Polemik PermenPAN-RB 1/2023: Bebani dosen, gerus otonomi perguruan tinggi
Ahmad Bakir Ihsan sedang ketar-ketir. Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu tengah merunut berbagai kewajiban baru yang musti dilakoni setelah Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN) dirilis.
Sebagai dosen yang berstatus ASN, Bakir Ihsan kini wajib menjalankan segudang urusan terkait administrasi dan birokrasi yang cukup pelik. Ia khawatir kerja utamanya sebagai pengajar terbengkalai lantaran sibuk mengurusi laporan kinerja.
"Padahal, tugas utama dosen itu ialah mendidik, meneliti dan melakukan pengabdian masyarakat. Sering kali penelitian sama lapor administrasi, lebih rumit kewajiban administrasinya sehingga dosen lebih disibukkan oleh masalah administrasi ketimbang bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan," ujar Bakir saat berbincang dengan Alinea.id, Senin (17/4).
Pada Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Permen itu, tertulis perguruan tinggi wajib mengunggah hasil kerja pejabat fungsional yang dilaksanakan sampai dengan 31 Desember 2022 untuk dinilai angka kreditnya paling lambat tanggal 30 Juni 2023. Dosen mengumpulkan data hasil kerja pada aplikasi SISTER sampai 15 Mei 2023.
Menurut Bakir, Permen tersebut diprotes kalangan dosen lantaran jangka waktu untuk menyusun berkas angka kredit terlampau mepet. Sistem pelaporan berjenjang juga dinilai merepotkan. Tak hanya di perguruan tinggi, dosen juga harus melaporkan kinerja mereka ke tingkat kementerian.
Di perguruan tinggi berbasis agama, menurut Bakir, para pengajar jauh lebih repot. Karena berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag), kampus-kampus Islam harus melapor pula ke Kemenag. Laporan ke Kemendikbud juga tetap harus diunggah.
"Akhirnya, prosesnya jadi lebih panjang. Seharusnya ada mekanisme yang lebih simpel. Hal ini membuat dosen lebih memikirkan administrasi sehingga mahasiswanya terbengkalai," ucap pria yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Bakir bercerita ada beragam aplikasi yang harus diakses oleh para dosen ASN untuk menjalankan kewajiban administrasi. Dalam urusan dana penelitian, misalnya, Bakir mengaku harus melapor berulang-ulang melalui berbagai aplikasi berbeda.
"Dana hibah penelitiannya sedikit, tapi laporannya banyak. Terus bikin laporan keuangan beda lagi. Semua pengajaran itu harus disampaikan dalam aplikasi lainnya. Untuk kenaikan pangkat, nanti prosesnya beda lagi. Akhirnya, tugas substansial kami jadi terganggu," papar Bakir.
Soal beban administrasi individu yang dialihkan menjadi tanggung jawab institusi sebagaimana bunyi PermenPAN-RB teranyar itu, Bakir mengaku pesimistis mekanismenya bisa berjalan. Menurut dia, pihak kampus belum memiliki kapasitas untuk memikul beban administrasi seluruh dosen.
"Birokrasi itu bicara soal kemampuan orang per orang yang menangani itu. Jangan sampai diserahkan ke universitas. Kemudian universitas belum siap. Sehingga akhirnya kembali ke sistem lama yang membebani individu," ucap Bakir.
Beban administrasi yang terlampau berat, menurut Bakir, bakal membuat perguruan tinggi hanya dipenuhi orang-orang yang sibuk mencari pangkat ketimbang mengembangkan ilmu pengetahuan. Apalagi, kepatuhan melaporkan kinerja secara berkala menjadi salah satu tolok ukur kenaikan pangkat.
"Kalau dosen berhasil mengembangkan inovasi, maka harus diberi penghargaan yang setimpal, semisal diberikan kenaikan pangkat. Hal itu lebih memacu dosen untuk melakukan inovasi dan kajian-kajian ilmu pengetahuan yang sifatnya revolusioner. Kalau belum apa-apa dosen sudah dibebani beban administrasi, anak-anak muda enggak akan tertarik menjadi dosen," ucap Bakir.
Khusus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menurut Bakir, gejala berkurangnya minat mahasiswa menjadi dosen sudah terlihat program studi (prodi) Hubungan Internasional (HI). Lulusan HI, kata dia, ogah jadi dosen lantaran persoalan minimnya gaji dan beban kerja yang berat. Mereka lebih tertarik berkarier sebagai diplomat atau bekerja di perusahaan swasta.
"Gejala ini semestinya menjadi agenda negara untuk memikirkan beban administrasi supaya menjadi lebih simpel. Kampus juga harus berbenah terkait masalah administrasi ini. Saya khawatir kalau ini tidak berubah, nanti tidak ada orang lagi yang tertarik menjadi dosen," ucap Bakir.
Gerus otonomi?
Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA) menyatakan menolak penerapan PermenPAN-RB No. 1/2023 bagi kalangan pengajar. Koordinator KIKA, Satria Unggul Wicaksana Prakasa menyebut PermenPAN-RB itu disalahartikan Dirjen Dikti.
“Selain memperlihatkan kekeliruan bahwa sistem administrasi yang dibangun selama ini, Dikti Ristek juga seolah-olah menunjukkan posisi mereka seperti rektor dan/atau tim sumber daya manusia universitas seluruh Indonesia,” kata Satria dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, belum lama ini.
Menurut Satria, dengan mewajibkan laporan berkala sebagai tolok ukur kinerja, Ditjen Dikti memposisikan penyelenggara perguruan tinggi sebagai bawahan sebagaimana ASN di kementerian-kementerian dan pemerintah daerah.
Langkah itu, lanjut dia, menyalahi isi Pasal 62 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Pada pasal tersebut ditegaskan bahwa negara dalam penyelenggaraan pendidikan harus memperhatikan otonomi penyelenggara perguruan tinggi. Sebagai lembaga otonom, birokasi dan sistem administrasi di lembaga pendidikan tak seharusnya diseragamkan.
.
"Karena mereka mitra, maka harus dianggap sejajar dengan Dikti Ristek. Mekanisme aturan kerja dosen non-ASN tidak merujuk pada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, namun pada Kementerian Ketenagakerjaan,” kata Satria.
Selain PermenPAN-RB No. 1/2023, telah terbit pula PermenPAN-RB Nomor 17 tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. Regulasi itu merinci jabatan akademik dosen, mulai dari asisten ahli, lektor, lektor kepala, hingga profesor.
Pengangkatan jabatan dosen secara berjenjang berbasis angka kredit. Paramaternya beragam, mulai dari tingkat pendidikan dosen, kerja sehari-hari, riset, pengabdian kepada masyarakat, hingga puluhan jenis kegiatan penunjang, semisal membimbing mahasiswa, menguji sidang, dan mengisi seminar.
Kian beratnya beban dosen yang dirinci dalam sejumlah regulasi itu bikin Wildan, 30 tahun, berkecil hati. Lulusan magister Fakultas Sosiologi Universitas Indonesia (UI) itu mengaku tak lagi berminat jadi pengajar di perguruan tinggi negeri.
"Susah sekarang menjadi dosen, tantangan banyak. Beban yang mesti ditanggung juga tidak semata soal akademik, tapi juga hal lain yang tidak mendukung dosen muda berkembang," ujar Wildan kepala Alinea.id, Rabu (19/4).
Wildan mengaku sudah melamar sebagai dosen di sejumlah perguruan tinggi negeri. Selama ini, ia mendapati banyak rekannya yang telah jadi dosen mengeluhkan soal beban kerja di luar akademis yang tergolong berat.
Para dosen muda itu, kata Wildan, rata-rata curhat tidak mampu mengembangkan kemampuan terbaiknya karena terjebak dalam persoalan di luar akademis. "Jadi, untuk cari biaya penelitian aja susah. Sudah dapat pun harus membuat laporan dan sebagainya," kata Wildan.
Meski begitu, Wildan masih bercita-cita jadi dosen. Sebagai jalan tengah, ia membidik perguruan tinggi swasta. "Saya ingin menjadi dosen di kampus swasta saja atau menjadi dosen non- ASN. Tapi, tantangannya digaji murah," ucap warga Cirebon, Jawa Barat itu.
Digitalisasi tak terintegrasi
Segendang sepenarian, Yogi Suprayogi, pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), berpendapat PermenPAN-RB No. 1/2023 bikin repot para pengajar di perguruan tinggi. Apalagi, hingga saat ini belum ada aplikasi "satu pintu" untuk menampung semua jenis laporan terkait administrasi dan kinerja.
"Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek itu sekarang pamer aplikasi. Ada banyak aplikasi, mulai Bima ada Sijali dan macam-macam... Ini jadi banyak pulau-pulau aplikasi. Kebanyakan aplikasi ini saya lihat karena belum ada harmonisasi dan konsolidasi antar stakeholder," ucap Yogi kepada Alinea.id, Selasa (18/4).
Sebagai pengajar aktif di perguruan tinggi negeri, Yogi juga sudah merasakan repotnya mengurusi berkas-berkas administrasi. Belum lama ini, ia diminta pihak kampus melengkapi aneka berkas untuk keperluan laporan beban kerja dosen dan sertifikasi dosen.
"Bayangin! Saya, kemarin, baru lapor yang BKD. BKD itu beban kerja dosen. Terus, sekarang ditagih lagi untuk yang kinerja yang sertifikasi dosen," ucap Yogi.
Sejauh ini, menurut Yogi, sistem kinerja yang terlalu berkutat pada persoalan administrasi membuat banyak dosen kesulitan mengembangkan ilmu pengetahuan. Banyak rekan Yogi yang curhat tak punya waktu untuk menulis karya ilmiah.
"Sebagai contoh, teman saya itu tidak ada waktu nulis jurnal atau buku. Waktunya habis untuk mengurus administrasi karena dia tergulung masalah birokrasi. Hal ini, menurut saya, menjadi sebab dosen di Indonesia sulit untuk produktif di pengembangan ilmu pengetahuan," kata dia.
Berbasis pengalamannya sebagai dosen tamu di luar negeri, menurut Yogi, pemerintah seharusnya berkaca kepada perguruan-perguruan tinggi di Malaysia. Di Negeri Jiran, para pengajar tak dibebani laporan administrasi yang rumit.
"Dosen di Malaysia itu tidak diwajibkan melakukan pengabdian masyarakat. Mereka hanya fokus mengajar dan penelitian. Dosen yang diberi beban administrasi hanya kepala prodi, dekan dan rektor. Sementara dosen fungsional, dibiarkan menulis jurnal," ucap Yogi.
Sebelumnya, MenPAN-RB Abdulah Azwar Anas mengemukakan bila PermenPANRB No.1/2023 dirilis sebagai upaya mereduksi tanggung jawab administrasi dosen yang sudah terlampau berat. Ia membantah regulasi anyar itu mempersulit kerja para pengajar.
"Apalagi membuat birokrasi baru. Justru ini upaya transisi untuk mempermudah. Kami tidak ingin profesi dosen yang mulia disibukkan untuk mengurus angka kredit. Kenapa agak repot enam bulan ini? Karena ini masa transisisi,” kata Azwar.