"Polisi datang begitu banyak, anak-anak kami ketakutan..."
Gema Lazuardi mengaku mulai bisa tidur nyenyak sejak beberapa hari belakangan. Ia agak tenang lantaran sudah beberapa bulan ini rumah dan lahannya di Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), tidak disambangi aparat kepolisian dan petugas dari Pemprov NTB.
"Sejak 2016 sampai sekarang, mereka enggak pernah berhenti minta saya menyerahkan lahan saya. Padahal, belum ada pembayaran (ganti rugi) sama sekali," ujar Gema saat berbincang dengan Alinea.id via sambungan telepon, Senin (26/4).
Gema pemilik lahan seluas 6 are atau sekitar 600 meter persegi di area pembangunan sirkuit MotoGP di kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika. Proyek itu dikelola PT Indonesian Tourism Development Corporation (PT ITDC).
Menurut Gema, PT ITDC sempat menawarkan duit sebesar Rp3 miliar untuk lahan yang ia miliki. Namun, duit itu hingga kini belum ia terima. Alih-alih mendapat ganti rugi, Gema malah dilaporkan ke polisi oleh ITDC dengan tudingan tinggal di kawasan hak pengelolaan (HPL) perusahaan tersebut.
"Tiba-tiba saya dilaporkan ke polisi dengan tuduhan melakukan penggeragahan (penyerobotan lahan). Saya merasa ada pemalsuan dan maladministrasi," tutur Gema.
Sepanjang sengketa, Gema mengaku sudah 17 kali bertemu PT ITDC di persidangan. Menurut dia, tak satu pun gugatan perusahaan yang dimenangkan pengadilan. "Tuduhan penggeragahan tidak terbukti sehingga saya dimenangkan oleh pengadilan," ujar Gema.
Selain di Desa Pujut, menurut Gema, PT ITDC juga bersengketa dengan warga di Desa Sengkol. Ia mengatakan banyak warga yang tidak puas dengan nilai ganti rugi yang dibayarkan perusahaan pelat merah tersebut.
"Semisal tanah orang itu luasnya dua hektare. Tapi, yang dia (PT ITDC) bayar itu cuma 25 are. Jadi, itu yang dia akui (sebagai lahan yang harus diganti rugi) dan sisanya tidak jelas. Ya, bagaimana tidak terjadi konflik," cetus Gema.
Gema mengatakan, ia dan warga desa kerap berhadap-hadapan dengan aparat gabungan dari Polri dan TNI yang dikerahkan perusahaan. Pada September 2020 lalu, misalnya, sekitar 700 personel gabungan bahkan diterjunkan untuk "membersihkan" lahan dari permukiman warga. Sempat ricuh, sebagian warga kemudian pasrah menerima ganti rugi yang ditawarkan.
Berbeda dengan warga lainnya, Gema bersikukuh menjual lahannya sesuai dengan nilai jual objek pajak (NJOP) yang berlaku di kawasan tersebut. Menurut dia, tanpa ganti rugi yang sepadan, warga bakal kesulitan mencari tempat tinggal baru.
"Kalau orang mau beli di luar (KEK Mandalika) itu harganya sudah Rp300-400 juta per 100 meter persegi, sementara dia (warga) hanya dibayar 30-40 juta. Mana bisa mau bangun rumah dengan harga segitu? Jelas masyarakat dirugikan," kata Gema.
Saat ini, menurut Gema, hanya ada lima pemilik lahan di lintasan sirkuit yang masih berjuang di pengadilan. "Banyak yang gugur ditolak pengadilan. Luar biasa permainan aparat dengan PT ITDC ini. Kasihan masyarakat yang dipindah paksa dengan hanya dikasih uang Rp70 juta," imbuh dia.
PT ITDC diketahui mengantongi HPL seluas lebih dari 1.700 hektare di KEK Mandalika sejak 1998. Sebelumnya, lahan itu dikelola oleh PT Pengembangan Pariwisata Lombok atau Lombok Tourism Development Corporation (LTDC).
Sibawai, salah satu warga di Desa Kuta yang lahannya jadi objek sengketa, mengatakan konflik antara warga dan perusahaan sudah terjadi sejak pengadaan lahan untuk KEK Mandalika masih berada di tangan PT LTDC.
"Alasan mereka (PT ITDC) selama ini adalah HPL. Entah itu dari pusat atau dari pemprov. Tanah warga yang sejak awal belum pernah terjual juga dilemahkan walaupun ada surat yang masih mereka pegang," ujar Sibawai kepada Alinea.id.
Selama bertahun-tahun, warga desa berulang kali disambangi aparat gabungan dari Polri-TNI. Intimidasi terhadap warga kian intens setelah PT ITDC memulai pembangunan KEK secara resmi pada 2020. Ketika itu, ratusan personel rutin diterjunkan untuk mengusir warga dari kawasan KEK.
Pada 10 Januari 2021, lahan milik Sibawai dan sejumlah warga lepas dari genggaman. Ketika itu, menurut Sibawai, tak kurang dari 600 personel TNI-Polri diterjunkan untuk menguasai lahan warga. "Sehari itu juga lahan kami kena lebih kurang 3 hektare dengan kerugian Rp85 juta per 10 meter persegi," kata Sibawai.
Menurut Sibawai, personel TNI-Polri bisa leluasa menggusur warga lantaran disokong aparat desa dan kepala dusun. Para petugas seenaknya memasuki rumah-rumah warga untuk mencari orang-orang yang menolak menyerahkan lahannya kepada PT ITDC.
Peristiwa penggusuran itu, kata dia, bahkan membuat sebagian anak-anak di desa mengalami trauma. "Sebab aparat datang begitu banyak. Anak-anak kami ketakutan karena jarang melihat polisi begitu banyak. Mereka masuk sampai di dapur dalam rumah," ungkap Sibawai.
Sibawai mengatakan sebagian warga di desanya memilih bertahan lantaran ganti rugi yang dijanjikan PT ITDC tidak sepadan. Dalam proses pembebasan lahan warga, ia menyebut PT ITDC pun kerap curang dan tidak transparan.
"Ada empat masalah. Pertama, belum pernah tersentuh atau terjual. Kedua, salah bayar. Ketiga, baru DP (down payment), tapi sudah dianggap lunas. Keempat, tanah masih tersisa walau sudah terjual separuh, tapi mereka anggap habis karena surat-surat sudah di tangan mereka," terang dia.
Saat ini, sudah ada 16 warga yang tinggal di KEK Mandalika yang melaporkan intimidasi dan penggusuran tanpa kompensasi ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM). Sibawai mengklaim banyak warga yang belum lapor lantaran masih berharap ganti rugi.
"Masih ada sekitar seratus KK (kepala keluarga) lagi yang ada di luar jalur sirkuit. Jadi, masih banyak dan kami juga tidak tahu bagaimana tindak lanjut nasib mereka," kata Sibawai.
Diduga melanggar HAM
Komisioner KomnasHAM Beka Ulung Hapsara mengatakan sudah berupaya memediasi persoalan tumpang tindih lahan antara warga dengan PT ITDC. Pada Oktober 2020 lalu, KomnasHAM bahkan sudah bertemu langsung dengan Direktur PT ITDC, Kapolda NTB, dan Gubernur NTB Zulkieflimansyah.
"Secara khusus, KomnasHAM meminta untuk tidak ada penggunaan kekuatan yang berlebihan, termasuk tidak melakukan intimidasi. Artinya, bukan hanya penyelesaian administrasinya saja atau soal ganti untung atau ganti rugi," kata Beka kepada Alinea.id, Selasa (27/4).
Menurut Beka, KomnasHAM juga sudah berbicara dengan Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan membahas soal itu. Ia berharap rekomendasi KomnasHAM ditindaklanjuti.
"Bagaimanapun juga, ini (sengketa lahan di KEK Mandalika) sudah jadi perhatian dunia internasional. Pelapor khusus PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebut ada ancaman pelanggaran HAM di sana," kata Beka.
Sebelumnya, pelapor khusus PBB untuk Kemiskinan Ekstrem dan Hak Asasi Manusia Olivier de Schutter menyatakan proyek KEK Mandalika sarat dengan pelanggaran HAM. Olivier menilai proyek senilai US$3 miliar itu memicu perampasan tanah yang agresif dan intimidasi terhadap masyarakat adat.
Pernyataan Olivier dan para pakar lainnya tertuang dalam keterangan tertulis yang dirilis UN Office of The High Commisioner of Human Rights (OHCHR) bertanggal 31 Maret 2021.
Beka membenarkan dugaan tersebut. KomnasHAM, kata dia, sudah mendapat laporan dari 15 warga di KEK Mandalika yang digusur paksa dan diintimidasi. Para pelapor bersengketa dengan PT ITDC di 17 bidang lahan seluas 211.235 meter persegi. "Namun, sebenarnya warga yang terdampak itu jumlahnya ratusan," kata Beka.
Sebagian besar konflik lahan itu, kata Beka, terjadi lantaran PT ITDC bersandar pada HPL yang dimiliki sejak 2010. Di sisi lain, warga setempat mendasarkan hak atas lahan pada pipil garuda atau surat tanda pembayaran pajak yang juga dikenal sebagai alat bukti kepemilikan atas tanah.
"Saya melihat sengketa ini soal ruwetnya administrasi pertanahan di Indonesia. Saya kira itu juga menjadi hal utama juga yang belum diselesaikan," kata Beka.
Ganti rugi harus layak
Anggota Komisi VI DPR RI Amin Ak mengatakan konflik di KEK Mandalika merupakan buah dari ketidakprofesionalan pemerintah dan perusahaan dalam pembebasan lahan. Menurut dia, peristiwa serupa lazim terjadi di proyek-proyek strategis nasional lainnya.
"Kami juga dapat pengaduan dari tempat lain dengan kasus serupa. Pembayarannya terlalu rendah. Kasusnya di Jawa Tengah. Harga wajarnya tanah itu Rp500 ribu per meter. Tapi, warga cuma dibayar 140 ribu," kata Amin kepada Alinea.id.
Amin mendesak agar perusahaan berhenti mengintimidasi warga dan mengganti rugi lahan sesuai dengan NJOP atau harga pasar. Menurut dia, kerugian warga bukan hanya sekadar kehilangan lahan tempat tinggal saja.
"Pindah rumah itu menyangkut mata pencarian dan lain sebagainya. Banyak rentetan dan risiko yang ditanggung. Apalagi, kalau diusir paksa dengan harga jauh di bawah rata-rata nilai pasar. Mereka mau beli rumah di mana?" ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Lebih jauh, ia meminta pemerintah pusat serius memperhatikan persoalan sengketa lahan di KEK Mandalika. Ia khawatir proyek raksasa itu justru melahirkan aib. "Itu berarti menandakan ada aksi sepihak dan ada malaadministrasi," imbuh dia.
Tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan KSP sudah bertemu perwakilan Pemprov NTB dan Kapolda NTB untuk membahas laporan dugaan pelanggaran HAM dalam proyek KEK Mandalika pada akhir November lalu. Menurut dia, Kapolda membantah ada intimidasi terhadap warga.
"Kalau pengerahan aparat itu sebetulnya lebih kepada mengamankan. Jadi, ada beberapa lahan yang sudah selesai, tapi itu ditangkap sebagai intimidasi oleh warga dan warga melapor ke KomnasHAM," ujar Ruhaini kepada Alinea.id.
Meski begitu, ia berjanji bakal terus memantau proses pembayaran ganti rugi lahan di KEK Mandalika supaya lebih transparan dan tidak memicu konflik dengan warga. KSP juga bakal terus berkoordinasi dengan KomnasHAM.
"Kami konfirmasi lagi ke Komnas HAM. Mereka sudah memberikan rekomendasi ITDC mengenai bukti ganti untung tanah. Itu kan awalnya harus menggunakan sertifikat, tapi akhirnya diputuskan kalau pun tidak ada sertifikat, tanda bukti kepemilikan juga boleh digunakan," ujar kata Ruhaini.
Ruhaini mengatakan konflik di KEK Mandalika sudah menjadi perhatian pemerintah pusat. Terlebih, Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti agar proyek-proyek strategis nasional dijalankan sesuai standar HAM. "Apalagi, masalah Mandalika ini jadi perhatian banyak orang, bahkan PBB," imbuh dia.