Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, mengklaim, Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Berakohol (RUU Minol) ditujukan untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia. Dalihnya, minuman keras memiliki efek lebih berbahaya dibandingkan penggunaan ganja dan merujuk berbagai riset, banyak kriminalitas bermula dari konsumsi minuman memabukkan tersebut.
"Apabila sudah dinyatakan ganja itu dilarang, logisnya alkohol juga dilarang. Maka, larangan miras ini tidak tepat bila dikaitkan dengan kepentingan umat Islam saja, melainkan kepentingan nasional dengan tetap mengecualikan berbagai hal yang khas untuk keperluan spesial, seperti upacara adat, keagamaan, penelitian, dan lain-lain," kata Hidayat dalam keterangannya, Sabtu (14/11).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai, seluruh fraksi di DPR dapat mengambil inspirasi dari pelarangan minuman keras yang diterapkan Papua dalam menyusu RUU Minol. Ini didasarkan atas produk hukum daerah Papua yang tegas melarang konsumsi minuman berakohol.
"DPR dan pemerintah perlu lebih bijak dan cermat, turun ke daerah, dan melihat bagaimana sikap Pemda Papua dan DPRD Papua serta masyarakat di sana terkait adanya peraturan daerah (perda) larangan minol ini," tegasnya.
Dikatakan Hidayat, pelarangan minuman beralkohol di "Bumi Cenderawasih" diatur sejak Perda Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol disahkan oleh DPRD Papua dan Gubernur Lukas Enembe.
Bahkan, di kabupaten yang sering disebut sebagai Kota Injil, Manokwari, sudah memiliki perda sejenis sejak 2006. Pemprov Papua, kata dia, mengatur lebih tegas seiring diberlakukannya Perda Nomor 22 Tahun 2016 yang mengubah sebagian ketentuan dalam Perda Nomor 15 Tahun 2013.
"Dalam perda yang terakhir, sejumlah pasal yang memberikan pengecualian justru dihapuskan. Jadi, intinya pelarangannya dilakukan secara total," ujarnya.
"Di Papua yang mayoritas warga dan anggota DPRD-nya beragama Kristen malah sudah lama setuju dan memberlakukan adanya aturan hukum yang melarang produksi dan penjualan minuman beralkohol," imbuh Hidayat.
RUU Minol menjadi salah satu rancangan produk hukum yang ditolak publik setelah UU Cipta Kerja (Ciptaker). Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), ada tiga alasan rancangan itu harus ditolak.
Pertama, memakai pendekatan prohibitionist dengan memuat ketentuan Pasal 7 yang melarang setiap orang mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol. Ini berpotensi menyebabkan pelanggar diganjar pidana Pasal 20 dengan penjara tiga bulan hingga dua tahun atau denda Rp10 juta sampai Rp50 juta.
"Dengan semangat prohibitionist atau 'larangan buta', hanya akan memberikan masalah besar, seperti apa yang negara Indonesia hadapi pada kebijakan narkotika, seluruh bentuk penguasaan narkotika dilarang dalam UU justru membuat lebih dari 40.000 orang pengguna narkotika dikirim ke penjara, memenuhi penjara dan membuat peredaran gelap narkotika di penjara tak terelakkan," kata Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, beberapa waktu lalu.
Kedua, pengaturan penggunaan alkohol yang membahayakan sudah diatur dalam Pasal 492 dan Pasal 300 KUHP. Pun masih dicantumkan di dalam RKUHP yang masih digodok DPR.
Terakhir, pemerintah dan DPR terlebih dahulu harus membuat riset mendalam tentang ongkos hingga analisis keuntungan dari kriminalisasi terhadap produksi, distribusi, kepemilikan, dan penguasaan minol.