close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Baru setahun disegel, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan izin mendirikan bangunan di pulau reklamasi. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Baru setahun disegel, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan izin mendirikan bangunan di pulau reklamasi. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Selasa, 18 Juni 2019 20:10

Polemik penerbitan IMB di pulau reklamasi

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) setelah setahun lalu menyegel bangunan di pulau reklamasi.
swipe

Senin (17/6) menjelang malam, sejumlah kendaraan memasuki Pulau D—salah satu dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, yang kemudian diberi nama Kawasan Pantai Maju. Akses satu-satunya menyeberang ke pulau buatan ini melewati jembatan dua jalur sepanjang 500 meter—yang letaknya di ujung Kota Pantai Indah Kapuk 1, Jakarta Utara.

Saat masuk ke kawasan seluas 312 hektare ini, di sisi kiri jembatan terlihat sebuah bangunan yang masih dalam proses pengerjaan. Di sisi kanannya, ada area perumahan yang belum terisi.

Di pulau ini, juga terdapat rumah toko (ruko) empat lantai siap huni, yang berjejer sepanjang jalan utama. Puluhan orang yang mengendarai mobil dan sepeda motor memarkir kendaraan mereka di sisi kiri ruas jalan utama.

Mereka datang untuk mencicipi aneka jajanan yang terpusat di area food street, di depan bangunan ruko. Di sini, ada puluhan kios makanan yang buka hingga larut malam. Semakin malam, food street semakin ramai.

"Hampir sekitar enam bulan (berjualan) di sini. Awalnya baru setengah yang terisi, kini sudah hampir penuh lapak yang tersedia," kata Edy salah seorang pedagang sate padang di area food street, Pulau D, Jakarta Utara saat ditemui reporter Alinea.id, Senin (17/6).

Edy mengatakan, ia sudah berjualan di lokasi ini sejak enam bulan lalu. Untuk mendapatkan izin membuka lapak, ia harus mengeluarkan uang Rp2,5 juta ke pihak pengelola. Pemilik lapak, kata Edy, sebelumnya juga diwajibkan membayar Rp5 juta sebagai uang jaminan.

Bangunan rumah toko di Pulau D. Alinea.id/Armidis.

Edy mengaku tak tahu soal izin mendirikan bangunan (IMB) di pulau reklamasi yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ia hanya pernah melihat berita terkait hal itu di televisi.

Sama halnya dengan Edy, Abdul Rofiq, salah seorang petugas keamanan di area parkir food street juga mengaku tak mengetahui terkait terbitnya IMB itu. Selain bangunan yang proyeknya masih dalam pengerjaan, Rofiq tak melihat ada aktivitas pembangunan lagi.

“Sementara untuk bangunan lain yang selesai pembangunan, belum dihuni,” ujar Rofiq.

Salah seorang pengunjung asal Ciledug, Tangerang, Khairul Kambaren menuturkan, Anies tak konsisten dengan janji politiknya dahulu, yang akan menyetop proyek reklamasi. Ia menuturkan, keberadaan pulau reklamasi berpotensi membuat kelas menengah ke atas semakin eksklusif.

"Jangan sampai masyarakat kecewa karena akan terkesan berpihak ke investor lewat penerbitan IMB itu," kata Khairul.

Antara raperda dan IMB

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta kembali menjadi sorotan setelah pekan lalu menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk 932 bangunan di Pulau D. IMB itu diberikan untuk bangunan-bangunan yang telah berdiri, yakni 311 rumah kantor (rukan) dan rumah tinggal yang belum tuntas dibangun, 409 rumah tinggal, dan 212 rukan.

IMB ini diterbitkan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta atas nama Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group. Kapuk Naga Indah merupakan pengembang Pulau D. IMB ini terbit pada November 2018, dengan nomor IMB: 62/C.37a/31/-1.785.51/2018.

Padahal, pada 7 Juni 2018, Pemprov DKI Jakarta menyegel semua bangunan itu karena dianggap tak punya izin.

“Ini tanah kita, diambil dari bawah air laut kita. Ini adalah tanah air kita. Membangun di tanah ini harus taat pada semua aturan hukum di tanah air kita,” kata Anies dalam status akun Facebook resminya pada 7 Juni 2018.

Menanggapi terbitnya IMB, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah menegaskan, untuk menerbitkan IMB tak perlu peraturan daerah (perda). Dasar hukum yang dibutuhkan, kata dia, cukup dengan Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

“Pegangannya sampai sementara ini, pergub itu,” ujar Saefullah saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, Senin (17/6).

Saefullah berdalih, reklamasi memang sudah disetop. Namun, pembangunan yang sudah ada harus diatur.

“Yang jelas kepentingan publik di situ diakomodir. Melalui Jakpro nanti yang tampil mewakili Pemprov DKI untuk mengurus masalah hak-hak publik atas pantai dan seterusnya,” ucapnya.

Sebuah mobil melintas di jalan utama Pulau D, Senin (17/6). Alinea.id/Armidis.

Lebih lanjut, Saefullah menuturkan, rancangan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) tak ada kaitannya dengan pembangunan di pulau reklamasi.

“RZWP3K itu untuk mengatur zonasi pulau-pulau di sana,” kata Saefullah.

Selain itu, ia menyebut, rencana tata ruang kawasan strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta merupakan konsep pantai atau bagian dari daratan.

"Maka konsep pulau A, B, C, D sampai K, L, M, N, O, P itu tidak ada lagi konsep pulau. Konsepnya adalah pantai dari bagian daratan. Termasuk yang diperluasan pantai Ancol," ucapnya.

Saefullah pun menyebut, pihaknya tengah merevisi perda rencana detail tata ruang (RDTR), dan akan segera diajukan ke DPRD DKI Jakarta.

Sejumlah fraksi di DPRD DKI Jakarta mengkritisi keputusan Anies menerbitkan IMB. Alasannya, hingga saat ini Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta belum melanjutkan pembahasan RTRKS Pantai Utara Jakarta dan RZWP3K.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau penyegelan di Pulau D reklamasi Teluk Jakarta, Jakarta, Kamis (7/6)./Antara Foto.

Kedua raperda tersebut ada di tangan Anies, usai ditarik dari meja Bapemperda DPRD DKI Jakarta pada akhir 2017. Saat itu, Anies menyatakan, dengan ditariknya dua raperda tersebut akan membuat Pemprov DKI Jakarta lebih leluasa menyiapkan rancangan aturan yang lebih matang dan komprehensif atas kebijakan penghentian reklamasi di Teluk Jakarta.

Menurut Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono, dua raperda itu yang akan mengatur zonasi dan tata ruang pesisir Teluk Jakarta, termasuk pulau reklamasi. Gembong memandang, penerbitan IMB di pulau reklamasi menjadi aneh karena belum ada dua raperda tersebut.

"Ibaratnya ini lahir duluan sebelum hamil," kata Gembong di Jakarta, Selasa (18/6).

Kritik serupa juga dilontarkan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Abdul Ghoni. Ia meminta, Anies lebih tegas pada masalah reklamasi. Selain menjadi salah satu poin dari janji kampanye, ia juga menegaskan, pulau yang kadung direklamasi belum memiliki aturan yang jelas mengenai peruntukannya.

"Daripada pandangannya beda-beda, jadi tunggu saja sampai dua raperdanya selesai. Maka di situ akan ada aturan mainnya," ujar Ghoni di Jakarta, Selasa (18/6).

Senin (17/6) menjelang malam, sejumlah kendaraan memasuki Pulau D—salah satu dari 17 pulau reklamasi di Teluk Jakarta, yang kemudian diberi nama Kawasan Pantai Maju. Akses satu-satunya menyeberang ke pulau buatan ini melewati jembatan dua jalur sepanjang 500 meter—yang letaknya di ujung Kota Pantai Indah Kapuk 1, Jakarta Utara.

Saat masuk ke kawasan seluas 312 hektare ini, di sisi kiri jembatan terlihat sebuah bangunan yang masih dalam proses pengerjaan. Di sisi kanannya, ada area perumahan yang belum terisi.

Di pulau ini, juga terdapat rumah toko (ruko) empat lantai siap huni, yang berjejer sepanjang jalan utama. Puluhan orang yang mengendarai mobil dan sepeda motor memarkir kendaraan mereka di sisi kiri ruas jalan utama.

Mereka datang untuk mencicipi aneka jajanan yang terpusat di area food street, di depan bangunan ruko. Di sini, ada puluhan kios makanan yang buka hingga larut malam. Semakin malam, food street semakin ramai.

"Hampir sekitar enam bulan (berjualan) di sini. Awalnya baru setengah yang terisi, kini sudah hampir penuh lapak yang tersedia," kata Edy salah seorang pedagang sate padang di area food street, Pulau D, Jakarta Utara saat ditemui reporter Alinea.id, Senin (17/6).

Edy mengatakan, ia sudah berjualan di lokasi ini sejak enam bulan lalu. Untuk mendapatkan izin membuka lapak, ia harus mengeluarkan uang Rp2,5 juta ke pihak pengelola. Pemilik lapak, kata Edy, sebelumnya juga diwajibkan membayar Rp5 juta sebagai uang jaminan.

Bangunan rumah toko di Pulau D. Alinea.id/Armidis.

Edy mengaku tak tahu soal izin mendirikan bangunan (IMB) di pulau reklamasi yang diterbitkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ia hanya pernah melihat berita terkait hal itu di televisi.

Sama halnya dengan Edy, Abdul Rofiq, salah seorang petugas keamanan di area parkir food street juga mengaku tak mengetahui terkait terbitnya IMB itu. Selain bangunan yang proyeknya masih dalam pengerjaan, Rofiq tak melihat ada aktivitas pembangunan lagi.

“Sementara untuk bangunan lain yang selesai pembangunan, belum dihuni,” ujar Rofiq.

Salah seorang pengunjung asal Ciledug, Tangerang, Khairul Kambaren menuturkan, Anies tak konsisten dengan janji politiknya dahulu, yang akan menyetop proyek reklamasi. Ia menuturkan, keberadaan pulau reklamasi berpotensi membuat kelas menengah ke atas semakin eksklusif.

"Jangan sampai masyarakat kecewa karena akan terkesan berpihak ke investor lewat penerbitan IMB itu," kata Khairul.

Antara raperda dan IMB

Kebijakan Pemprov DKI Jakarta kembali menjadi sorotan setelah pekan lalu menerbitkan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk 932 bangunan di Pulau D. IMB itu diberikan untuk bangunan-bangunan yang telah berdiri, yakni 311 rumah kantor (rukan) dan rumah tinggal yang belum tuntas dibangun, 409 rumah tinggal, dan 212 rukan.

IMB ini diterbitkan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) DKI Jakarta atas nama Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Group. Kapuk Naga Indah merupakan pengembang Pulau D. IMB ini terbit pada November 2018, dengan nomor IMB: 62/C.37a/31/-1.785.51/2018.

Padahal, pada 7 Juni 2018, Pemprov DKI Jakarta menyegel semua bangunan itu karena dianggap tak punya izin.

“Ini tanah kita, diambil dari bawah air laut kita. Ini adalah tanah air kita. Membangun di tanah ini harus taat pada semua aturan hukum di tanah air kita,” kata Anies dalam status akun Facebook resminya pada 7 Juni 2018.

Menanggapi terbitnya IMB, Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Saefullah menegaskan, untuk menerbitkan IMB tak perlu peraturan daerah (perda). Dasar hukum yang dibutuhkan, kata dia, cukup dengan Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK) Pulau C, Pulau D, dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.

“Pegangannya sampai sementara ini, pergub itu,” ujar Saefullah saat ditemui di Balai Kota, Jakarta, Senin (17/6).

Saefullah berdalih, reklamasi memang sudah disetop. Namun, pembangunan yang sudah ada harus diatur.

“Yang jelas kepentingan publik di situ diakomodir. Melalui Jakpro nanti yang tampil mewakili Pemprov DKI untuk mengurus masalah hak-hak publik atas pantai dan seterusnya,” ucapnya.

Sebuah mobil melintas di jalan utama Pulau D, Senin (17/6). Alinea.id/Armidis.

Lebih lanjut, Saefullah menuturkan, rancangan peraturan daerah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) tak ada kaitannya dengan pembangunan di pulau reklamasi.

“RZWP3K itu untuk mengatur zonasi pulau-pulau di sana,” kata Saefullah.

Selain itu, ia menyebut, rencana tata ruang kawasan strategis (RTRKS) Pantai Utara Jakarta merupakan konsep pantai atau bagian dari daratan.

"Maka konsep pulau A, B, C, D sampai K, L, M, N, O, P itu tidak ada lagi konsep pulau. Konsepnya adalah pantai dari bagian daratan. Termasuk yang diperluasan pantai Ancol," ucapnya.

Saefullah pun menyebut, pihaknya tengah merevisi perda rencana detail tata ruang (RDTR), dan akan segera diajukan ke DPRD DKI Jakarta.

Sejumlah fraksi di DPRD DKI Jakarta mengkritisi keputusan Anies menerbitkan IMB. Alasannya, hingga saat ini Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta belum melanjutkan pembahasan RTRKS Pantai Utara Jakarta dan RZWP3K.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau penyegelan di Pulau D reklamasi Teluk Jakarta, Jakarta, Kamis (7/6)./Antara Foto.

Kedua raperda tersebut ada di tangan Anies, usai ditarik dari meja Bapemperda DPRD DKI Jakarta pada akhir 2017. Saat itu, Anies menyatakan, dengan ditariknya dua raperda tersebut akan membuat Pemprov DKI Jakarta lebih leluasa menyiapkan rancangan aturan yang lebih matang dan komprehensif atas kebijakan penghentian reklamasi di Teluk Jakarta.

Menurut Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono, dua raperda itu yang akan mengatur zonasi dan tata ruang pesisir Teluk Jakarta, termasuk pulau reklamasi. Gembong memandang, penerbitan IMB di pulau reklamasi menjadi aneh karena belum ada dua raperda tersebut.

"Ibaratnya ini lahir duluan sebelum hamil," kata Gembong di Jakarta, Selasa (18/6).

Kritik serupa juga dilontarkan Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta Abdul Ghoni. Ia meminta, Anies lebih tegas pada masalah reklamasi. Selain menjadi salah satu poin dari janji kampanye, ia juga menegaskan, pulau yang kadung direklamasi belum memiliki aturan yang jelas mengenai peruntukannya.

"Daripada pandangannya beda-beda, jadi tunggu saja sampai dua raperdanya selesai. Maka di situ akan ada aturan mainnya," ujar Ghoni di Jakarta, Selasa (18/6).

Krisis ekologis dan kepentingan bisnis

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan, tak ada jalan lain bagi gubernur selain menghentikan semua proses reklamasi. Pemprov DKI Jakarta, kata Tubagus, tak bisa berdalih dengan alasan keterlanjuran.

Menurut Tubagus, Anies bisa saja beralasan bahwa pulau itu akan dimanfaatkan untuk kebutuhan publik. Namun, kata dia, krisis ekologis di Teluk Jakarta sudah memprihatinkan dan harus diperhatikan.

Tubagus mendesak Pemprov DKI Jakarta segera membentuk tim kajian untuk membahas soal pembongkaran pulau-pulau reklamasi. "Kita dorong Pemprov bentuk tim kajian layak tidaknya pembongkaran," kata Tubagus saat dihubungi, Selasa (18/6).

Ia mengatakan, sejak awal, konstruksi pembangunan pulau buatan memang didesain di atas motif kepentingan bisnis. Sayangnya, aspek sosiologis dan lingkungan diabaikan, tak pernah menjadi alasan utama yang mendasari proyek reklamasi.

Tubagus menilai, posisi pergub yang dikeluarkan pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk dalih menerbitkan IMB, sangat lemah.

Pemprov DKI Jakarta menyegel bangunan yang berdiri di pulau reklamasi pada Juni 2017 lalu./facebook.com/aniesbaswedan

"Kita lihat misalnya, jauh sebelum pergub itu terbit, bangunan sudah berdiri. Posisi pergub itu hanya memfasilitasi kesalahan yang terjadi," kata dia.

Senada dengan Tubagus, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai langkah Anies tak tepat. Menurutnya, posisi pulau reklamasi masih dianggap sebagai kawasan laut, selama belum ada perda yang menegaskan itu sebagai pulau reklamasi.

Seharusnya, kata Trubus, gubernur menerbitkan dasar hukum dalam bentuk perda dahulu, sebelum mengeluarkan IMB.

"Selama belum ada perdanya, kawasan pulau reklamasi masih dianggap sebagai kawasan laut. Sementara IMB itu kan di tanah daratan," kata Trubus saat dihubungi, Selasa (18/6).

Selain itu, Trubus menduga, langkah Anies lantaran terdesak kepentingan bisnis yang berdiri di belakangnya. Akibatnya, Anies kemudian mesti mengambil keputusan yang berlawanan dengan komitmennya, saat maju sebagai Gubernur DKI Jakarta.

"Dari sikap inkonsisten Anies, publik menilai Anies mementingkan kepentingan bisnis," kata dia.

Rencana interpelasi

Terkait rencana melayangkan hak interpelasi kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang sudah menerbitkan IMB untuk Pulau D, fraksi-fraksi di DPRD DKI Jakarta belum satu suara. Awalnya, hak interpelasi didengungkan Fraksi Partai Nasdem DPRD DKI Jakarta.

Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD DKI Jakarta Bestari Barus menilai, Anies perlu memberikan penjelasan detail di forum resmi DPRD, mengapa menerbitkan IMB untuk bangunan yang sebelumnya juga telah disegel.

"Karena itu DPRD seyogyanya segera mengagendakan untuk menggulirkan hak interpelasi," ujar Bestari di Jakarta, Selasa (18/6).

Sementara itu, Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mendukung usulan Fraksi Partai Nasdem. Ia menyebutnya sebagai langkah positif, yang sewajarnya diambil fraksi-fraksi lain di DPRD.

"Karena memang interpelasi itu merupakan hak anggota dewan untuk meminta keterangan. Menanyakan suatu hal kepada pemangku kebijakan, kan begitu," tutur Gembong.

Sebuah truk melintas di kawasan Pulau D hasil reklamasi, di kawasan pesisir Jakarta, Senin (17/6). /Antara Foto.

Walau mengkritisi hal yang sama, namun Fraksi Partai Demokrat DPRD tak mau gegabah. Penasihat Fraksi Demokrat DPRD Santoso mengatakan, pihaknya akan mengkaji lebih dahulu keputusan Anies menerbitkan IMB.

Menurut Santoso, kajian itu akan diperkuat dengan mengoptimalkan fungsi komisi, dengan memanggil terlebih dahulu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.

"Jadi kita dengarkan dulu apa yang melatarbelakangi Anies menerbitkan IMB. Kalau ada yang salah kita akan bersikap, tetapi kita tidak terburu-buru," katanya di Jakarta, Selasa (18/6).

Sama halnya dengan Demokrat, Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta juga tak mau buru-buru menggelar interpelasi. Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Ashraf Ali mengaku sudah berembuk bersama anggotanya untuk membahas masalah terbitnya IMB.

"Kita juga akan bentuk tim yang terdiri dari ahli hukum untuk mengkaji masalah ini. Nanti satu minggu kita akan tahu pendapat Golkar akan ke mana," ujarnya di Jakarta, Selasa (18/6).

Di sisi lain, Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta meminta agar fraksi-fraksi di DPRD tak cepat-cepat melayangkan hak interpelasi. Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Abdurrahman Suhaimi menilai, dalam persoalan pulau reklamasi, Anies sudah menunaikan janji kampanyenya.

Menurut dia, Anies sudah konsisten untuk menghentikan pengerjaan pengerukan laut di Teluk Jakarta. Selain itu, kata Suhaimi, Anies sudah mengeluarkan kebijakan pemanfaatan lahan reklamasi untuk masyarakat di Pulau C, D, dan G dengan mengubah nama menjadi Pulau Kita, Maju, dan Bersama.

"Itu dua-duanya terpenuhi janjinya. Berikutnya, apa yang dilakukan gubernur dengan menerbitkan IMB itu harus dipastikan bahwa tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang ada. Selama tidak (bertentangan), ya tidak mengapa," kata dia.

img
Akbar Persada
Reporter
img
Eka Setiyaningsih
Reporter
img
Armidis
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan