close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pengerahan buzzer dan influencer. Alinea.id/Dwi Setiawan
icon caption
Ilustrasi pengerahan buzzer dan influencer. Alinea.id/Dwi Setiawan
Nasional
Jumat, 05 Maret 2021 10:44

Polisi virtual dinilai tidak memberi manfaat untuk demokrasi

Situasi ruang digital di Indonesia dapat digolongkan sebagai terjadinya penindasan teknologikal terhadap aktivisme digital.
swipe

Pengawasan polisi virtual sangat subjektif dan dapat memunculkan situasi digital panoptical atau situasi di mana adanya upaya untuk mendisiplinkan warga negara dengan virtual alert di ranah digital. Karena itu, harus secepatnya dilakukan koreksi.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, menyebut, polisi virtual tidak akan banyak memberi manfaat bagi perkembangan demokrasi. Namun, justru akan menimbulkan ketakutan baru bagi warganet.

"Dapat disebutkan saat ini Indonesia sudah memasuki era otoritarianisme digital," ucapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (5/3).

Menurut dia, situasi ruang digital di Indonesia saat ini dapat digolongkan sebagai terjadinya penindasan teknologikal terhadap aktivisme digital. Imbasnya, dengan sumber daya yang kuat dapat melakukan penindasan teknologikal dengan cara yang sangat canggih. 

Bahkan, pengerahan pasukan siber tidak perlu biaya besar dan mudah dikontrol. "Ruang digital betul-betul dimanfaatkan untuk menciptakan dampak di ranah fisik," tutur Damar.

Sementara itu, Peneliti University of Amsterdam, Yatun Sastramidjaya mengungkapkan, represi baru di ruang digital muncul era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Seiring sejalan munculnya kampanye digital untuk membela para korban Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Perjuangan demokrasi di Indonesia memiliki tradisi perlawanan yang panjang. Kemunculan aktivisme warga negara berkaitan erat dengan menguatnya ancaman terhadap kebebasan sipil.

Pada 2014, terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Indonesia diharapkan menjadi tonggak baru penguatan demokrasi. Ironisnya, harapan tersebut semakin pupus. 

Apalagi, sejak 2017 yang terjadi justru kemunduran demokrasi. "Mitos-mitos angkatan hendaknya jangan lagi dijadikan patokan sempit dan harus lebih maju dari hal itu. (Periode) 2000-2014 jadi peta jalan bagi kesadaran tradisi repertoar perjuangan yang mulai membumi," tutur Yatun.

Kesadaran politik dan demokrasi warganet pun diartikulasikan di ruang digital. Karena itu, Penguasaan teknologi digital untuk membangun konsolidasi dan aliansi baru dalam gerakan protes telah memunculkan harapan baru dari perjuangan melawan represi rezim.

"Penting membangun kesadaran baru dari aktivis muda Indonesia untuk bersama-sama dengan kaum muda Thailand dan Myanmar, menyebarkan semangat activist citizenship menuju global citizenship dalam perjuangan menegakkan demokrasi ke depan," ucapnya.

img
Manda Firmansyah
Reporter
img
Achmad Rizki
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan