PKS mendukung penuh pemberian amnesti terhadap Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh, yang menjadi terpidana kasus pencemaran nama baik.
Menurut Anggota Fraksi PKS DPR, Hamid Noor Yasin, kasus yang menjerat Saiful Mahdi merupakan fenomena gunung es di Indonesia akibat kelemahan dalam Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE), baik sebagai substansi normanya maupun penerapannya.
Hamid menegaskan, masih banyak kasus semacam Saiful Mahdi lainnya yang sedang, ataupun setelah dipidana akibat pemberlakuan UU ITE. Meski pemerintah sudah berusaha mengurangi dampak over kriminalisasi dari UU ITE, dengan mengeluarkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU ITE.
Namun, peraturan bersama tersebut tidak memadai dalam mengatasi kelemahan dari UU ITE. "Over kriminalisasi dan UU ITE bukan semata disebabkan karena kesalahan dalam penerapan UU, namun juga berakar pada kelemahan substansial dalam perumusan norma, atau delik dalam jumlah pasal-pasal dalam UU ITE, yang dalam penerapannya bertentangan dengan semangat kebebasan sipil dan demokrasi," kata Hamid dalam rapat Paripurna DPR di Senayan, Jakarta, Kamis (7/10).
Hamid menegaskan, kebebasan sipil sebagai pilar demokrasi harus ditegakkan. Dalam konteks ini, kata dia, pemberian amnesti bagi Saiful Mahdi merupakan jalan keluar yang perlu didukung bersama-sama.
Oleh karenanya, lanjutnya, Fraksi PKS menyambut baik masuknya UU ITE ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021 untuk direvisi.
Ia juga meminta, agar pimpinan DPR segera memproses tahapan penyusunan dan pembahasan bagi RUU tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Sekali lagi kami tegaskan kami, fraksi kami, PKS mendukung penuh pemberian amnesti presiden Mahdi," tegasnya.
Saiful Mahdi dilaporkan polisi bahkan sudah menjadi terpidana, setelah mengkritik proses penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di Fakultas Teknik dan Teknologi, Unsyiah 2019 lalu.
Pada Juli 2019, Saiful dilaporkan ke Polresta Banda Aceh. Ia lalu menjadi tersangka pencemaran nama baik berdasarkan pasal 27 ayat 3 UU ITE pada 2 September 2019
Dalam proses hukum yang berjalan, majelis hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta subsidair satu bulan kurungan.
Saiful mengajukan banding atas putusan itu, tetapi Pengadilan Tinggi menolak. Setelah itu, ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada 29 Juni 2021, permohonan Saiful ditolak.
Permohonan amnesti kepada Presiden Joko Widodo menjadi upaya hukum terakhir Saiful Mahdi, setelah banding dan kasasinya ditolak pihak pengadilan. Berdasarkan Undang-Undang, Presiden harus mendengar DPR bila akan memberikan amnesti dan abolisi.