Polri memastikan Harun Masiku tidak terdeteksi melintas di jalur imigrasi resmi setelah beredar kabar mantan kader PDI Perjuangan itu menjadi marbut masjid di Malaysia.
Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, Interpol Indonesia belum ada menerima respons atau informasi dari negara-negara yang dimungkinkan tempat Harun bersembunyi.
"Selama HM melintas di imigrasi di seluruh negara maka HM pasti terdeteksi. Sejauh ini Interpol Indonesia belum menerima informasi yang bersangkutan bersembunyi," kata Ramadhan di Mabes Polri, Senin (6/3).
Ramadhan menyebut, red notice atas nama Harun Masiku juga sudah disebar melalui jalur komunikasi Interpol. Namun, tak kunjung jua ada laporan yang masuk.
Sementara, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengaku pihaknya belum memperoleh informasi perihal kabar tersebut.
"Informasi itu belum kami terima," kata Alex kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (2/3).
Alex memastikan KPK masih terus melakukan penelusuran dan pencarian terhadap para tersangka kasus korupsi yang masih berada dalam daftar buron. Hal ini agar seluruh DPO dapat segera ditangkap dan ditindaklanjuti untuk diproses secara hukum hingga tuntas.
Diketahui, Harun Masiku merupakan satu dari tiga tersangka korupsi yang masih berstatus buron KPK. Dua tersangka lain yang jadi buronan lembaga antikorupsi adalah Paulus Tannos yang terjerat kasus megakorupsi KTP elektronik atau e-KTP.
Kemudian, tersangka lainnya yakni Kirana Kotama, yang terjerat kasus terkait penunjukan Ashanti Sales Inc sebagai agen eksklusi PT PAL Indonesia (Persero) dalam pengadaan Kapal SSV untuk Pemerintah Filipina tahun 2014.
Harun Masiku sendiri sudah dua tahun menghilang setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI periode 2019-2024. Harun yang merupakan mantan calon legislatif (caleg) dari PDI Perjuangan ini ditetapkan sebagai tersangka bersama mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina selaku mantan anggota Bawaslu sekaligus orang kepercayaan Wahyu, dan Saeful Bahri.
Pada perkara ini, Harun bersama Saeful Bahri diterka menyuap Wahyu Setiawan melalui Agustiani. Wahyu kemudian terbukti bersalah karena menerima Rp600 juta demi memuluskan Harun melenggang ke parlemen. Selain suap PAW, Wahyu juga menerima Rp500 juta dari Sekretaris KPU Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo.
Atas perbuatannya, Wahyu divonis enam tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan, Agustiani divonis empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan, dan Saeful divonis satu tahun delapan bulan penjara serta denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.