Setiap Presiden Republik Indonesia memiliki ciri tersendiri dalam menyiapkan dan menyampaikan pidatonya pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Sukarno misalnya, punya beberapa ‘ritual’ dalam menuliskan pidatonya. Kebiasaan Presiden Pertama RI pada sekitar 1955-1959 ini diceritakan oleh Guntur Soekarnoputra, anak sulung Sukarno dalam bukunya "Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku" terbitan PT. Dela, Jakarta 1977.
Pertama, tulis Guntur dalam buku itu, Sukarno akan menyiapkan bendera pusaka dan mengeluarkan dari kotaknya. Jika ada yang bolong, akan ditisik (ditambal). Ia juga mempersiapkan naskah pidato kenegaraan dengan meminta bahan dan saran tertulis dari menteri, Dewan Pertimbangan Agung, Ketua DPR GR (Dewan Pertimbangan Rakyat Gotong Royong), buruh, tani, dan ketua Organisasi Masyarakat sebagai pertimbangan dan saran. Saran itu bisa dipakai ataupun tidak, semua tergantung Bung Karno. Ia juga mengumpulkan bahan dari majalah-majalah, berita luar negeri, dan laporan luar negeri.
Dalam proses penulisan pidato untuk HUT RI itu, tidak ada yang boleh mengganggu Sukarno. Bahkan, semua tamu akan ditangguhkan. Untuk draft dan konsep, Sukarno akan menulis di atas kertas kepresidenan berukuran folio. Ia menulis dengan pulpen Parker dengan model terbaru yang diisi dengan tinta Quick berwarna biru.
Setelah selesai, tulisan itu akan dicek ulang dan diteliti ulang. Jika dirasa sudah cukup, tulisan tangan itu akan ditik sekali lagi secara final di atas kertas kepresidenan menjadi naskah asli pidato kenegaraan.
Menurut penuturan Guntur, dia kadang disuruh ayahnya untuk mengumpulkan bahan untuk pidato. Biasanya, Sukarno akan menyuruh Guntur untuk mengambil buku-buku di rak perpustakaan Istana. Hal senada juga diungkapkan Bambang Widjanarko dalam bukunya berjudul "Sewindu Dekat Bung Karno", Bung Karno kadang berjam-jam seorang diri di kamar, berkonsentrasi penuh menuangkan isi hati dan otaknya. Kegiatan ini terjadi sekitar 1960-1967. Sama seperti yang diutarakan oleh Guntur, Sukarno juga meminta saran dari berbagai pihak.
Sekitar pertengahan Juli, Bung Karno mulai menulis pidatonya, biasanya di Istana Tampaksiring, didampingi oleh sekretaris presiden, ajudan, dan pengawal pribadi sekitar lima hingga tujuh hari. Pada momen itu, ketika bangun pagi, Sukarno akan berkeliling Istana, menghirup udara dan menikmati pemandangan. Barulah selepas sarapan pagi, Sukarno masuk kamar dan menulis hingga makan siang. Di jam tersebut, biasanya ada tamu undangan seperti Gubernur Bali dan istri, pejabat tinggi, juga saudara Sukarno yang berada di Denpasar karena memang ibunya berdarah Bali.
Lepas makan siang, Sukarno kembali masuk ke kamar untuk menulis hingga pukul 17.00 hingga petang, ia akan duduk di beranda Istana sambil minum teh atau jalan-jalan sore. Setelah itu akan ada makan malam dan dilanjutkan berkumpul di ruang tamu sambil minum kopi dan bercanda bahkan bermain domino. Sang Proklamator itu kembali ke kamarnya pukul 22.00.
Untuk mendinginkan pikirannya, ia biasanya menghabiskan waktu ke Ubud untuk melihat lukisan atau menonton tarian Bali. Kemudian, menjelang kembali ke Jakarta, Sukarno akan menyuruh Gubernur menyiapkan malam kesenian rakyat. Sukarno rombongan akan kembali ke Jakarta setelah naskah pidato ditulisnya itu rampung dan dibacakan di hadapan rakyat Indonesia.
Pidato Sukarno dengan gayanya yang berapi-api memang mampu membangkitkan semangat rakyat dan berkesan hingga saat ini. Ia biasanya menulis judul pidato yang unik dan kadang juga dengan akronim atau menyingkatnya menjadi kata yang mudah diingat. Judul pidato biasanya mengandung pesan untuk masyarakat, di antaranya Tahun Berdikari, Penemuan Kembali Revolusi Kita, dan Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah).