Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah masih melakukan pendalaman kasus lima anggota Polri yang melakukan aksi KKN di rekrutmen Bintara Polri Tahun 2022. Mereka diduga kuat melakukan pelanggaran pidana pada proses rekrutmen Bintara Polri tahun 2022.
Kabidhumas Polda Jateng, Kombes M Iqbal Alqudusy mengatakan, hal ini menunjukan kelimanya tidak hanya menjalani perkara etik, tapi juga pidana. Penyidik tengah mengumpulkan alat-alat bukti tambahan.
"Kompol AR, Kompol KN, AKP CS, Bripka Z, dan Brigadir EW diperiksa tim Ditreskrimsus, prosesnya sudah berjalan," kata M Iqbal dalam keterangan, Senin (20/3).
Menurutnya, proses penyidikan terhadap kelima pelaku KKN rekruitmen terus berjalan secara proporsional, namun dilakukan secara bergantian antara penyidikan secara kode etik dan penyidikan secara pidana.
Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan. Hal ini sesuai pasal 12 ayat [1] PP 2/2003 jo. pasal 28 ayat [2] Perkapolri 14/201.
"Oleh karena itu proses pidana tetap harus jalan," ujarnya.
Ia menyampaikan, seluruh sanksi yang diberikan hanya bersifat rekomendasi, lantaran Kapolda Jateng Irjen Ahmad Lutfi yang mempunyai wewenang untuk menolak rekomendasi dari hasil komisi sidang kode etik.
Hari ini, Lutfi diketahui akan memimpin sidang dan menjatuhkan Hukuman PTDH tehadap lima personel yang terlibat KKN itu.
"Rekomendasi keputusan diberikan pada Kapolda. Dalam hal ini beliau mempunyai wewenang untuk menolak," ucapnya.
Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Polisi yang terdiri dari ICW, YLBHI, KontraS, ICJR, AJI, dan PBHI Nasional menyampaikan pandangan soal reformasi dalam Korps Bhayangkara tidak serius menumpas budaya koruptif. Hal ini menyusul tindakan lima anggota Polri yang melakukan pungutan liar dalam penerimaan Bintara Tahun 2022.
Agus Sunaryanto dari ICW mengatakan, alih-alih menindak, pendekatan yang diambil hanya sebatas memberi sanksi etik. Menurutnya, hal itu hanya akan melanggengkan impunitas dan tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect).
“Kami menilai Kepolisian tidak pernah serius melakukan penindakan terhadap perilaku koruptif anggotanya,” kata Agus dalam keterangan, Jumat (17/3).
Sementara, M. Isnur dari YLBHI menyebut, baik sanksi etik dan pidana harus dilakukan secara paralel. Maka, kepolisian seharusnya juga dapat menerapkan penegakan hukum pidananya.
Apalagi, kata Erasmus Napitupulu dari ICJR, tindakan yang dilakukan oleh para anggota kepolisian secara berjamaah tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai pidana korupsi dan/atau pidana dalam jabatan sebagaimana ketentuan pasal 5 ayat (1) dan/atau Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
KontraS yang diwakili Fatia Maulidiyanti membeberkan, semakin jamak impunitas di tubuh Kepolisian dapat bertentangan dengan prinsip jaminan ketidakberulangan dalam HAM (guarantees of non recurrence).