Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat (NTB) telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait perkara Murtede alias Amaq Sinta. Murtede adalah korban begal tapi ditetapkan sebagai tersangka.
Kapolda NTB Irjen Djoko Purwanto mengatakan, penyetopan proses hukum Amaq Sinta tersebut setelah dilakukannya proses gelar perkara. Hasil gelar yang dihadiri oleh jajaran Polda dan pakar hukum itu menunjukkan sikap Amaq sebagai pembelaan.
"Hasil gelar perkara disimpulkan peristiwa tersebut merupakan perbuatan pembelaan terpaksa sehingga tidak ditemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik secara formil dan materieil," kata Djoko kepada wartawan, Sabtu (16/4).
Menurut Djoko, keputusan dari gelar perkara tersebut berdasarkan peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019, Pasal 30 tentang penyidikan tindak pidana bahwa penghentian penyidikan dapat dilakukan demi kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
"Peristiwa yang dilakukan oleh Amaq Sinta merupakan untuk membela diri sebagaimana Pasal 49 Ayat (1) KUHP soal pembelaan terpaksa," ujar Djoko.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menekankan penghentian perkara tersebut dilakukan demi mengedepankan asas keadilan, kepastian dan terutama kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
"Dalam kasus ini, Polri mengedepankan asas proporsional, legalitas, akuntabilitas dan nesesitas," ucap Dedi.
Sebelumnya, Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri, Komjen Agus Andrianto menyatakan, kasus korban begal jadi tersangka di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) harus cepat diambil sikap. Apabila perkara ini dibiarkan, akan menjadi keuntungan bagi para pelaku pembegalan.
Agus mengatakan, penyidik dapat mengambil sikap lebih bijaksana dengan adanya pelibatan banyak pihak. Sikap tersebut dalam menentukan penanganan terbaik atas kasus korban begal yang malah menjadi tersangka itu.
"Legitimasi masyarakat akan menjadi dasar langkah Polda NTB selanjutnya. Saya kira bila benar yang bersangkutan melakukan perlawanan atau pembelaan paksa, dalam artian bila tidak dilakukan bisa menjadi korban para pelaku, ya harus dilindungi," kata Agus, saat dikonfirmasi, Jumat (15/4).
Mantan Kabarhakam Polri itu memandang, Polda NTB harus mendengarkan sikap dari banyak pihak dengan mengajak para tokoh masyarakat hingga tokoh agama setempat. Masukan dari berbagai tokoh dalam kalangan masyarakat itulah yang disebut sebagai legitimasi masyarakat.