Koalisi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judical Research Society (IJRS), dan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) mendorong pemerintah memasukkan narapidana dan petugas rumah tahanan (rutan) ataupun lembaga pemasyarakatan (lapas) sebagai kelompok prioritas penerima vaksin Covid-19. Pangkalnya, mereka tergolong berisiko terinfeksi SARS-CoV-2.
Perwakilan koalisi, Maidina Rahmawati, menyatakan, petugas rutan/lapas mestinya masuk kategori petugas pelayanan publik prioritas vaksinasi lantaran mereka bekerja dalam setting tertutup. Pun demikian dengan warga binaan sehingga rentan tertular Covid-19, apalagi, kondisi "hotel prodeo" overkapasitas hingga 185%.
“(Ini ) jelas (membuat mereka) tidak dapat melakukan physical distancing, jaga jarak secara efektif,” ucapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (15/1). Jaga jarak merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan guna meminimalisasi potensi penularan selain memakai masker dan mencuci tangan.
Sebagai informasi, pemerintah telah menetapkan kelompok mana saja yang menjadi prioritas program vaksinasi Covid-19. Merujuk Keputusan Dirjen P2P Kemenkes Nomor: HK.02.02/4/2021, ada empat tahapan waktu vaksinasi.
Pertama, untuk tenaga kesehatan (nakes) sekitar Januari-April 2021; kedua, petugas pelayanan publik Januari-April 2021; ketiga, masyarakat rentan dari aspek geospasial dan ekonomi April 2021-Maret 2022; dan keempat, masyarakat dan pelaku perekonomian dengan pendekatan klaster menyesuaikan ketersediaan vaksin April 2021-Maret 2022.
Sayang, ungkap Maidina, "Petugas rutan/lapas maupun warga binaan pemasyarakatan (WBP) belum mendapatkan perhatian yang serius dalam program vaksinasi."
Padahal dalam Panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE), fasilitas penahanan perlu masuk prioritas penerima vaksin Covid-19.
ICJR, IJRS, dan LeIP pun mendorong Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) kembali melakukan upaya mengurangi overkapasitas dengan memberlakukan asimilasi dan integrasi. Utamanya terhadap untuk warga binaan pemasyarakatan berisiko tinggi, seperti memiliki penyakit bawaan macam jantung hingga gagal ginjal serta dengan keperluan merawat anak, bayi, hingga yang hamil.
"Warga binaan pemasyarakatan nonkekerasan dan pengguna narkotika perlu dipertimbangkan untuk dibebaskan bersyarat," katanya. Berdasarkan data Ditjen PAS per Desember 2020, terdapat 34.518 WBP pengguna narkotika di dalam rutan/lapas.
Kemudian, meminta aparat penegak hukum tak melakukan penahanan masif terhadap kasus nonkekerasan, seperti kebebasan berekspresi.
“Saatnya sistem peradilan pidana di Indonesia mengoptimalisasi alternatif penahanan nonrutan ataupun bentuk pengawasan lain misalnya jaminan dan Mahkamah Agung (MA) kepada jajaran hakim mengoptimalkan penggunaan alternatif pemidanaan nonpemenjaraan,” tandas Maidina.