close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suasana rumah duka Tuti Tursilawati TKI yang dihukum mati di Arab Saudi di kediamannya di Desa Cikeusik, Majalengka, Jawa Barat, Jumat (2/1)./AntaraFoto
icon caption
Suasana rumah duka Tuti Tursilawati TKI yang dihukum mati di Arab Saudi di kediamannya di Desa Cikeusik, Majalengka, Jawa Barat, Jumat (2/1)./AntaraFoto
Nasional
Minggu, 04 November 2018 17:53

Pola berulang eksekusi mati pekerja migran Indonesia

Tuti hanyalah satu dari jutaan kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi MAnusia (HAM) yang terjadi pada PRT di Arab Saudi.
swipe


Jaringan Buruh Migran (JBM) menyatakan tindakan eksekusi mati yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi merupakan pola yang seringkali terjadi terhadap PRT migran Indonesia. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Wina Tahun 1963 yang di dalamnya memandatkan kewajiban terkait notifikasi resmi tertulis.

“Padahal pemerintah Arab Saudi  juga sudah meratifikasi Konvensi Wina tersebut,” kata Seknas JBM Savitri Wisnuwardani di Jakarta, Minggu (4/11).

Kasus Tuti Tursilawati dalam proses hukum di Arab Saudi dikategorikan sebagai pelanggaran Hadd ghillah (perbuatan pidana yang tidak bisa dimaafkan kecuali oleh Tuhan), kasus ini juga tidak bisa dinegosiasikan menjadi kasus qisas yang dapat dimaafkan atau dibayar dengan denda. 

Tuti hanyalah satu dari jutaan kasus kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi MAnusia (HAM) yang terjadi pada PRT di Arab Saudi. Situasi kerja tidak layak, sistem khafallah yang tertutup, adanya kebijakan yang belum melindungi buruh migran menjadi penyebab utama kasus ini. 

Berbagai kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran HAM seperti penganiayaan, gaji yang tidak dibayarkan, pelecehan dan kekerasan seksual, kriminalisasi hingga berujung pada kematian karena dibunuh, eksekusi hukuman mati terjadi karena tidak adanya jaminan perlindungan dari buruknya situasi dan kondisi kerja di Arab Saudi. Hal ini diperparah dengan adanya system khafallah yang menganggap pekerja sebagai property/barang milik majikan. 

Sementara, Indonesia pada 12 Oktober 2018, baru saja menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Arab Saudi mengenai sistem penempatan satu kanal (one channel) dengan berbagai profesi yakni babysitter family cook, elderly caretaker, family driver, child careworker, housekeeper, dengan pilot project 30.000 pekerja yang diberangkatkan. 

Jaringan Buruh Migran melihat MoU ini dibuat tanpa didiskusikan atau diinformasikan terlebih dahulu pada buruh migran dan organisasi masyarakat sipil.

Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Boby Alwi,  juga mempertanyakan apakah MoU antara Indonesia dan Arab Saudi sudah mengatur sampai pada tingkatan teknis intervensi majikan ketika ada sengketa hubungan kerja dengan buruh migran.

Jika pemerintah tidak bisa melakukan intervensi ke dalam sengketa hubungan kerja, maka buruh migran dipastikan tidak mendapat perlindungan. Misalnya, ketika ada kasus kekerasan seperti yang dialami Tuti, perwakilan pemerintah RI tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sidak ke rumah majikan.

Untuk itulah, JBM meminta agar Pemerintah mengkaji ulang rencana uji coba penempatan 30.000 Pekerja Migran Indonesia  (PMI) ke Arab Saudi melalui sistem satu kanal (one channel). Mendesak pemerintah Indonesia melakukan langkah-langkah pembelaan hukum yang lebih maksimal bagi PMI yang terancam hukuman mati di berbagai negara

Selain itu, mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut kebijakan hukuman mati di Indonesia karena melanggar HAM, terutama hak hidup. Mendorong pemerintah Indonesia untuk melaporkan ke PBB tentang pelanggaran Konvensi Wina Tahun 1963 dan tidak adanya perubahan sistem hukum yang bisa melindungi PMI.

"Juga mendesak pemerintah untuk menyediakan pemulihan psikologis bagi keluarga PMI korban eksekusi mati. Mendesak pemerintah Indonesia untuk mempercepat aturan turunan UU PPMI sebagai upaya perwujudan perlindungan bagi PMI dan keluarganya sebelum 22 November 2019 (Mandat UU PPMI).

Disisi lain, Anggota Komisi I DPR RI Syaifullah Tamliha menegaskan Pemerintah Indonesia seharusnya sudah memberhentikan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi sampai ada kesepakatan resmi antarnegara soal perlindungan terhadap TKI.

"Indonesia sebelumnya sudah membuat moratorium kepada Arab Saudi. Moratorium tersebut agar tetap dipatuhi, sampai ada kesepakatan resmi antara Indonesia dan Arab Saudi soal perlindungan TKI di Arab Saudi," kata Syaifullah Tamliha pada diskusi "Daftar Panjang TKI Dihukum Mati" di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Menurut Syaifullah, terhadap TKI yang sudah berada di Arab Saudi, Indonesia telah membuat regulasi yang mengatur soal penempatan dan perlindungan terhadap TKI sejak diberangkatkan, selama bekerja di negara lain, hingga kembali ke Indonesia. "Namun, implementasinya masih belum berjalan baik," katanya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini menjelaskan, kasus hukum yang dihadapi Tuty Tursilawati, sesungguhnya adalah kasus lama. Tuty divonis hukuman mati oleh Pengadilan di Arab Saudi pada 2010. Aturan hukum di Arab Saudi, terpidana mati dapat dibebaskan, jika mendapat pengampunan dari keluarga korban.

Indonesia sudah mengupayakan agar Tuty mendapat pengampunan dari keluarga korban, tapi keluarga korban tidak ada yang mau memberikan pengampunan kepada Tuty.

Sebelumnya, Pemerintah Arab Saudi melakukan eksekusi mati terhadap TKI asal Majalengka, Jawa Barat, Tuty Tursilawati, di Arab Saudi, pada Senin (29/10). (ant)

img
Laila Ramdhini
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan