”
Menurut Ekky, sebuah hal yang wajar bila dalam satu wilayah terdapat nama tokoh lokal yang diabadikan untuk nama jalan. "Ketimbang nama-nama jalan yang tidak ada arti dan maknanya di Jakarta. Lebih baik kasih ke nama tokoh-tokoh lokal yang memang sebenarnya berperan," kata Ekky.
Ia menyinggung, tokoh sekaliber Pitung yang merupakan legenda Betawi saja hanya diberi panggung ruang jalan yang pendek. Apalagi Jalan Mpok Nori di Bambu Apus, Jakarta Timur. Padahal, ujar Ekky, semestinya tokoh Betawi yang punya peran nyata melawan penjajah diabadikan di jalan yang lebih panjang.
“Semestinya Pitung itu kasih aja buat ganti Jalan Panjang (Jakarta Barat). Karena makna dan artinya (Jalan Panjang) juga enggak ada, lebih baik dikasih nama jalan,” tuturnya.
Ekky pun menjelaskan, nama-nama yang dipilih untuk diabadikan sebagai nama jalan berdasarkan masukan dari bawah. “Jadi, ini sudah berdasarkan pertimbangan, enggak ujug-ujug (tiba-tiba),” katanya.
Sementara itu, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga memandang, keputusan mengubah nama jalan yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak cermat. Alasannya, hal itu punya dampak terhadap administrasi warga.
“Menyulitkan warga, seperti penggunaan alamat di sertifikat, KK, KTP, parpor, dokumen lainnya," kata Nirwono, Selasa (28/6).
Lebih lanjut, ia menyarankan agar Anies tak sekadar mengkaji figur yang ingin disematkan sebagai nama jalan. Namun juga dampak dari perubahan nama jalan itu bagi warga.
Ia juga mengingatkan Anies untuk berdiskusi dahulu dengan warga yang bakal terimbas perubahan nama jalan, tak cuma mendengar tokoh Betawi yang belum tentu mewakili suara masyarakat. Sehingga tak menimbulkan resistensi.
“Ke depan, perubahan nama jalan harus dilakukan kajian mendalam, termasuk sejarah lokasi dan konteks tata kota yang punya identitas khusus,” ujar Nirwono.
Tak hanya penolakan dari warga. Nirwono menyebut, imbas lainnya merembet ke persoalan bisnis.
"Bagi kantor, toko, atau tempat usaha yang berada di nama jalan baru tersebut akan memerlukan waktu untuk pengubahan papan nama, kop surat, dan pemberitahuan ke relasi," ucap Nirwono.
Bidang layanan pengiriman logistik, ojek daring, dan taksi online juga akan terkena dampak untuk melakukan penyesuaian. Perubahan nama jalan tersebut akan berpengaruh pada aplikasi peta atau lokasi.
"Karena belum atau tidak semua sudah berubah nama jalannya dalam aplikasi peta," kata Nirwono.
Menurut Nirwono, memberikan apresiasi kepada tokoh Betawi agar tak menyulitkan banyak pihak, bisa dilakukan dengan menyematkannya menjadi nama gedung, taman, lapangan olahraga, atau pusat kesenian.
"Sehingga tidak akan menyulitkan warga, tetapi tetap dapat menghormati tokoh-tokoh Betawi dengan layak dan mulia," katanya.