close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi. Foto Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Jumat, 02 Juli 2021 08:56

Petaka dan nasib para pelacak kontak Covid-19

Ditolak dan tidak dibukakan kunci pintu oleh warga jadi menu harian mereka. Padahal, perannya amat penting.
swipe

Dua minggu terakhir terasa berat bagi Fenty Ramadhanti. Perempuan 22 tahun itu harus bekerja ekstra seiring jumlah pasien positif Covid-19 yang terus bertambah banyak. Jumlah pasien yang menanjak membuat beban dia sebagai pelacak kontak bertambah.

Fenty bergabung menjadi tim pelacak kontak atau contact tracer Covid-19 di Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada November 2020. Saat itu, kata dia, jumlah warga yang harus dilacak setiap harinya masih bisa terjangkau oleh jumlah petugas.

"Bulan Juni (2021) ini adalah yang tertinggi selama saya menjadi contact tracer di puskemas ini. Kenapa? Karena kasus di kami tinggi banget," kata Fenty kepada Alinea.id, Senin (21/6).

Kondisi pandemi saat ini, kata Fenty, merupakan yang terburuk sejak ia menjadi bagian tim pelacak. Penularan Covid-19 di bulan Juni berlangsung amat cepat, bahkan nyaris tidak terkendali. Imbasnya, petugas pelacak kontak kedodoran melacak kontak erat.

Sempat menurun pada awal hingga pertengahan Mei lalu, memasuki Juni kurva kasus harian Covid-19 terus merangsek naik. Pada 1 Juni, tercatat ada 4.824 kasus baru. Pada 30 Juni, angka kasus harian melesat menjadi 21.807 per hari. Ini rekor terbaru.

Akan tetapi, esok harinya, Kamis (1/7), rekor itu kembali pecah telur: 24.836 kasus per hari. Itu rekor penambahan kasus harian terbesar sejak Indonesia dibekap pandemi, Maret 2020. Seiring temuan varian virus baru, terutama varian Delta dan Kappa, diperkirakan rekor harian ini bukanlah yang tertinggi.

Perkiraan tim COVIDAnalitycs dari Pusat Riset Operasi di Massachusetts Institute of Technology (MIT), 28 Juni lalu, total kasus di Indonesia akan menjadi 2,58 juta pada 15 Juli 2021. Saat itu diperkirakan akan ada penambahan 28.220 kasus per hari. 

Secara kumulatif, sebagaimana dicatat Worldometer, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah tembus 2.203.108 kasus per 1 Juli. Indonesia bertengger pada peringkat ke-17 dunia sebagai negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbesar. Total sudah ada 1.890.287 orang yang sembuh dan sebanyak 58.995 meninggal karena Covid-19. 

Ditolak hingga tak dibukakan pintu

Jakarta, termasuk di wilayah Fenty bertugas, jumlah positif Covid-19 terus membesar. Saat awal bekerja, setidaknya hanya ada 70-80 kasus positif dari 180 sampel harian.

"Saat ini yang positif sampai 102. Bayangin saja, dari satu orang ada 30 orang yang mesti dicari kontak eratnya. Dampaknya semakin banyak yang harus kami tracing dengan tenaga seadanya," kata Fenty.

Beban kian berat karena petugas seperti dia juga menghadapi penolakan warga. Warga, kata Fenty, tidak mau ditanya riwayat kontak erat seminggu terakhir dengan beragam alasan. Padahal, sikap itu membuat persebaran virus makin sulit dikendalikan. 

Ilustrasi. Foto Pixabay.

Beban agak ringan karena Fenty biasanya dibantu Ketua RT, Ketua RW setempat atau koordinator wilayah dari puskesmas. Terutama buat memastikan identitas warga yang hendak diperiksa epidemiologinya. "Kalau ditolak, kami biasanya melacak keluarga dan tetangga kanan-kiri rumah. Pasti dia berkontak dengan pasien atau ketemu sebelum pasien itu terkonfirmasi," kata Fenty.

Diakui Fenty, menjadi pelacak kontak erat amat menguras tenaga. Lantaran ia harus mengurus banyak pasien dengan gejala beragam. "Bayangin saja, ada satu RW itu megang kasus aktif lebih 50 pasien dengan gejala berbeda-beda. Dari yang ringan hingga berat. Tantangannya, kami harus bisa membuat mereka tenang. Karena terkadang mereka down saat dinyatakan positif," kata Fenty.

Jalan berliku juga dialami Arif Sujagat, seorang pelacak kontak Covid-19 yang bertugas di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat. Pria asal Bima, Nusa Tenggara Barat ini mengaku tidak hanya menghadapi warga yang bungkam. Warga terkadang mengunci pintu begitu tahu ada pelacak kontak berseragam alat pelindung lengkap. 

Selama setahun bertugas jadi pelacak kontak, Jagat tahu sebagian besar warga tidak terbuka karena alasan takut. Takut distigma bila kondisi keluarga diketahui tetangga. "Mereka menganggap (Covid-19) seperti aib," kata Jagat kepada Alinea.id, Sabtu(26/6). 

Ada warga yang berterus terang belum bersedia mengungkap riwayat kontak. Seperti tersesat di jalan buntu, sikap warga seperti ini membuat pelacakan macet. Karena puskesmas juga tidak mengantongi data lengkap siapa saja warga yang harus di-testing dan di-tracing agar tidak terjadi penularan lanjutan. 

"Untuk memastikan (pelacakan), kami koordinasi dengan puskesmas, mereka yang follow up keluarganya. Tapi bila pasien tidak terbuka, penyelidikan epidemiologi jadi agak sulit," jelas Jagat.

Seiring bejibunnya jumlah pasien Covid-19, pria lulusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta ini harus bekerja sampai larut. Terkadang dia baru bisa beringsut ke kamar tidur pada pukul 12 malam. Padahal, di awal bertugas sebanyak-banyaknya pekerjaan bisa dirampungkan pukul 8 malam.

Ini terjadi karena target pelacakan naik. Semula hanya 5-8 orang per hari, kini target naik berlipat-lipat. "Dua minggu terakhir ini kami tracing 30-40 pasien. Itu (tugas) satu orang. Bayangkan (tracing) sebanyak itu, sementara waktu terbatas," kata Jagat.

Menggali informasi epidemiologi dalam situasi berkejaran dengan waktu, bagi Jagat, amat menyulitkan. Di satu sisi, pelacak kontak harus segera mendapatkan informasi kontak erat pasien. Agar virus tak cepat bereplikasi. Di sisi lain, warga menolak berterus terang. Pada 26 Juni lalu, 20% dari 598 pasien memilih bungkam.

Menyiksa petugas

Ihwal warga menolak dilacak riwayat epidemiologinya juga diakui oleh Siti Nadia Tarmizi. Akan tetapi, kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan itu, masalah ini sudah bisa diatasi lewat pelibatan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dalam pelacakan kontak.

Kemenkes juga melibatkan kader kesehatan di daerah. Langkah ini untuk menutup kekurangan tenaga pelacak kontak Covid-19. "Masyakarat juga diedukasi bahwa langkah ini untuk keselamatan banyak orang, bukan individu. Edukasi dilakukan lewat Pak Lurah atau Pak RT/RW," kata Nadia kepada Alinea.id, Senin (28/6).

Nadia menjelaskan, saat ini setidaknya ada 10.000 pelacak kontak Covid-19 yang tersebar di kecamatan di seluruh Indonesia. Tiap kecamatan ada 3-5 petugas. Ia memastikan, pembayaran insentif tenaga kontak telusur tidak lagi molor seperti di awal 2021. Caranya, anggaran Kemenkes dititipkan ke daerah lewat APBD.

Pembayaran insentif, diakui Arif Jagat, memang sempat tertunda. Itu ia alami dari November 2020 hingga Mei 2021. Informasi yang ia dapat, anggaran dari pusat seret. Tiap bulan ia mendapatkan insentif Rp5 juta. Bagi relawan seperti dia, keterlambatan itu cukup mengganggu. "Tapi sekarang sudah lancar," kata Jagat. 

Bagi Windhu Purnomo, jumlah petugas pelacak kontak itu jauh dari cukup. Epidemiolog dari Universitas Airlangga itu memastikan, mereka akan kewalahan. Mereka mustahil bisa memetakan persebaran virus. Apalagi, kasus positif harian kini rata-rata 20.000. 

Dari satu orang positif Covid-19, kata Windhu, harus ditelusuri minimal 30 orang yang berkontak erat. Dengan kasus harian 20.000, artinya ada 600.000 orang yang harus dilacak setiap harinya. "Kalau pelacak cuma 10.000, artinya satu orang harus menelusuri 60 orang sehari. Itu tidak mungkin," kata Windhu. 

Kepada Alinea.id, Selasa (29/6), Windhu memastikan petugas pelacak kontak erat akan tersiksa. Idealnya seorang petugas melacak 20 orang dalam sehari agar tidak kedodoran. Karena itu, Windhu mendesak Kemenkes segera menambah jumlah mereka. 

Di setiap puskesmas, kata Windhu, perlu 3-4 pelacak kontak erat Covid-19 yang bersiaga. Bukan satu pelacak per puskesmas seperti saat ini. Ini agar bisa menjangkau kontak erat atau calon pasien positif baru dengan cepat. "Kalau satu, kasihan petugasnya."

Infografik pelacak kontak Covid-19. Alinea.id/Bagus Priyo.

Sejak awal pandemi, Windhu melihat pemerintah tidak serius melacak kontak erat. Juga memperbesar testing. Dua cara ini, kata Windhu, sampai sekarang masih di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Padahal, testing dan tracing merupakan aspek penting untuk mencegah rumah sakit kolaps seperti saat ini.

Testing dan tracing, jelas Windhu, merupakan langkah pemeriksaan dini yang bisa mencegah persebaran virus agar tidak kian merajalela. "Kalau kita tidak bisa men-tracing sebanyak mungkin, nanti kasus-kasus itu ada di bawah permukaan. Penularan terjadi terus dan bom waktu bagi rumah sakit," kata Windhu.

Ia juga meminta pemerintah, termasuk pemerintah daerah, mengubah cara komunikasi publik agar lebih diterima masyarakat. Harus ada penjelasan mengapa testing dan tracing penting. Warga menolak karena termakan oleh hoaks dan stigmatisasi yang berhamburan. 

"Komunikasi petugas pemerintah daerah kurang bagus. Kalau cuma ditekan untuk testing, pasti ada yang menolak. Mesti ada penjelasan bahwa penyelidikan epidemiologi itu supaya warga mengetahui kemungkinan dia tertular. Kalau tertular tanpa diketahui, nanti dia bisa sakit dan meninggal," kata Windhu.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Khudori
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan