Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dinilai melanggar konstitusi lantaran mengeluarkan putusan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Ini terkait sikap ketiga majelis hakimnya dalam memutuskan perkara perdata yang diajukan Partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berpendapat demikian lantaran tidak ada satu ketentuan pun dalam peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang (UU) Pemilu, yang memberikan kewenangan bagi PN untuk memerintahkan menyidangkan sengketa pemilu.
"Artinya, putusan PN Jakpus tersebut telah menyimpangi ketentuan peraturan perundang-undangan dan telah melampaui kewenangannya," tulis PSHK dalam keterangannya, Jumat (3/3).
PSHK menerangkan, sesuai Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019, pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang berwenang mengadili PMH oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan. Ini juga diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Apalagi, ketentuan menggelar pemilu setiap 5 tahun sekali dimandatkan dalam UUD NRI 1945 dan disepakati melalui Peraturan KPU (PKPU). Kebijakan ini tidak bisa ditawar.
"Hal ini akan membuat Pasal 22E tidak dapat dilaksanakan sehingga tidak terlalu jauh apabila Putusan 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst dapat dikatakan telah melanggar konstitusi," tegas PSHK.
Kendati demikian, PSHK mendorong KPU agar mengajukan banding atas putusan PN Jakpus tersebut. Kemudian, meminta Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta mengabulkan permohonan KPU dengan menganulir putusan PN Jakpus agar tidak ada lagi perdebatan yang berpotensi mengganggu bahkan menunda proses pemilu.
"Segenap jajaran penyelenggara negara, termasuk lembaga peradilan, [harus] konsisten dalam menjalankan mandatnya dan tidak bermain-main dengan ketentuan konstitusi," ucap PSHK.