Pemerintah akhirnya menerbitkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang UU ITE. Surat tersebut ditandatangani Menteri Kominfo Johnny G Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
Anggota Komisi I DPR Sukamta, meminta pemerintah tidak menjadikan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi alasan bagi pemerintah untuk tidak merevisi UU ITE.
"Dari segi substansi, bagaimana nasib revisi UU ITE? Sementara hulu persoalan ada di level undang-undang. Adanya SKB ini jangan dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak merevisi UU ITE," kata Sukamta kepada Alinea.id, Jumat (25/6).
Sukamta juga mempertanyakan kedudukan SKB tersebut dalam hukum positif. Kata dia, memang pemerintah mempunyai diskresi, tetapi apakah berlaku untuk kasus yang sudah ada aturan perundang-undangannya?
"Tidak ada bridging dari UU ITE dengan pembuatan SKB UU ITE ini, karena UU ITE tidak mengamanatkannya," ujar Wakil Ketua Fraksi PKS ini
Oleh karena itu, Sukamta menegaskan revisi UU ITE tetap wajib dilakukan. Baik dengan memperjelas delik yang ada dengan menambah pasal di UU ITE, maupun mengharmoniskannya dengan ketentuan delik dalam rancangan revisi KUHP.
"Supaya tidak ada lagi penafsiran yang berbeda-beda untuk diterapkan kepada objek hukum yang berbeda atau yang sering disebut pasal karet," katanya.
Selain itu, Sukamta juga menyoroti aspek penegakan hukumnya, seperti akumulasi (gabungan) pidana yang dilakukan pada kasus tertentu di lapangan. Soal gabungan pidana ini, terdapat tiga pandangan, yaitu concursus idealis (gabungan satu perbuatan), voortgezette handeling (perbuatan berkelanjutan) dan concursus realis (gabungan beberapa perbuatan).
Dia menjelaskan, soal concursus idealis. Di mana Pasal 63 KUHP mengatur bahwa sanksi yang diberikan kepada seseorang adalah yang paling memenuhi prinsip lex specialis. Prinsip hukumnya, satu tindak pidana hanya dapat dihukum dengan satu sanksi, tidak bisa akumulatif. Jika terdapat beberapa peraturan yang mengatur sanksi untuk satu tindak pidana, maka yang berlaku adalah peraturan yang paling khusus atau spesialis.
"Akumulasi pidana hanya berlaku dalam tindak kejahatan berlanjut (satu perbuatan diikuti/mengakibatkan perbuatan lainnya) dan gabungan perbuatan kejahatan (berlapis)," ujarnya.
Sukamta menyoroti dalam hal ini batasan dan iktikad penegak hukum dalam menentukan suatu perbuatan merupakan akibat ikutan (lanjutan) dari suatu perbuatan lainnya. Penegak hukum harus bisa membuktikan hal tersebut dengan cermat, tidak bisa gegabah. Misalnya, suatu perbuatan menyebarkan hoaks, tidak serta merta mengakibatkan suatu perbuatan membuat keonaran dengan sengaja. Di sini, penegak hukum harus berpijak pada ultimum remedium dan restorative justice, yang spiritnya tidak mudah untuk menjatuhkan hukuman, bahwa hukuman adalah jalan terakhir.
"Ke depannya kita berharap jagat maya terpelihara baik dengan penegakan hukum yang tegak lurus demi hukum, bukan demi kepentingan, baik kepentingan politik maupun material," harap wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.