Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) bersama sejumlah tokoh berkumpul dalam rangka memperingati genapnya 20 tahun reformasi.
Acara bertajuk "Sarasehan Nasional Keluarga Bangsa Refleksi 20 Tahun Reformasi" tersebut digelar di Hotel Sahid Jakarta Pusat, Senin (21/5).
Tampak hadir di antaranya, Presiden ke-3 Indonesia BJ Habibie, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Puan Maharani, Fungsionaris Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Direktur Wahid Institut Yenny Wahid, dan Wakil Ketua Umum ICMI Ilham Akbar Habibie.
Mereka memberikan pemaparan seraya berdoa untuk para pejuang reformasi yang telah berkorban untuk perubahan di Indonesia.
Pasalnya, bagaimana pun para pejuang yang didominasi oleh mahasiswa tersebut telah berhasil membuka babak baru bagi tatanan sosial politik yang lebih mengedepankan supremasi sipil dalam jalannya pemerintahan.
Tak dapat dipungkiri, sejarah mencatat bahwa setalah diterapkannya Dwi Fungsi ABRI oleh A.H. Nasution pada 11 November 1958, militer dengan Angkatan Daratnya memiliki dua fungsi yang akhirnya memberikan peluang kaum penjaga ini untuk masuk ke dalam ranah sosial dan politik.
Celakanya, peristiwa bencana politik pada 1965 semakin melegitimasi kepada Militer untuk masuk lebih jauh ke dalam sistem roda pemerintahan dengan segala pernak perniknya. Alhasil, para elit militer pun menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan.
Sedari awal lahir, sistem ini sebenarnya sudah mendapatkan penolakan dari mahasiswa yang kala itu memainkan peranannya sebagai resi (orang suci) dalam jalanya pemerintahan.
Sebut saja generasi 1974 dengan Malarinya dan Generasi 1978 dengan penolakan NKK/BKK-nya. Namun, generasi angkatan ini pun belum mampu menurunkan rezim militer dengan Soehartonya.
Walaupun sempat tiarap selama lebih kurang 20 tahun, mahasiswa akhirnya kembali memainkan peranannya sebagai resi karena dipicu ketidakpercayaannya oleh pemerintahan Soeharto yang kala itu bertindak otoriter.
Refleksi Reformasi
Setelah 20 tahun berselang, peristiwa itu tetap menjadi tonggak sejarah yang tak bisa dilupakan begitu saja. Sebab, peristiwa itu juga telah memakan anak-anaknya sendiri.
BJ. Habibi selaku saksi hidup yang merasakan begitu nyatanya peristiwa tersebut, berpesan agar manusia Indonesia menghindari segala bentuk ujaran kebencian yang dapat memicu perpecahan. Pasalnya, hal itu menurutnya dapat menghambat cita-cita reformasi yang sedari dulu diperjuangkan.
"Itu kelemahan kita sejak dulu, kita begitu mudahnya di adu domba satu sama lain, sulit memang dan membutuhkan waktu," pungkasnya.