Polisi dinilai bersikap berlebihan menyusul penangkapan terhadap seseorang yang mengolok-olok putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Pangkalnya, masalah utama terletak pada pemahaman dan penerapan regulasi oleh aparat penegak hukum.
Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Sustira Dirga, aparat mestinya bertindak apabila Gibran telah melapor mengingat penerapan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang penghinaan merupakan delik aduan absolut. Ia tidak dapat dilepaskan dari norma hukum dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.50/PUUVI/ 2008.
"Sebagai delik aduan absolut, maka yang boleh melaporkan hanyalah orang yang menjadi 'korban' penghinaan secara langsung dan laporan tidak boleh dilakukan oleh orang lain selain korban," jelasnya dalam keterangan tertulis, Selasa (16/3).
"Yang jadi pertanyaan dalam penangkapan warga tersebut, adalah apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak? Jika tidak, maka kepolisian telah salah dalam menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE," sambungnya.
Seorang warga Slawi, AM, melalui akun pribadinya, @arkham_87, mengolok-olok Gibran dalam mengomentari unggahan akun Instagram @garudarevolution pada Sabtu (13/3), pukul 18.00 WIB, tentang Wali Kota Solo itu yang meminta semifinal dan final Piala Menpora digelar di Surakarta. Isinya, "Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja."
Tim Virtual Police Polresta Surakarta, Jawa Tengah (Jateng), lalu menangkap AM beberapa waktu kemudian dengan dalih komentar yang disampaikannya berisi hoaks. Pun mengklaim telah berkonsultasi dengan ahli bahasa, pidana, dan ITE sebelum membekuk AM.
Sustira menilai, tidak ada unsur ujaran kebencian yang disampaikan AM tersebut. Kedua, pendapat yang disampaikan ditujukan kepada Gibran secara individu. "Bukan sebagai golongan masyarakat tertentu."
Dia melanjutkan, Pasal 28 ayat (2) UU ITE kerap digunakan untuk membungkam kritik terhadap institusi. Padahal, tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian ataupun provokasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tersebut untuk mencegah terjadi permusuhan, kerusuhan, dan perpecahan.
Selain itu, menurut Sustira, Virtual Police, yang belakangan dibentuk, justru difungsikan untuk mengawasi ekspresi warga di dunia digital sehingga mengancam dan memperburuk demokrasi di Indonesia. Polisi virtual pun bakal menciptakan iklim ketakutan mengkritik pemerintah.
"Tindakan polisi (yang menangkap AM) bukan merupakan restorative justice. UU ITE sama sekali tidak mengatur perlindungan terhadap pejabat negara dan pejabat negara harusnya tidak dilindungi dalam konteks penghinaan dalam kapasitas jabatannya," tuturnya.
Kepolisian berdalih, menangkap AM hanya untuk meminta klarifikasi. Ia pun telah dibebaskan setelah memenuhi perintah Polresta Surakarta: menghapus komentarnya serta meminta maaf secara terbuka kepada Gibran dan warga Solo.