Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar (UAI), Suparji Ahmad, meminta semua pihak merespons polemik tuntutan 12 tahun penjara terhadap terdakwa pembunuhan berencana Yosua Hutabarat (Brigadir J), Richard Eliezer (Bharada E), dengan kepala dingin. Sebab, jaksa penuntut umum (JPU) dinilai bekerja maksimal dan sesuai fakta persidangan.
"Permasalahan hukum yang muncul harus disikapi dengan kepala dingin, jangan sampai terpancing untuk memojokan aparat penegak hukum yang sudah bekerja secara maksimal dan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan," serunya kepada Alinea.id, Sabtu (4/2).
"Kita tunggu putusan pengadilan yang dapat memberikan rasa keadilan sebagaimana juga telah disampaikan keadilan versi penuntut umum yang bekerja secara merdeka, tidak diintervensi oleh pihak kekuasaan mana pun, termasuk intervensi dari opini publik yang mungkin saja terjadi bias," imbuhnya.
Tuntutan 12 tahun ini menuai polemik lantaran banyak pihak merasa Bharada E harusnya dituntut lebih rendah. Alasannya, berstatus sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator/JC).
Suparji mengakui justice collaborator merupakan salah satu pihak yang berperan besar dalam mengungkapkan suatu tindak pidana. Bahkan, sesuai Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kesaksian justice collaborator dapat dijadikan pertimbangan untuk meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Namun, dirinya mengingatkan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mestinya memberikan status justice collaborator terhadap saksi pelaku sesuai Pasal 28 ayat (2) UU 31/2014. Misalnya, bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang dibongkarnya.
Syarat-syarat pemberian status justice collaborator juga tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4/2011. Di antaranya, yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
"Selain itu, saksi pelaku yang mendapat perlindungan sebagaimana dimaksud Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah apabila pengungkapan tindak pidana yang dilakukan oleh saksi pelaku mengakibatkan posisi saksi pelaku dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya," katanya.
Dalam kasus ini, menurut Suparji, pengakuan Bharada E dalam kasus pembunuhan Brigadir J membuat jiwanya terancam. Namun, ancaman tersebut sifatnya dianggap potensi.
"Karena jiwa terdakwa Richard Eliezer terancam, lalu siapa yang mengancam?" tanya dia. Diketahui, Ferdy Sambo yang memerintahkan Bharada E menembak Brigadir J turut menjadi terdakwa dalam kasus ini bersama Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal (Bripka RR).
Suparji menambahkan, sesuai fakta persidangan, Bharada E berulang kali menembakkan senjata api ke arah Brigadir J dan mengakibatkan korban meninggal dunia. Jika dikaitkan dengan rumusan delik pembunuhan, Bharada E merupakan pelaku yang menghilangkan nyawa korban walaupun atas perintah Sambo.
"Yang perlu dikritisi mengapa terdakwa Richard Eliezer mematuhi perintah menembak korban Joshua sampai meninggal dunia, padahal korban Joshua adalah rekan kerja terdakwa yang sehari-harinya berinteraksi satu sama lain? Jadi, terlepas apa pun motif terdakwa Eliezer menembak korban Joshua, cukup rasional pendapat penuntut umum bahwa ada niat jahat dalam perbuatan itu," tuturnya.
"Lalu, yang perlu dikritisi, terdakwa Eliezer adalah pelaku utama tindak pidana. Sehingga, perlu pendalaman untuk ditetapkan sebagai saksi pelaku," lanjutnya.
Di sisi lain, Suparji sependapat dengan JPU bahwa sifat kooperatif Bharada E dalam mengungkapkan fakta perbuatan yang dilakukannya menjadi alasan yang meringankan pidananya. Namun, menurutnya, Bharada E memiliki kemampuan menolak perintah Sambo untuk menembak Brigadir J sebagaimana Bripka RR karena tak sanggup melukai teman sendiri.
"Terdakwa Eliezer dihukum karena ketidaksanggupan untuk menolak perintah yang salah dari Ferdy Sambo," tandasnya.