Petugas PJLP Jakarta dalam bayang-bayang kebijakan batas usia
Jumat (23/12) pagi, bersama tiga orang rekan kerjanya, Widodo, 54 tahun, sedang mengecat ulang pembatas jalan beton yang memisahkan trotoar dengan Jalan Jati Baru Bengkel, tak jauh dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat.
“Ini ngecat karena kebetulan tadi kerja bakti. Sehari-hari, kadang juga benerin saluran air,” ujar Widodo kepada reporter Alinea.id.
Karena pakaian dinas Widodo dan kolega berwarna serba kuning, mereka kerap disebut Pasukan Kuning. Sebuah julukan akrab untuk petugas Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP) di bawah Dinas Bina Marga Pemprov DKI Jakarta. Pekerjaan utama Pasukan Kuning adalah merawat sarana dan prasarana umum, seperti trotoar dan jalan.
Di samping Pasukan Kuning, petugas PJLP lainnya adalah Pasukan Oranye di bawah Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) yang bertugas menjaga kebersihan, Pasukan Biru di bawah Dinas Sumber Daya Air bertugas menjaga kebersihan sarulan air dan gorong-gorong, serta Pasukan Hijau di bawah Dinas Pertamanan dan Hutan Kota bertugas menjaga keasrian taman.
Keberadaan petugas-petugas itu diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 249 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan. Mereka adalah petugas pelaksana lapangan yang menyokong Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemprov DKI Jakarta.
PJLP direkrut SKPD terkait sebagai pekerja harian, pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu, serta pekerja serupa yang terikat kontrak. PJLP yang direkrut sebagai pekerja harian atau kontrak mendapat upah, cuti, jaminan kesehatan, dan ketenagakerjaan.
Aspirasi
Wilayah kerja Widodo dan koleganya adalah Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. “Kalau berbatasan Tanah Abang, sudah ada lagi timnya,” kata Widodo.
Warga Johar Baru, Jakarta Pusat itu mengatakan, menjadi petugas PJLP sejak 2015. Belakangan, hati Widodo tak tenang sesudah mendengar kabar usia PJLP akan dibatasi hingga 56 tahun.
Beberapa waktu lalu, penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono meneken Keputusan Gubernur (Kepgub) 1095 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengendalian Penggunaan PJLP di Lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Dalam kepgub itu disebutkan, batasan usia paling rendah PJLP adalah 18 tahun dan maksimal 56 tahun.
Widodo mengaku pasrah dengan aturan tersebut. “Yang penting kita enggak bermasalah. Kalau waktunya umur sudah habis, ya sudah,” ujar ayah empat anak itu.
“Saya terima lapang dada karena itu sudah peraturan. Saya juga enggak bisa melawan.”
Menurut anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Gerindra, Syarif, DPRD sempat berdialog dengan Heru soal PJLP pada Senin (19/12). Di akhir pertemuan itu, Heru memberi isyarat bakal menerima masukan untuk meninjau ulang ketentuan batas maksimal usia PJLP.
“Tapi enggak disampaikan langsung akan batalkan (Kepgub 1095). Dia mengatakan, akan dikaji ulang,” ujar Syarif saat dihubungi, Kamis (22/12).
“Artinya, dia cenderung menerima masukan bahwa di bawah ada keresahan, kegelisahan.”
Syarif menerangkan, hampir semua fraksi di DPRD sepakat meminta agar Heru meninjau ulang kebijakannya. “Kita kasih kesempatan sama beliau,” katanya.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono mengatakan, dalam pertemuan dengan fraksi-fraksi di Kebon Sirih, Jakarta, Heru bilang batasan usia PJLP mengacu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pertimbangannya, BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan hanya dapat mengkover hingga usia 56 tahun.
“Namun demikian, kita sampaikan bahwa untuk PJLP yang tidak mengandung risiko berat dalam pekerjaan, seyogianya tidak diperlakukan seperti usia 56 tahun,” tuturnya, Kamis (22/12).
Ia menyebut, pekerjaan yang risikonya tak terlalu berat, seperti menyapu taman atau jalan. “Jadi dalam konteks ini, PJLP ya jangan disamakan dengan ASN (aparatur sipil negara) karena sifatnya kan kontrak perorangan,” katanya.
Gembong mengatakan, mendapat aspirasi dari konstituennya yang menjadi PJLP dan sudah berusia 56 tahun. Mereka mengaku masih sehat dan kuat bekerja. Berpijak dari aspirasi tersebut, Gembong menilai, bila aturan pembatasan usia tetap dijalankan, maka risiko PHK terhadap Pasukan Kuning, Biru, Oranye, dan Hijau akan besar.
“Total PJLP DKI Jakarta hampir 130.000 orang,” kata dia. “Dari sekian ratus ribu, pasti ada puluhan ribu yang usia 56 tahun harus ‘pensiun’.”
Gembong pun menyarankan persoalan PJLP diserahkan kepada SKPD terkait. Jika SPKD bisa menjamin petugasnya mampu bekerja dengan baik, maka untuk kebijakan rekrutmen dan batasan usia diserahkan ke SKPD.
Menurutnya, SKPD terkait lah yang mengetahui kondisi di lapangan. Karenanya, batasan usia tidak bisa dipukul rata. Kendati demikian, ia sepakat pekerjaan yang mengandung risiko besar, batasan usia 56 tahun bisa diterapkan.
“Misal, PJLP yang memotong pohon tinggi, itu kan risikonya berat,” ujar dia.
“Tetapi yang keahlian khusus seperti itu, anak-anak muda mana ada yang mau melakukan pekerjaan seperti itu? Kan ada problem juga.”
Gembong berharap, semua masukan dari berbagai fraksi dipertimbangkan Heru. Namun, ia mengatakan, Heru belum memberikan kepastian kapan keputusan akan diambil.
Alinea.id sudah berusaha menghubungi Asisten Pemerintah Setda DKI Jakarta Sigit Wijatmoko untuk mengonfirmasi permintaan anggota DPRD Jakarta soal kebijakan batas usia maksimal dalam Kepgub 1095. Namun, ia tak merespons pesan singkat dan telepon hingga laporan ini dipublikasikan.
Perlu regenerasi
Dikutip dari Antara, 14 Desember 2022, saat ditemui di Balai Kota Jakarta, Rabu (14/12), Sigit sempat mengungkapkan hanya 4% atau sekitar 3.400 orang dari 85.310 PJLP yang berusia di atas 56 tahun. Jumlah tersebut berdasarkan data Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta dalam e-PJLP.
Di sisi lain, Syarif mengemukakan, usia yang sudah melewati batas 56 tahun nyaris 11% hingga 15%. “Setiap unit SKPD ada sekitar enam hingga delapan orang yang tereliminasi gara-gara (batas maksimal) usia,” tuturnya.
Syarif menjelaskan, adanya pekerja yang sudah tua menjadi PJLP akibat saat pertama kali rekrutmen akhir 2014, sepi peminat. Selain tak ada batasan usia, kala itu lulusan SD juga bisa mendaftar.
“Dua tahun terakhir karena pekerjaan sulit, jadi rebutan banyak orang,” ujarnya.
Dasar Heru yang mengacu Undang-Undang Ketenagakerjaan terkait batas usia, sebut Syarif, keliru. “Kalau (mengacu) UU Ketenagakerjaan, mereka (PJLP) boleh bikin serikat,” ucapnya.
PJLP, menurut Syarif, bukan golongan pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tetapi pekerja yang dianggap sebagai jasa layanan perorangan dan keahliannya dibutuhkan. Maka, jika PJLP sudah berusia 56 tahun, tetapi masih sehat dan bekerja dengan baik, seharusnya bisa diberikan kesempatan untuk tetap bekerja.
“Kalau saya ambil jalan tengah, 58 tahun (maksimal usia PJLP). Kalau ikutin eselon II kan usia 60 tahun,” kata dia.
“PJLP mau dilihat sebagai apa? Kalau pandangan saya, orang yang dibutuhkan pekerjaannya karena keahliannya. Kalau sakit-sakitan, bolehlah. Jangankan 56 tahun, 50 tahun juga bisa diganti.”
Gembong juga sepakat batas usia 58 tahun. “Tapi (kalau) di atas 58 tahun memang agak berat. Kita harus jujur juga,” ucapnya.
Berbeda dengan Syarif dan Gembong, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio justru setuju batasan umur PJLP 56 tahun. Menurutnya, pekerjaan yang dilakukan PJLP termasuk berat. Contohnya, tugas Pasukan Kuning, seperti membetulkan jalan dan trotoar rusak.
“Dengan mesin yang memadatkan (aspal) itu kan ada getarannya, kan berbahaya bisa kecelakaan kerja,” ujarnya, Kamis (24/12).
Atas dasar pekerjaan yang menguras fisik dan berat, serta pertimbangan keselamatan kerja, Agus berpendapat, kebijakan pembatasan usia maksimal bagi PJLP sudah tepat.
“(Pegawai) BUMN dan TNI-Polri juga 56 tahun. Umur 58 tahun (untuk) PNS yang bukan eselon I dan II,” kata Agus.
Kekhawatiran PHK karena memasuki usia pensiun, menurut Agus, janggal. Sebab, pada jenis pekerjaan lain, ketentuan tersebut juga berlaku. Ketentuan batas usia maksimal, katanya, memang dibutuhkan karena PJLP pun perlu regenerasi.
“Kalau sudah selesai, ya sudah. Kan di bawahnya ada. Entah anaknya, saudaranya, tetangganya kan bisa (jadi PJLP),” ucapnya.
“Kalau enggak, nanti yang usia produktif ini enggak bisa kerja dong.”
Agus menyarankan, PJLP yang sudah berusia lebih dari 56 tahun agar bisa direkrut Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan pekerjaan yang tak terlalu mengandalkan fisik. Misalnya, menjaga parkir. Selain itu, bisa pula diberikan pelatihan dan bantuan modal untuk menjalankan UMKM.
“Ya, kredit Rp10 jutaan yang tidak usah berharap kembali. Dia (PJLP yang pensiun) jualan apa kek, kan bisa. Itu yang harus dipikirkan oleh gubernur,” ucap Agus.