close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Penari Rejang mengikuti upacara Tawur Agung Kesanga 2019 di Pura Aditya Jaya, Jakarta, Rabu (6/3). Upacara Tawur Agung Kesanga dilaksanakan sebagai rangkaian menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1941. / Antara Foto
icon caption
Penari Rejang mengikuti upacara Tawur Agung Kesanga 2019 di Pura Aditya Jaya, Jakarta, Rabu (6/3). Upacara Tawur Agung Kesanga dilaksanakan sebagai rangkaian menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1941. / Antara Foto
Nasional
Kamis, 07 Maret 2019 20:49

Pesan politik perayaan nyepi dari Jakarta

Umat Hindu melangsungkan upacara Tawur Agung Kesanga atau Pecaruan sebagai rangkaian ritual menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1941.
swipe

Umat Hindu di Jakarta meramaikan Pura Aditya Jaya, Rawamangun, Jakarta Timur, Rabu (6/3). Umat Hindu melangsungkan upacara Tawur Agung Kesanga atau Pecaruan sebagai rangkaian ritual menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1941.

Tawur Agung memiliki makna membayar atau mengembalikan segala sesuatu yang dinikmati oleh manusia dari alam, untuk dikembalikan lagi kepada alam dengan melakukan upacara persembahan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala, dan Batara Kala.

Dalam upacara pecaruan, umat Hindu mempersembahkan sesajian yang disebut banten, bagi Sang Kala. Sang Kala digambarkan sebagai sesosok makhluk yang memiliki energi yang dapat membawa kegelapan bagi umat manusia.  Agar prosesi Nyepi dapat dilangsungkan dengan baik tanpa mendapatkan gangguan dari Sang Kala, persembahan suci diberikan.

“Kami percaya bahwa kita hidup berdampingan dengan segala makhluk di bumi, termasuk makhluk yang tidak kelihatan. Nah, persembahan ini ditujukan kepada mereka,” kata Nyoman Suta, salah satu jemaat, saat ditemui di sela-sela upacara, Rabu (6/3).

Ia juga menjelaskan, bahwa upacara ini memiliki tujuan untuk membersihkan diri dan alam sekitar dari semua keburukan-keburukan yang telah berlangsung selama ini. Seluruh prosesi upacara itu dipimpin oleh dua orang pemimpin agama Hindu Pedanda dan seorang Pinandita (pemangku).

Rangkaian upacara Tawur Agung Kesanga ini diisi dengan serangkaian kegiatan, dari upacara persembahan, musik dan tarian, juga atraksi ogoh-ogoh.

Banten (sesajen) yang diisi dalam besek tersebut terdiri dari beraneka bunga, makanan, buah-buahan, minuman, dan ada juga yang berisi ayam dan kepala kambing, serta dupa yang menyala. “Yang letaknya di bawah itu [menunjuk salah satu tempat] dapat dimakan kembali oleh orang yang datang,” tutur Suta.

Ketua Suka Duka Hindu Dharma Jakarta, Made Sudharta juga menyatakan hal yang senada. Dia berharap dengan pelaksanaan Hari Raya Nyepi tahun ini dapat berjalan dengan kondusif dan mempererat toleransi antar umat beragama.

“Harapan kita umat Hindu, khususnya yang di Jakarta tetap aman, nyaman, dan sejahtera dapat melaksanakan dengan kondusif, begitu pun hubungan dengan horizontal sesama warga,” tuturnya pada saat yang sama.

Selain itu ia juga berharap agar umat Hindu di Jakarta dapat melaksanakan Catur Brata penyepian dengan baik dan khusyuk, serta segala sesuatu yang akan dilakukan dan dilaksanakan dapat berjalan dengan lancar.

Perayaan Nyepi di ibu kota

Merayakan Hari Raya Nyepi di Jakarta bagi warga umat Hindu Bali sangat berbeda dengan perayaan yang berlangsung di Bali. Kesumpekan kota Jakarta dan beraktivitasnya warga kota seperti biasanya sedikit mengurangi rasa khusyuk ibadah Nyepi.

Nyoman Bagus, salah satu jemaat Hindu, misalnya mengatakan kalau perayaan di Bali tentu akan lebih terasa sakral dibandingkan dengan di Jakarta. Pria kelahiran Bali yang telah menetap di Jakarta sejak tahun 1998 ini mengatakan, perayaan di Bali lebih terasa karena dilakukan oleh hampir semua orang dalam satu pulau itu.

“Kalau di Bali kan hampir semua Hindu, dan orang melakukannya semua, toko-toko tutup. Semua aktivitas berhenti, jadi lebih terasa,” katanya ketika ditemui di sela-sela upacara.

Menurutnya, tidak ada perayaan lainnya di dunia yang sama seperti perayaan Hari Raya Nyepi di Bali. Berhentinya semua aktivitas warga, termasuk juga industri pariwisata dan aktivitas ekonomi lainnya, menurutnya adalah sesuatu yang luar biasa.

“Bayangkan saja berapa kerugian ekonomi, kalau dihitung-hitung ya, dari berhentinya semua aktivitas di Bali saat perayaan, termasuk juga hotel dan bandara,” katanya.

Ia mengatakan, meski di India juga mayoritas beragama Hindu, tetapi di sana tidak mengenal perayaan Nyepi seperti yang berlangsung di Bali.

Gayatri, umat Hindu lainnya, juga mengatakan hal yang sama. Ia mengatakan, perayaan Nyepi di Jakarta tantangannya lebih terasa, karena warga lainnya akan beraktivitas seperti biasa.

Sebagian besar warga Hindu di Jakarta juga dapat melaksanakan Catur Brata Nyepi di Pura Aditya Jaya tersebut, namun Nyoman Bagus dan Gayatri lebih memilih untuk melangsungkan Nyepi di rumah masing-masing.

“Biasanya sih di rumah aja. Malamnya keliling rumah dulu sambil bakar dupa, terus naburin beras kuning yang tadi dibagi buat sesembahan, terus baru meditasi dan berdoa,” katanya saat berbincang dengan Alinea.id di tempat yang sama.

Dalam melaksanakan Catur Brata penyepian, umat Hindu dilarang untuk melakukan empat hal ini: Amati Geni (menyalakan api), Amati Karya (bekerja), Amati Lelanguan (bersenang-senang), dan Amati Lelungan (bepergian). Semua ritual akan dilakukan dalam kondisi hening dan tanpa aktivitas apa pun.

Namun, Ngoman Bagus dan Gayatri mengatakan, Nyepi seharusnya dapat dilakukan di mana pun dan dalam kondisi apa pun, khusyuk atau tidaknya seseorang dalam melakukan ibadah tergantung kepada pribadi masing-masing.

Penari Rejang mengikuti upacara Tawur Agung Kesanga 2019 di Pura Aditya Jaya, Jakarta, Rabu (6/3). Upacara Tawur Agung Kesanga dilaksanakan sebagai rangkaian menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1941.

Pesan politik

Merayakan Hari Raya Nyepi di Jakarta bagi warga umat Hindu Bali sangat berbeda dengan perayaan yang berlangsung di Bali. (Infografis: Oky)

Dalam kesempatan yang sama, saat memberi sambutan, Made Sudharta mengimbau agar warga Hindu di Jakarta tidak golput dalam pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang. Ia mengimbau agar warga Hindu menggunakan hak suaranya dalam pemilihan.

“Bagi umat Hindu wajib untuk ikut pemilu (pemilihan umum). Wajib kita laksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah regulasi pemerintah,” katanya.

Ia menambahkan, warga Hindu dipersilakan menjatuhkan pilihan sesuai dengan keyakinan dan hati nurani masing-masing, asal tetap menjaga kerukunan. Ia juga mengatakan, agar warga Hindu tidak termakan oleh informasi hoax dan berita bohong lainnya.

"Kita laksanakan pemilu dengan aman, jujur, dan kondusif. Walaupun berbeda-beda tetapi kita harus tetap satu, yaitu untuk mempertahankan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). NKRI itu final dan harga mati,” tuturnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan