Ketua Bidang Departemen Ekonomi dan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Farouk Abdullah Alwyni menilai pelaporan para petinggi dan orang dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dilakukan oleh masyarakat sipil ini harusnya jadi momentum untuk menyadarkan kembali kepada cita-cita reformasi yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Mnurut Farouk, Polri dan KPK perlu bekerja profesional untuk membuktikan marwahnya sebagai lembaga negara yang memberi rasa keadilan bagi semua (justice for all).
"Laporan itu sekaligus juga perlu disikapi sebagai cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia punya keinginan untuk menjadi negara yang bersih, minim korupsi, dan punya aturan hukum yang tidak tebang pilih," ujar Farouk dalam keterangannya kepada Alinea.id, Selasa (1/2).
Menurut dia, jika justice for all bisa tercapai, akan lebih mudah memikirkan bagaimana membangun sistem ekonomi yang bisa memberikan kesempatan untuk semua.
Dia menyebut, tantangan Indonesia keluar dari krisis ekonomi semakin berat. Hal ini disebabkan oleh pratik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di sekitar kekuasaan semakin vulgar.
"Terutama dalam 5 tahun terakhir, semua indikator memperlihatkan betapa KKN makin meruak. Tingkat korupsi memburuk, keadilan sosial terusik, penegakkan hukum melemah, dan pemerintah seperti jalan di tempat," katanya.
Farouk menyebut, penting untuk menyadari bahwa KKN merupakan salah satu faktor non-ekonomi yang berdampak besar terhadap ekonomi (non-economic factors affecting economy). Menurut World Justice Report, kata Farouk, Indonesia berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakkan hukum dengan skor total 0,52 poin. Skor ini nyaris tidak berubah sejak tahun 2015.
"Hukum di Indonesia masih bermasalah dari aspek kesetaraan. Belum semua orang Indonesia sama di hadapan hukum. Sebagian kecil menikmati previlese. Sebagian besar mendapat diskriminasi. Hukum cenderung lembut kepada mereka yang dekat kekuasaan dan keras kepada yang berseberangan," ujar dia.
Selain penegakkan hukum, sambung dia, secara lebih rinci dokumen ini juga memperlihatkan kita bermasalah dengan isu-isu abuse of power, korupsi, transparansi, kebebasan sipil, kriminalitas, keamanan, serta hak-hak fundamental warga negara.
"Di hampir semua isu tersebut, Indonesia punya skor di bawah rata-rata global,” kata Farouk.
Menurut Farouk, korupsi menjadi isu yang paling mencoreng nama Indonesia di mata dunia. Indonesia hanya mencatatkan skor 0,40 poin. Padahal, rata-rata global berada di angka 0,52 poin.
"Kenapa soal korupsi skor Indonesia jeblok? Salah satu penyebabnya adalah masih maraknya ranting eksekutif yang memanfaatkan fasilitas negara guna memenuhi kepentingan pribadi," jelasnya.
Hal itu menurutnya diperparah praktik penegakkan hukum yang tebang pilih. Praktis, ketika lingkaran penguasa menyalahgunakan wewenangnya, nyaris tidak ada hukum yang mampu menyentuh mereka.
"Kita dikejutkan dengan laporan masyarakat tentang dua anak presiden yang diduga terlibat tindak pidana korupsi dan atau pencucian uang (TPPU). Kita juga mendengar dugaan abuse of power keterlibatan menteri dalam bisnis PCR, maupun orang-orang lain yang berada di lingkaran kekuasaan. Belum ada perkembangan signifikan dari laporan-laporan tersebut. Padahal sudah ada bukti permulaan yang bisa ditelusuri," tegas Farouk.
Dua putra Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep dilaporkan atas dugaan tindak pidana korupsi dan atau pencucian uang oleh dosen UNJ Ubedilah Badrun pada 10 Januari 2022.
Hal ini terkait dengan perusahaan yang dibentuk anak-anak Jokowi bersama anak seorang pengusaha yang merupakan petinggi PT SM. Perusahaan yang dibentuk adalah PT Wadah Masa Depan, yang belakangan disuntik dana oleh perusahaan ventura. Menurut Ubedilah, perusahaan penyuntik dana itu terkait dengan PT SM, yang memiliki anak perusahaan yang bermasalah hukum dalam kasus pembakaran hutan.