Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran etik dua pegawainya, yakni Deputi Penindakan KPK, Inspektur Jenderal (Irjen) Firli dan Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhan, mengungkapkan dua pejabat tingginya terjerat kasus yang berbeda-beda. Irjen Firli diketahui diduga melanggar kode etik karena bertemu dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Zainul Majdi pada 13 Mei 2018. Dari pertemuan itu, keduanya sempat bermain tenis.
Menurut Kurnia, Irjen Firli selaku penyidik telah melanggar kode etik KPK. Sebab, lembaga anti rasuah itu masih tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi terkait divestasi PT Newmont Nusa Tenggara yang kini beralih nama PT Amman Mineral Tenggara.
Dalam kasus ini, diduga TGB menerima aliran dana Rp1,15 miliar. Uang tersebut masuk ke rekening Bank Syariah Mandiri milik TGB dari PT Recapital Assets Management. TGB diduga menerima aliran dana divestasi tersebut saat menjabat Gubernur NTB pada periode 2009-2013.
Sebagaimana tertuang dalam Peraturan KPK No 7 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. Kurnia menegaskan, bahwa perbuatan Irjen Firli itu berpotensi melanggar peraturan a quo pada poin Integritas angka 12.
Sebab, peraturan itu menyebutkan pelarangan bagi pegawai KPK untuk mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka/terdakwa/terpidana atau pihak lain yang diketahui oleh penasihat/pegawai yang bersangkutan perkaranya sedang ditangani oleh KPK, kecuali dalam melaksanakan tugas.
Sedangkan Pahala Nainggolan, kata Kurnia, melanggar kode etik karena mengirimkan surat balasan perihal pengecekan rekening pada salah satu bank swasta. Hal demikian menurutnya janggal. Mengingat, perusahaan yang mengirimkan surat pada KPK tersebut tidak sedang tersangkut kasus apa pun. Dengan demikian, dapat disimpulkan surat tersebut tidak ada urgensinya untuk ditindaklanjuti oleh KPK.
Hingga saat ini, kata Kurnia, pimpinan KPK tidak kunjung mengumumkan perkembangan pelaporan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi tersebut. Padahal, pihaknya sebagai pelapor mempunyai hak untuk mendapatkan informasi terkait tindaklanjut laporan tersebut.
"Dengan kondisi seperti ini, dikhawatirkan akan mengurangi nilai transparansi dan akuntabilitas yang selama ini dibangun di lembaga anti rasuah itu," kata Kurnia.
Selain meminta respons perkembangan pelaporan dugaan pelanggaran etik, Kurnia pun turut meminta pimpinan KPK segera menindaklanjuti petisi yang telah dilayangkan wadah pegawai, demi menjaga kredibilitas dan integritas KPK.
Sebelumnya, Irjen Firli melayangkan petisi yang memuat lima poin keberatan pegawai KPK. Itu di antaranya adalah hambatan penanganan perkara, tingkat kebocoran informasi yang tinggi, perlakuan khusus terhadap saksi, kesulitan penggeledahan dan pencekalan, serta pembiaran dugaan pelanggaran berat.