close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pilu nasib pengungsi Rohingya karena setelah terusir di Myanmar dan terancam di Bangladesh, justru menjadi komoditas politik di RI. Twitter/@AntiLondo45
icon caption
Pilu nasib pengungsi Rohingya karena setelah terusir di Myanmar dan terancam di Bangladesh, justru menjadi komoditas politik di RI. Twitter/@AntiLondo45
Nasional
Minggu, 31 Desember 2023 08:02

Pilu Rohingya: Terusir di Myanmar, terancam di Bangladesh, jadi komoditas politik di RI

Adanya aksi mahasiswa mengusir paksa pengungsi Rohingya dinilai akibat masifnya kampanye daring sarat misinformasi dan ujaran kebencian.
swipe

Sudah jatuh, ditimpa tangga. Begitulah nasib etnis Rohingya di Aceh, Indonesia. Niat hati hidup aman dan terbebas dari teror meskipun berlayar selama 4 bulan dari Bangladesh, justru kembali mengalami guncangan psikologis. Pangkalnya, diusir paksa puluhan mahasiswa lintas perguruan tinggi, seperti Universitas Abulyatama, Sekolah Tinggi Al Washliyah, Bina Bangsa Getsempena, STAI Nusantara, dan Sekolah Tinggi Pante Kulu, dari tempat penampungan di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA), Rabu (27/12). 

Dalam video yang beredar luas di media sosial, para pendemo serempak berlarian ke sebuah sudut ruangan yang menjadi titik kumpul pengungsi Rohingya. Mereka lantas berbuat kasar seenaknya, seperti menunjuk-nunjuk, berteriak bak kesetanan, emosi tinggi, serta menendang dan melempar barang-barang di sekitar, sehingga membuat pengungsi, dominan perempuan dan anak-anak, histeris. 

"Jika etnis ini tidak mampu dideportasi ke luar Aceh, maka saya pastikan mahasiswa akan hadir berlipat ganda dalam melawan kebijakan pemerintah," klaim koordinator lapangan (korlap) aksi, Teuku Warija Arismunandar. 

Beberapa personel polisi berupaya mengendalikan situasi. Sayangnya, aparat gagal menguasai keadaan. Para demonstran pun berhasil memobilisasi ratusan pengungsi ke Kantor Kemenkumham Aceh menggunakan dua truk.

Peristiwa anti-kemanusiaan di "Bumi Rencong" tersebut lantas menuai sorotan setelah viral di media sosial (medsos) bahkan diulas beberapa media asing. Para demonstran pun dikecam. Mereka lalu mengembalikan para pengungsi Rohingya ke Gedung BMA.

"Saudara-saudara sekalian, pada malam ini kami telah tiba kembali di Balee Meuseuraya Aceh dengan tujuan mengantar kembali pengungsi Rohingya, yang mana siang tadi telah kami mobilisasi ke Kantor Kemenkumham Aceh," ucap Teuku Wariza dalam sebuah video yang beredar di medsos.

Di sisi lain, ia membantah adanya kecaman maupun sentimen negatif yang menyasar para demonstran. Klaimnya, massa mengawal pengungsi Rohingya di Kantor Kemenkumham Aceh hingga Kamis (28/12), sekitar pukul 03.00 WIB. Mereka justru menyalahkan pemerintah.

"Kenapa hari ini kami bawa kembali ke Balee Meuseuraya? Karena tidak ada tanggung jawab dari Kemenkumham Aceh. Dari pihak Kemenkumham Aceh mentelantarkan pengungsi Rohingya. Atas dasar asas kemanusiaan, kami membawa kembali pengungsi Rohingya ke Balee Meuseuraya Aceh," tutur Teuku, yang juga Koordinator Barisan Muda Hadi Surya (BMHS). Hadi Surya adalah Ketua DPC Partai Gerindra Aceh Selatan.

Untuk diketahui, Rohingya merupakan kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (Arakan) di Myanmar. Populasinya mencapai 1,4 juta jiwa. Mereka terusir dari tanah airnya buntut gerakan genosida oleh junta militer sejak 2017.

Berdasarkan data badan PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR) September 2023, sebanyak 965.467 etnis Rohingya dan pencari suaka yang tak memiliki status kewarganegaraan dari Myanmar mengungsi ke Bangladesh, disusul Mayalsia 105.762 orang, India 22.110 orang, dan Indonesia 859 orang. Per Desember, merujuk data Polda Aceh, ada 1.669 pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh dan tersebar di 6 wilayah.

UNHCR pun menyesali adanya pengusiran paksa tersebut. Apalagi, banyak pengungsi yang ditampung di BMA adalah kelompok rentan.

"UNHCR ... sangat prihatin melihat serangan massa di lokasi penampingan keluarga pengungsi yang rentan, yang mayoritasnya adalah anak-anak dan perempuan, di Kota Banda Aceh, Indonesia," ungkap Senior Communications Assistant UNHCR, Yanuar Farhanditya, dalam keterangannya. "Peristiwa ini membuat para pengungsi tersentak dan trauma."

Tidak organik

Menurutnya, pengusiran paksa terhadap pengungsi Rohingya di BMA oleh puluhan mahasiswa tersebut imbas kampanye daring sarat misinformasi, disinformasi, dan ujaran kebencian yang terkoordinasi. UNHCR pun mendorong aparat penegak hukum (APH) bertindak.

"UNHCR mengimbau publik di Indonesia untuk memeriksa ulang semua informasi yang tersedia secara online, yang banyak di antaranya salah atau diputarbalikkan dengan gambar yang dibuat oleh AI dan ujaran kebencian yang disebarkan melalui akun bot," imbuh Yanuar.

Hal senada disampaikan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna. Ia meyakini aksi massa itu tidak organik atau tak dilandasi alasan rasional, tetapi didorong disinformasi yang beredar di medsos.

"Aksi kemarin ini adalah puncak dari produksi narasi negatif sehingga mereka mengonsumsi informasi tersebut," katanya, Jumat (29/12). "Kita harus melawan narasi-narasi tersebut dengan menyebarkan informasi yang benar, akurat, dan humanis."

Hingga kini, kepolisian hanya baru menindak para pelaku yang menyelundurkan pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia. Para tersangka, yang merupakan warga negara (WN) Bangladesh dan Myanmar, dijerat Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 jo. Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP karena melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Apabila melihat ke belakang, memang kedatangan ratusan pengungsi Rohingya ke Indonesia melalui Aceh sejak November 2023 menyedot perhatian masyarakat. Warganet pun mengomentari hal ini di lintas platform medsos.

Drone Emprit sempat memantau perbincangan netizen di Twitter (X) dan portal daring sejak 3-16 Desember dengan memasukkan kata kunci (keyword) "Rohingya". Hasilnya, terdapat 148.366 yang mentwit dengan menggunakan Rohingya. Sentimen positif sebesar 73,640, negatif 49.906, dan netral 24,820.

Ratusan etnis Rohingya yang belakangan datang ke Indonesia sebelumnya mengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh. Mereka berpindah karena tidak ada jaminan keamanan menyusul banyaknya kasus penculikan hingga penembakan.

"Menaikkan narasi komparasi soal nasib dan perlakuan Pemerintah terhadap masyarakat Indonesia dan pengungsi Rohingya [dan] membagikan kabar soal kebrutalan pengungsi Rohingya," kicau pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, melalui akun Twitter @ismailfahmi, tentang sentimen negatif yang naik di Twitter menyangkut pengungsi Rohingya, 17 Desember.

Adanya sentimen negatif tersebut mengakibatkan sekitar 1.700 kiriman (posts) warganet bermuatan emosi kemarahan (anger). Ini ditandai dengan isi komentar yang geram pada sikap imigran Rohingya di Aceh selain mengecam tindakan demonisasi yang terjadi.

Ada beberapa akun yang getol mendengungkan isu-isu negatif tentang pengungsi Rohingya di Twitter. Mereka adalah @jengyaws (telah nonaktif), @ByRakeshSimha, @TommyPato7, @tanyarlfes, @sosmedkeras, dan @kegblgnunfaedh.

Komoditas politik

Tingginya atensi publik atas keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh, utamanya yang datang dalam beberapa pekan terakhir, juga menjadi sorotan ketiga calon presiden (capres) 2024. Dua di antaranya, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, cenderung memberikan empati kepada etnis Rohingya.

"Ketika ada orang stateless datang ke tanah kita, maka kita melakukan aktivitas kemanusiaan karena mereka adalah sesama manusia yang kita punya tanggung jawab," terang Anies dalam "Desak Anies" di Jakarta, 22 Desember silam.

"Untuk melaksanakan itu, kita siapkan tempat khusus agar tidak mengganggu aktivitas masyarakat yang ada. Karena begitu digabungkan, muncul problem," sambungnya. Ke depannya, menurut Anies, harus disiapkan tempat semipermanen layaknya Pulau Galang, Kepulauan Riau, yang pernah menjadi titik penampungan manusia perahu asal Vietnam pada 1979-1996.

Adapun Ganjar berjanji bakal meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi. Kemudian, melakukan penilaian darurat dan berkomunikasi dengan beberapa negara anggota Asean yang telah meratifikasi Konvensi PBB 1951.

"Kawan-kawan semuanya tidak akan resah pada persoalan itu. Apa pun namanya, kita harus menolong juga, tapi kepentingan nasional harus kita jaga," jelasnya, 16 Desember lalu.

Sementara itu, Prabowo Subianto bersikap sebaliknya dengan kilah masih banyak rakyat Indonesia yang kesusahan. "Masih banyak rakyat kita yang susah."

Direktur Data Politik Indonesia, Catur Nugroho, menilai, isu Rohingya menjadi polemik di Tanah Air lantaran koordinasi antara pemerintah dengan UNHCR tidak berjalan baik. Padahal, mereka adalah korban konflik sehingga mestinya mendapatkan perlindungan.

"Meskipun di Indonesia pengungsi Rohingya dianggap 'tidak kooperatif', tapi menurut saya, masih wajar karena mereka tidak ditempatkan di penampungan yang layak. Hal ini tentu saja menjadi isu yang pada akhirnya mendiskreditkan para pengungsi yang datang dan dikaitkan dengan isu antiimigran," bebernya kepada Alinea.id.

Catur mengakui bahwa isu Rohingya turut menjadi komoditas politik di tengah-tengah kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, takkan cukup efektif untuk mengerek suara, khususnya menyudutkan Anies yang kerap dianggap sebagai keturunan imigran dari Arab.

"Meskipun informasi dan berita yang menyampaikan keburukan-keburukan para pengungsi Rohingya muncul secara masif, tidak akan cukup signifikan untuk menyerang Anies karena pendatang Arab yang dahulu datang ke Indonesia berbeda. Imigran Arab di Indonesia kebanyakan datang dan menetap di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jakarta, Cirebon, dan Solo, untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam dengan damai sehingga diterima dengan baik oleh masyarakat pribumi," ulasnya.

Dosen Universitas Telkom ini berpendapat, masyarakat Indonesia cenderung lebih mudah "terpantik" isu agama dan SARA, utamanya dengan Islam di tanah Arab, seperti Palestina. Sebab, masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa segala hal yang berbau Arab atau Timur Tengah adalah masalah agama.

"Padahal, tidak selamanya seperti itu. Kalau dilihat secara lebih jernih, isu kemanusiaan yang terjadi di Palestina dan Rohingya sebenarnya juga sama-sama memerlukan perhatian dan bantuan dari kita," lanjutnya.

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan