Sajogyo Institute mengecam penangkapan 3 petani Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim), pada Jumat (3/2). Sebab, memperumit konflik agraria di Desa Pakel, yang seharusnya ditangani dengan saksama dan tak tergesa-gesa.
"Ini menandakan semakin banyaknya kasus kriminalisasi terhadap kaum tani, di mana kemerdekaan mereka menggarap terhadap tanahnya sendiri semakin tidak dijamin," tulis Sajogyo Institute dalam keterangannya, Sabtu (4/2).
Sajogyo Instutite mengingatkan, konflik agraria di Indonesia pada 2022 terjadi lebih dari 1 juta ha dengan berdampak pada 346.402 keluarga. Ini berdasarkan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
"Artinya, konflik agraria semakin meluas, korban dampak konflik tersebut semakin meningkat, dan eskalasi konflik semakin parah dan mendalam," tuturnya.
Oleh sebab itu, Sajogyo Institute bersolidaritas kepada 3 petani Pakel yang ditangkap secara tidak sah dan tak manusiawi. Pun menuntut ketiganya dibebaskan.
"Dan Sajogyo Institute menuntut keseriusan penanganan konflik agraria terhadap pemerintah, khususnya Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM, dan berbagai pihak," tandasnya.
Konflik agraria di Desa Pakel terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka hingga kini. Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, perjuangan warga Pakel memuncak pada 24 September 2020.
Kala itu, warga Pakel mengubah penindasan dengan melakukan aksi pendudukan lahan kembali yang dirampas PT Bumi Sari. Padahal, warga Pakel telah mengantongi akta 1929 atau hak buka lahan kawasan hutan seluas 4.000 baku atau 3.000 ha oleh Bupati Banyuwangi RAAM Notohadi Suryo pada 11 Januari 1929 usai mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran.
PT Bumi Sari atau sebelumnya bernama Perkebunan Pagoda pun sejatinya, jika merujuk Surat Keputusan Kementerian Dalam Negeri (SK Kemendagri) Nomor SK.35/HGU/DA/85 tertanggal 13 Desember 1985, hanya mengantongi hak guna usaha (HGU) seluas 1.189,81 ha di Kluncing dan Songgon. Namun, mengelola lahan melampui izin yang diterimanya hingga ke Pakel.
HGU yang dikantongi PT Bumi Sari hasil perpanjangan selama 25 tahun, yang diajukan pada 15 Oktober 2004, juga tidak berbeda dengan SK Kemendagri 13 Desember 1985: tetap mencakup Songgon 9.995.500 m2) dan Kluncing (1.902.600 m2).
Konflik agraria ini kian pelik dan kompleks lantaran Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perhutani) juga menguasai lahan di Pakel.