Aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia akan berkoordinasi dengan Interpol untuk menerbitkan red notice guna menangkap politikus PDIP Harun Masiku. Upaya ini dilakukan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkoordinasi dengan Polri, guna menangkap Harun yang tercatat meninggalkan Indonesia sejak 6 Januari 2020.
"Sudah dikomunikasikan. Polri backup penuh kasus tersebut," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Argo Yuwono di Gedung Humas Polri, Jakarta Selatan, Rabu (15/1).
Argo mengaku belum dapat memastikan kebenaran informasi yang menyebut Harun berada di Singapura. Namun pelibatan Interpol akan mempersempit ruang gerak pelarian Harun di luar negeri. Hal ini lantaran aparat kepolisian di 190 negara anggota Interpol, akan membantu melacak keberadaan Harun.
Saat ini, kata Argo, Polri akan lebih dulu memenuhi syarat penerbitan red notice pada Interpol. "Nanti ada beberapa aturan membuat red notice. Penyidik yang akan memastikan," kata Argo.
Berdasarkan catatan Ditjen Imigrasi, Harun Masiku berada di Singapura sejak 6 Januari 2020. Dia meninggalkan Indonesia dua hari sebelum KPK melakukan operasi tangkap tangan dalam kasus yang menyeret Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Dalam mengusut perkara itu, KPK telah melakukan sejumlah penggeledahan. Dua lokasi yang digeledah KPK pada Senin (13/1) ialah Kantor KPU dan kediaman Wahyu Setiawan.
Dari dua lokasi itu, penyidik mengamankan sejumlah dokumen. Nantinya, dokumen itu akan dikonfirmasi lebih lanjut kepada saksi maupun tersangka dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan.
Wahyu diduga meminta uang senilai Rp900 juta kepada Harun. Uang itu untuk memuluskan langkah Harun menjadi anggota DPR RI, menggantikan caleg terpilih Nazarudin Kiemas yang meninggal beberapa pekan sebelum dilantik sebagai anggota DPR.
KPK telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini. Selain Wahyu dan Harun, KPK juga menetapkan dua tersangka lain, yaitu caleg PDIP sekaligus mantan anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina dan kader PDIP bernama Saeful.
Sebagai pihak penerima suap, Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Harun dan Saeful selaku pemberi suap, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.